Politik

KPU DIY Salahkan Opini Publik Terkait Pemilih Gila dan Kotak Suara Kardus

kpu diy, ahmad shidqi, pemilih gila, kotak suara kardus, politik indonesia, pemilu 2018, tahun politik, nusantaranews
Diskusi publik bertajuk “Mengedepankan Politik Santun dalam Rangka Merawat Indonesia Bermartabat” di Yogyakarta, Kamis (20/12). (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Komisioner KPU DIY, Ahmad Shidqi mengatakan kancah perpolitikan Indonesia, terutama di tahun politik banyak diwarnai aksi yang kurang santun, penuh ujaran kebencian dan hoaks. Tak terkecuali menjelang Pemilu 2019 yang menjadi tahun politik Indonesia.

“Indonesia masuk era post struktural, yakni era kebenaran bukan lagi didasarkan pada fakta sebenarnya akan tetapi diproduksi oleh seseorang dan dilakukan berulang-ulang hingga akhirnya dianggap menjadi kebenaran bersama. Perbedaan antara kenyataan dan fiksi yang dikonstruksi sangat tipis. Ketika memasuki tahun politik, kondisi ini berpeluang terjadi. Hingga tidak salah lagi jika hoaks dan ujaran kebencian menyeruak. Ditambah dengan media sosial yang semakin memperkokoh kondisi ini,” kata Shidqi saat mengisi diskusi publik bertajuk Mengedepankan Politik Santun dalam Rangka Merawat Indonesia Bermartabat di Yogyakarta, Kamis (20/12) kemarin.

Dia mengungkapkan, pengguna internet di Indonesia sekitar 54,68% dari 260 juta penduduk, dan 143,26 juta jiwa menggunakan internet pada 2017. Jumlah ini semakin bertambah setiap tahunnya, kata dia. Dan 75% pengguna adalah anak-anak milenial.

Baca Juga:  Sekda Mhd Ridwan Buka Musda MPU Agara

“Ketika internet menjadi instrumen penyebaran informasi, maka itu bisa menjadi sangat berpengaruh,” sebutnya.

Baca juga: KPU Diminta Terbuka Soal Rencana Kotak Suara Dari Kardus

Baca juga: Kotak Suara Kardus untuk Pemilu 2019 Disetujui Semua Fraksi

Baca juga: Kotak Suara Kardus, Kiai Ma’ruf Amin: Baiknya Tidak Perlu Dipersoalkan

Shidqi menuturkan, KPU menjadi korban atas kondisi tersebut. Pasalnya, kata dia, saat menetapkan hak pilih, ada pemberitaan yang menyatakan bahwa ada penduduk Indonesia yang tidak terdata sebagai hak pilih.

“Kabar tentang pemilih gila yang diperbolehkan memilih, yang diviralkan, dibangun oleh opini publik, yang dianggap untuk memenangkan salah satu calon,” imbuhnya.

Shidqi menerangkan, syarat untuk menjadi pemilih harus waras atau tidak memiliki gangguan jiwa. Akan tetapi, katanya, yang berhak menyatakan bahwa sesorang memiliki gangguan jiwa hanyalah dokter. Sehingga, jika ada masyarakat yang tidak memiliki surat keterangan gangguan jiwa maka tetap memiliki hak pilih.

“Akan tetapi yang terjadi di Indonesia orang sudah tidak lagi mempertimbangkan data tetapi opini. Fakta itu tertutup oleh opini yang dibangun masyarakat, yang menyatakan KPU mengada-ngada. Masa iya orang gila disuruh memilih,” ucapnya.

Baca Juga:  Pastikan Kita Punya Urgensi dan Alasan yang Kuat untuk Mengubah Sistem Pemilu

Lalu, lanjutnya, ada lagi persoalan kotak suara yang terbuat dari karton. Padahal, kata Shidqi, karton yang dipakai bahannya dupleks yang diduduki orang seberat 106 kilogram saja masih kuat.

“Fakta ini kemudian diberenggus oeh opini publik bahwa KPU sengaja memilih karton sebagai kotak suara agar mudah dibobol. Padahal terkait kotak suara ini sudah diatur dalam UU. Memilih karton bahan dupleks supaya hemat anggaran, bisa didaur ulang. Kalau memakai alumunium kan susah nyimpannya. Masing-masih daerah harus punya gudang sendiri-sendiri, nanti bisa-bisa nambah anggaran lagi untuk sewa tempat penyimpanan. Lagi-lagi fakta ini ditafsirkan beragam oleh masyarakat,” terang Shidqi.

“Kita perlu kesadaran literasi dan kritis, santun dalam berpolitik,” lanjut dia. Santun tidak hanya secara fisik saja, akan tetapi juga di dunia maya. “Untuk menjatuhkan lawan, opini makin diproduksi seenaknya. Sehingga pemilu penuh dengan ketegangan, bukan kegembiraan. Padahal pemilu sebetulnya adalah pesta rakyat. Kalau pesta ya harus gembira,” paparnya.

Baca Juga:  Survei Partai NasDem Melesat, Efek Usung Anies di Pilpres 2024

(eda/bya)

Editor: Banyu Asqalani

Related Posts

1 of 3,053