NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (7/11) lalu memutuskan bersalah kepada tiga warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Mereka dituduh melakukan tindak pidana pemerasan dalam pengelolaan Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, dan Kepulauan Seribu.
Masyarakat Pulau Pari dianggap tidak pernah mengajukan izin atas pengelolaan Pantai Pasir Perawan. Dalam beberapa pertimbangan putusannya, majelis hakim menjelaskan bahwa mereka dinilai melakukan pungutan liar dan pemerasan.
Dalam keterangan tertulisnya Selasa (14/11/2017), Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP) menilai itu merupakan pertimbangan yang tidak tepat. Tidak adanya izin yang dimiliki warga dalam mengelola Pantai Perawan merupakan permasalahan hukum administrasi, sehingga sanksi yang diberikan adalah teguran hingga penghentian tempat kegiatan, dan bukan sanksi pidana.
KSPP juga menjelaskan bahwa masyarakat Pulau Pari telah lama mengelola daerah wisata tersebut. Setidaknya selama 4 tahun, mereka mengelola dengan membangun banyak fasilitas yang menunjang pariwisata di Pulau Pari. Selama itu pula Pemerintah lokal tidak pernah mensosialisasikan adanya pelarangan donasi dan dipastikan pemerintah telah mengetahui warga melakukan pengambilan donasi.
Terkait tuduhan melakukan pemerasan dengan ancaman, KSPP mengatakan seperti diketahui, ketika dihadirkan dalam persidangan, dua orang saksi pengunjung yang disebut mendapatkan pemerasan, juga menyatakan tidak mendengar, melihat, merasakan adanya ancaman berupa bentakan, suara keras, mata melotot atau ancaman bentuk fisik lainnya.
Karena itu, Eksekutif Nasional WALHI Ony Mahardika menjelaskan majelis hakim tak mempertimbangan keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan. Sebagaimana dijelaskan, para ahli bahwa Pantai Perawan dibangun dan dikelola oleh warga. Karenanya, objek tersebut tidak dapat dijadikan objek pajak dan retribusi sesuai dengan UU No 28 Tahun 2009. (*)
Editor: Romandhon