NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Konfederasi Serikat Pekerja Nasional menyatakan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar telah melakukan kebohongan publik dengan menyatakan Mubadala Petroleum sama besar dengan Chevron terkait dengan tender blok minyak dan gas bumi melalui skema Gross Split.
Konfederasi Serikat Pekerja Nasional juga menegaskan bahwa penghapusan kewenangan pengaturan Tenaga Kerja Asing di sektor hulu minyak dan gas bumi merugikan negara sebab proses bisnis di sektor hulu migas berbeda dengan sektor lainnya, di mana dalam tata kelola hulu migas seluruh biaya untuk tenaga kerja asing dibayar oleh negara melalui cost recovery.
“Wamen ESDM Archandra Tahar telah menyesatkan publik dengan menyatakan pemenang tender blok migas dengan skema gross split yaitu Mubadala Petroleum sama besar dengan Chevron. Ini adalah kebohongan publik dalam rangka membodohi publik, seakan-akan skema gross split itu menarik investor besar,” ujar Muhammad Ichsan, pengurus Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (20/4/2018) .
Sebelumnya, dalam acara yang seminar Series Energi Policy Distruption Approach to Improve Friendly Investment Climate di Jakarta, Wamen ESDM meyakinkan bahwa skema bagi hasil produksi migas diminati oleh perusahan besar.
Keterangan Wamen tersebut dibantah oleh Ichsan, dia menjabarkan berdasarkan data market capitalization di tahun 2018, sebanyak 10 perusahaan migas terbesar di dunia ini di anataranya. Pertama, ExxonMobil dari Amerika dengan market capitalization sebesar 347 miliar dolar
Kedua, Royal Dutch Shell dari Belanda dengan market capitalization sebesar 234 miliar dolar.
Ketiga, Chevron dari Amerika dengan market capitalization sebesar 198 miliar dolar. Keempat, Petrochina dari China dengan market capitalization sebesar 193 miliar dolar.
Kelima, Total dari Perancis dengan market capitalization sebesar 133 miliar dolar. Keenam, BP dari Inggris dengan market capitalization sebesar 119 miliar dolar.
Ketujuh, China National Petroleum & Chemical Corp dari China dengan market capitalization sebesar 101.2 miliar dolar. Kedelapan, Reliance Industries dari India dengan market capitalization sebesar 68 miliar dolar
Kesembilan, Petrobas dari Brazil dengan market capitalization sebesar 67 miliar dolar. Dan terakhir, Eni dari Italy dengan market capitalization sebesar 60 miliar dolar
Dengan data tersebut, lanjut Ichsan, maka dapat disimpulkan bahwa pemenang Blok Lelang dengan Skema Bagi Hasil Gross Split bukanlah perusahaan besar dunia. “Ini sangat mengkhawatirkan karena kedepan kita sangat butuh investsi besar untuk eksplorasi di 74 Cekungan yang masih memiliki potensi migas cukup besar di Indonesia. Kami khawatir penerapan Gross Split adalah sebuah grand design dari kelompok di luar Indonesia untuk menghancurkan Ketahanan Energi Indonesia,” bebernya.
Dia mendesak pemerintah segera membuka tender blok migas dan perpanjangan kontrak blok migas yang sudah habis kontraknya dengan skema bagi hasil cost recovery. “Dari informasi yang kami dapat, setelah setahun dievaluasi penerapan gross split di Blok PHE ONWJ pada 2017 ternyata penerimaan negara jauh lebih rendah dibandingkan saat PHE ONWJ dikelola dengan skema cost recovery pada tahun 2016.
“Penerapan Gross Split juga bertentangan dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi di mana seharusnya Pengendalian Manajemen Operasi seharusnya ada di tangan Badan Pelaksana dimana saat ini tugas, pokok dan fungsi Badan Pelaksana telah dilimpahkan ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) namun dengan Gross Split kewenangan manajemen operasi seperti sudah tidak lagi di tangan negara yang diwakili oleh SKK Migas,” jelasnya.
Ichsan melanjutkan Gross Split juga bertentangan dengan UU Migas 22 Tahun 2001 yang menugaskan pengelolaan hulu migas adalah untuk meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia; menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Tata kelola industri hulu migas saat ini menurut dia telah diporakporandakan oleh kepentingan tertentu, termasuk penghapusan kewenangan pengaturan tenaga kerja asing di sektor hulu migas.
“Jika kewenangan mengatur jumlah tenaga kerja asing dihilangkan maka ini akan merugikan negara sebab dalam sektor hulu migas biaya dan gaji tenaga kerja asing ditanggung oleh negara untuk blok yang statusnya sudah produksi. Kami akan kaji mendalam hal ini dan akan melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi jika aturan-aturan yang melanggar konstitusi terus dilakukan oleh sektor hulu migas,” tandasnya. (red)
Editor: Gendon Wibisono