Politik

KPU Diminta Tinjau Ulang Soal Hak Pilih Penderita Gangguan Jiwa

Pemilihan Umum Tahun 2019. (Foto: Ist)
Pemilihan Umum Tahun 2019. (Foto: Ist)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Peneliti senior LIPI, Siti Zuhro meminta KPU meninjau ulang terkait hak pilih penderita gangguan jiwa. Menurutnya, kebijakan KPU tersebut kontroversial.

“Hak pilih bagi pengidap gangguan jiwa sebaiknya ditinjau ulang. KPU sebaiknya tak menambah permasalahan pemilu serentak yang sudah cukup complicated,” kata Siti Zuhro kepada NUSANTARANEWS.CO, Minggu (6/1).

“Bagaimana menjamin bahwa mereka (orang gila) bisa benar-benar oke untuk menggunakan hak politiknya?,” sambungnya.

Setidaknya ada 4 kebijakan KPU yang menuai polemik. Pertama, kotak suara berbahan kardus. Kedua, hak pilih bagi orang gila (penderita gangguan jiwa).

Ketiga, peniadaan paparan visi misi capres-cawapres. Keempat, pembocoran materi pertanyaan debat Pilpres 2019.

Sebelumnya, KPU RI telah melakukan pendataan bagi para penderita gangguan mental untuk dimasukkan ke dalam daftar pemilih tetap (DPT). Ketua KPU RI, Arief Budiman menjelaskan untuk pasien pengidap gangguan jiwa yang memiliki hak pilih nantinya diwajibkan menyertakan surat keterangan dari dokter saat datang ke TPS.

Baca Juga:  Jokowi Tunjuk Adhi Karyono Pj Gubernur Jatim, Gus Fawait: Birokrat Cerdas Dan Berpengalaman

“Hal tersebut sudah ada regulasinya, untuk kondisi tersebut yang paling dibutuhkan adalah surat keterangan dokter yang menyatakan seseorang sanggup menggunakan hak pilih, sepanjang tak mengganggu bisa memilih, kalau mengganggu ya tidak bisa,” kata Arief Budiman di kawasan Jakarta Utara pada 17 November 2018 lalu.

Ia menegaskan mekanisme untuk pemilih dengan kondisi seperti itu sangat beragam tergantung jenis gangguan jiwa yang dialami dan kondisi masing-masing lokasi.

“Tetap boleh memilih karena tidak semua yang terganggu kondisinya tidak bisa menentukan pilihan, ada gangguan yang tak pengaruhi kemampuan gunakan hak pilih,” terangnya.

Sementara itu, pengamat politik Ujang Komarudin kepada NUSANTARANEWS.CO mengatakan bahwa setiap warga negara memang harus dijaga hak pilihanya. Namun kata dia, untuk kasus orang gila itu pengecualian.

“Maksudnya orang gila itu tidak kena kewajiban apapun. Termasuk memilih. Kecuali jika sudah sembuh,” kata dia.

Pewarta: Romadhon
Editor: Banyu Asqalani

Related Posts

1 of 3,073