Resensi

Kritik Praktik Keberagamaan Sehari-Hari

NUSANTARANEWS.CO – Kritik Praktik Keberagamaan Sehari-Hari. Membaca buku ini mengingatkan runut cerita buku Jack dan Sufi karya M. Luqman Hakim. Sama-sama mengangkat kisah seorang alim yang dinarasikan berpembawaan unik sekaligus nyentrik. Bila Jack dan Sufi lebih menitikberatkan pada pengajaran tasawuf, buku Kiai Ndas ini menggiring pembaca kepada fenomena keberagamaan yang lebih umum dan tampak di permukaan. Balutan aneka fenomena manusia kekinian dalam menjalani kehidupan sehari-hari erat berkaitan urusan agama, yang kadang atau bahkan tak jarang menimbulkan semburat kritik agar menjadi permenungan dan perbaikan.

Kepada penduduk kampung Mulia Asih, sang alim itu mengenalkan diri Kiai Ndas. Ndas dalam bahasa Jawa berarti kepala. Namun, penggunaan kata “Ndas” lebih sering berstigma negatif alias kurang sopan. Lebih-lebih, kata “Ndas” jamak dipakai untuk mengumpat dan memaki. “Ndas” sendiri dalam rasa bahasa, teranggap kasar dan tidak sopan. Tapi, sememangnya begitulah buku ini menyelipkan pesan perihal penggambaran sang kiai/tokoh agama yang menempatkan perkara substansi, jauh lebih bermakna ketimbang urusan teknis-simbolis, termasuk sekadar nama panggilan.

Dikisahkan oleh penulis yang akrab di sapa Ustaz Enha ini: suatu ketika, seorang pengayuh becak tampak sangat sedih setelah mendengar ceramah di radio. Ustaz yang dalam ceramahnya itu bilang, bahwa orang yang bacaan salatnya tidak benar, maka salatnya tidak sah. Bila salatnya tidak sah, salatnya tidak diterima dan dia tidak bisa masuk surga. Si penarik becak itu merasa tidak akan masuk surga karena lidahnya kepayahan membaca bacaan salat. Kiai Ndas lalu merangkulnya. “Perkara bisa masuk surga itu semata rahmat Tuhan. Sama sekali tidak berkait mengerjakan amal kebaikan macam salat dengan bacaan fasih. “Mulai sekarang kamu berserah diri saja sama Gusti Allah. Yang penting jaga hatimu. Gusti Allah paham maksud hatimu. (hal: 98).

Simbolitas komitmen keberagamaan sering direduksi hanya pada sekadar tampilan luaran, busana-berbaju. Kesadaran batin, spiritualitas kerap lupa disertakan. Bahkan urusan salat sebagai simbolitas juga bisa menjatuhkannya ke neraka lantaran dalam waktu yang sama mengabaikan kondisi perut di lingkungan sekitarnya. Dalam pelbagai kesempatan bersama tiga muridnya, Kiai Ndas memanggulkan tanggungjawab besar perlunya bagaimana beragama yang menghadirkan kepedulian bagi sesama. Terasa hambar bila hapal nomor ayat Alquran dan urutan Hadis Nabi, namun tak tahu letak rumah tetangganya yang papa.

Suatu kali, ponsel Kiai Ndas menerima pesan BBM berisi promo pelatihan salat khusyuk berbanderol sekian juta rupiah. Mat Sikil, salah satu murid Kiai Ndas, juga mendapatkan iklan serupa, tampak terpesona.. “Bukankah kekhusyukan alias ketenangan batin dan pikiran fokus ketika salat merupakan suatu hal yang ingin didamba setiap muslim karena akan menghasilkan energi spiritualitas yang dahsyat? Oleh karena itu, dibutuhkan cara dan tips meraihnya.” pikir Mat Sikil yang hendak mendaftar pelatihan.

Kiai Ndas rupanya tak sejalan. Baginya, bagaimana bisa sebuah kekhusyukan dalam salat diformulasikan menjadi modul-modul dan teknik yang dilatihkan. Lalu, semuanya dikemas dalam slogan yang bombastis dan dikomersialkan. Siapakah yang menangguk untung dari hal itu? Peminatnya yang tiba-tiba bisa khusyuk dalam salatnya atau si pelatih yang menghitung penghasilan di akhir sesi pelatihan? (hal: 56). Oleh perintah Kiai Ndas, Mat Sikil segera menemui Samin dan Minah, memberikan uang sekian juta rupiah itu untuk dipakai membayar uang sekolah dan keperluan dapur kedua tetangganya itu.

Aneka kisah-kisah yang dipaparkan dalam buku ini memberikan peta pemilahan bagaimana mendudukkan simbol dan substansi, lebih-lebih soal bagaimana menjalankan praktik keberagamaan keseharian. Kiai Ndas sebagai sosok satiris membuhulkan kesimpulan implisit bahwa kesalehan sosial adalah puncak dan rembesan nilai-nilai yang harus tertanam dari praktik kesalehan yang bersifat ritual-individual.

Dus, rampung membaca buku, pembaca terhor

Judul: Kiai Ndas; Ngaji Raga, Ngaji Ati, Ngaji Laku
Penulis: Nurul Huda Haem
Penerbit: Quanta, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 217 halaman
ISBN: 978-602-04-1250-4
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*

mat mungkin tergelitik dengan info menarik yang tercantum di pojok kiri atas sampul buku. Di tengah riuh dan semaraknya masyarakat kita berbondong-bondong umrah, buku ini menarik dengan kuat pembaca untuk lekas membeli buku dan mengirimkan kupon undian umrah yang diletakkan di dalam buku. Sememangnya tidak ada yang salah; justru bisa berbuah rejeki kala kita hanya mengorbankan Rp. 56.000, namun berkesempatan bisa melepas rindu menziarahi baginda Nabi Muhammad Saw di Madinah.

Tapi, saya khawatir, lakon strategi penjualan buku ini/promosi sebuah agen umrah yang ternyata dipunyai penulis buku ini, dianggap kalangan pembaca justru bertamsil sama persis dengan kritik-kritik satir pada buku ini; yang pada akhirnya bisa mencederai sang penulis buku itu sendiri dengan menghasilkan simpulan sinis: aku dan kamu, ternyata sama saja.

*Muhammad Itsbatun Najih, Lulusan Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus.

Related Posts