InspirasiTerbaru

Laksamana Malahayati: Laksamana Laut Muslimah Pertama di Dunia

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presiden Joko Widodo memberikan menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada empat tokoh pada peringatan Hari Pahlawan 2017.

Penganugerahan ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional melalui sidang Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan pada tanggal 19 Oktober 2017 sesuai usulan dari Kementerian Sosial.

Keempat tokoh nasional tersbut di antaranya Prof. Drs. H. Lafran Pane (almarhum) dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), TGHKH Muhammad Zainuddin Abdul Mdjid (almarhum) dari Nusa Tenggara Barat, Laksamana Malahayati (almarhumah) dari Aceh dan Sultan Mahmud Riayat Syah (almarhum) dari Kepulauan Riau.

Salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional adalah Laksamana Malahayati. Pahlawan Kemerdekaan bernama Keumalahayati ini merupakan seorang muslimah yang menjadi laksamana perempuan pertama di dunia berasal dari Kesultanan Aceh.

Laksamana Malahayati adalah Laksamana Laut muslimah pertama di dunia. Ia merupakan salah satu di antara perempuan hebat dalam sejarah Indonesia. Nama aslinya Keumalahayati, putri dari Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada 1530-1539. Ayahnya adalah seorang laksamana, sehingga tak heran jika Malahayati akrab dengan dunia angkatan laut.

Baca Juga:  Kawal Suara Prabowo-Gibran di TPS, Projo Jatim Siapkan 250 Ribu Kader

Selain dari ayahnya, Malahayati mendapat pendidikan akademi militer dan memperdalam ilmu kelautan di Baital Makdis (pusat pendidikan tentara Aceh). Di sana Malahayati bertemu dengan seorang perwira muda yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Dalam suatu perang melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh sukses menghancurkan Portugis. Tetapi dalam pertempuran tersebut sekitar seribu orang Aceh gugur, termasuk Laksamana yang merupakan suami Malahayati.

Tak ingin bermuram durja atas gugurnya sang suami, Malahayati membentuk armada yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis. Dalam perkembangannya, pasukan Malahayati tidak hanya terdiri dari para janda, tetapi gadis-gadis juga ikut bergabung. Armada ini dikenal dengan nama Inong Balee atau armada perempuan janda. Armada yang pangkalannya berada di Teluk Lamreh Krueng Raya ini memiliki 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal perang dilengkapi dengan meriam. Bahkan kapal paling besar dilengkapi lima meriam.

Baca Juga:  Prabowo Temui Surya Paloh, Rohani: Contoh Teladan Pemimpin Pilihan Rakyat

Dua kapal dagang Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman datang mengunjungi Aceh pada Juni 1599. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sultan dengan upacara kebesaran dan perjamuan. Namun setelah itu timbul ketegangan dan konflik, hingga timbul peperangan melawan Belanda pada September 1599. Sejumlah orang Belanda terbunuh, termasuk Cornelis de Houtman yang dibunuh oleh panglima armada Inong Balee, Malahayati, dengan rencongnya.

Tak hanya seorang panglima perang, Malahayati juga seorang diplomat. Saat itu, setelah pertempuran melawan armada Belanda, hubungan Aceh dan Belanda sempat tegang. Prins Maurits, yang memimpin Belanda saat itu berusaha memperbaiki hubungan. Maka, dikirim utusan ke Aceh, dan Malahayati ditugaskan oleh Sultan untuk melakukan perundingan-perundingan awal dengan utusan Belanda, hingga tercapai sejumlah persetujuan.

Atas keberaniannya, Malahayati mendapat gelar laksamana hingga ia lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Namanya kemudian dikenang di berbagai tempat, di antaranya digunakan sebagai nama salah satu kapal perang Republik Indonesia, KRI Malahayati.

Baca Juga:  Kabupaten Nunukan Dapatkan Piala Adipura untuk Kedua Kalinya

Gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada Malahayati pada Kamis (9/11) menjelang peringatan Hari Pahlawan Nasional 10 November ini, diserahkan kepada ahli warisnya. (ed)

Editor: Eriec Dieda & Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 10