Lelaki itu; Dewa Agung Jambe
lelaki itu– dewa agung jambe; menyembul dari lautan ilalang
ia menyeruak kabut pagi kusumba yang masih sangat tebal
jalan setapak, menjauh dari pesisir, kabut mulai menipis
kemilau embun di permukaan perdu dan ilalang
ia nyalakan api dalam tubuh
di kejauhan hamparan desa-desa serupa pecahan mimpi
yang menyakitkan
ia melayang– serupa pertapa baru keluar dari goa
matanya nanar melihat keraton semarapura
perlahan– amat syahdu bergetar-getar suaranya
: “telah aku lepaskan gelar dalem, berganti dewa agung”
“tapi bertahun-tahun kemudian aku seperti melihat
klungkung runtuh dalam sebuah perang besar!”
dan benar; dua ratus dua puluh dua tahun kemudian
raja ida i dewa agung jambe dengan disertai para bahudanda
dan segenap rakyatnya gugur dalam perang puputan
: serdadu belanda di bawah komando jenderal m.b. rost van tonningen
membabi-buta melakukan serangan terhadap kerajaan klungkung
peristiwa berdarah yang sangatlah menyesakkan dada
dan setelah itu, dewa agung jambe; selalu menyendiri di awan
dalam gigilnya menyaksikan klungkung berjubah zelfbestuur
kemudian kochi dan akhirnya menjelma kota semarapura
dewa agung jambe tak ingin memelihara sedih dan perih
dari atas awan ia terus menggoreskan sejarah-sejarah jingga
yang ia simpan dalam labirin-labirin senja.
Cirebah, 17 Juni 2016
Menete Air Matamu, Weisku
60m.dpl– menara suar ketawang
matahari menghampar laut
tambak udang, kebun pepaya, ladang jagung
sawah-sawah; lalu sepenuhnya aku ingat dirimu
di kejauhan– mungkin tengah membaca buku la tahzan
atau kumpulan puisi ombak menjilat runcing karang
lalu menyiram melati, mawar dan anggrek ungu
dan, ou, menetes air matamu, weisku!
Cirebah, 18 Juni 2016
Ia Berpesta Air Mata dengan Sangat Indahnya
ia menuruni bukit dengan kabut pagi yang masih sangat tebal
jalan setapak, kanan kiri tumbuhan semak dan perdu
menuruni lembah, kabut mulai menipis
kemilau embun diterpa matahari
ia nyalakan api dalam tubuh
di kejauahan hamparan laut serupa pecahan awan
ia melayang– serupa bidadari turun lewat pelangi
masuk meliuk ke laut kasihku
perlahan– amat syahdu suaranya
: “aku ingin menjelma edelweis di sela batu karang”
“akan kurengkuh gelombang laut, aku asinkan seluruh tubuhku!”
suaranya bergetar, ia lalu bersimpuh;
“weisku, lepaskan anak panah dari busurmu, tembuslah ini jantungku!”
ia berpesta airmata dengan sangat indahnya
setiap matahari tenggelam
dan ia segera melangkah
menghindari sedih dan perih yang sama
menjauh dan hanya menggoreskan sejarah kecilnya
dalam labirin yang dirahasiakan
ia pun tertidur tanpa rasa cinta yang berlebihan.
Cirebah, 12 Juni 2016
Engkau Tahu; Tidaklah Ada yang Abadi di Dunia ini Selain Puisi?
kenapa terus kaunyalakan bara api pada permukaan wajahmu?
ini hidup bisa saja tinggal beberapa kerjap mata
: weisku, timbalah air sumur dalam dirimu
kurasa bisa memadamkan api yang menyala itu
engkau tahu, tidaklah ada yang abadi di dunia ini
kecuali Puisi?
weisku; engkau bisa saja menghapus seluruh kenangan bersamaku
tetapi akan sangat sulit engkau melupakan baris-baris puisiku
laut yang bergemuruh, api yang kian menyala-nyala
dalam dirimu suatu ketika akan menjadi bukit batu
dan tidak ada tumbuhan, hanya sipongang
hanya desau angin saja
lalu sepanjang waktu; lengang bergelombang
dan untuk sekadar mengikuti keras hati dalam lingkaran waktu
apakah harus memadamkan bara api dalam dada
atau kaubiarkan pijar mercusuar yang selalu berpendar-pendar
menerangi kegelapan
sementara labirin waktu yang kaususuri kian memanjang.
Cirebah, 7 Juni 2016
Terjunlah ke Lautku yang Terdalam
kalau engkau luka, aku darah yang menetesnya
tubuhmu waktu
merayap tubuh sajakku
aku lepas sisa kantukmu
ke hangat matahari pagi
: kutulis sajak di ruang hatimudengan debar
yang sempurnadengan tetes keringat dan darah
‘weisku, terjunlah ke lautku yang terdalam
agar engkau mencecap sajak-sajakku yang asin
dan tidak hanya menerka rahasia lautku
tidak hanya berperahu di permukaan lautku
yang bergelombang kecil dengan pelangi yang jatuh
ketika gerimis kian melebat
o, ‘weisku; terjunlah!
Cirebah, 27 Mei 2016
Rembulan Mengapung di Aatas Bukit
entah siapa; sepertinya aku pernah melihat– di tempat yang jauh
jauh sekali; sepertinya berkebaya warna melati
tetapi tidak; ia mengenakan gamis putih tulang
bersiap memasuki rumah yang lama sekali ditinggalkannya
rumah yang nyaris penuh debu
aku ingin mendoakannya dengan tulus
andai ia benar kemudian masuk ke dalam rumah itu
: kebahagiaanlah yang ada di hatinya, selamanya
hujan badai di luar biarkanlah
gelombang ombak menggila, jinakkanlah
bukankah rumah jiwa seseorang bisa serupa laut?
di setiap pertemuan senja dengan malam
perempuan itu menyelinap di rimbun edelweis
kedua tangannya mendekap batu sunyi di dada
: berjalan terhuyung ke utara– menuruni lembah
seperti bidadari ia melayang– terjun ke dalam telaga
rembulan mengapung di atas bukit
menyaksikan dengan sukacita!
Cirebah, 26 Mei 2016
*Eddy Pranata PNP, sekarang tinggal di Cirebah, sebuah dusun di pinggiran barat Banyumas, Jawa Tengah. Lahir 31 Agustus 1963 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Sehari-hari beraktivitas di Disnav Ditjenhubla di Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016).Puisinya dipublikasikan di Horison, Aksara, Kanal, Jejak, Indo Pos, Suara Merdeka, Padang Ekspres, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, Batam Pos, Sumut Pos, Fajar Sumatera, Lombok Pos, Harian Rakyat Sumbar, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Radar Banyuwangi, Solopos dan lain-lain. Puisinya juga terhimpun dalam beberapa antologi bersama: Rantak-8 (1991), Sahayun (1994), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Puisi Sumatera Barat (1999), Pinangan (2012), Akulah Musi (2012), Negeri Langit (2014), Bersepeda ke Bulan (2014), Sang Peneroka (2014), Metamorfosis (2014), Patah Tumbuh Hilang Berganti (2015), Negeri Laut (2015), dan Palagan Sastra (2016).
dan lain-lain.