KPK Kemungkinan Periksa Oknum TNI Untuk Dalami Kasus Suap

Jubir KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta, Jumat, (16/12/2016). Foto Fadilah/Nusantaranews

Jubir KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta, Jumat, (16/12/2016). Foto Fadilah/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Direktur Data dan Informasi Laksamana Pertama TNI Bambang Udoyo diduga merupakan salah satu oknum TNI yang terlibat dalam kasus suap pengadaan monitoring di Badan Kemanan Laut (Bakamla) APBN-P 2016. Pasalnya, Bambang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek ini.

Dimana pada Oktober lalu, dia yang telah meneken 3 perjanjian pengadaan surveillance system.  Pengadaan  melalui  Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) meliputi  long range camera beserta tower, instalasi dan pelatihan, pengadaan monitoring satellite, dan pengadaan backbone coastal surveillance system yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS).

Hanya saja, kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (Jubir KPK), Febri Diansyah, Undang-Undang tidak memberikan kewenangan kepada KPK untuk menindak oknum TNI yang terlibat korupsi.

“Jika pelakunya adalah dari pihak yang di peradilan Militer, KPK tentu tidak bisa tangani itu sebagaimana KPK bisa tangani empat orang ini. Itu adalah salah satu alasan kenapa koordinasi dilakukan pihak-pihak POM (Polisi Militer) TNI,” jelasnya di Gedung KPK, Jakarta, Jumat, (16/12/2016).

Meski demikian, lanjut Febri KPK mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan kepada oknum TNI tersebut, jika sewaktu-waktu dibutuhkan keterangannya. Namun hal tersebut perlu dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pihak TNI.

“Nanti kami koordinasikan lah (dengan TNI). Tapi tentu saja kewenangan memanggil saksi itu ada di KPK khususnya di penyidik. Namun karena ini melibatkan dua wilayah hukum, maka kita perlu koordinasi agak intensif soal ini,” kata Febri.

Febri menambahkan, terkait kasus yang tengah ditangani KPK saat ini, TNI mengaku akan memberikan akses kepada KPK untuk mengumpulkan bukti-bukti dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit pada APBN-Perubahan 2016 ini.

“Termasuk jika dibutuhkan beberapa kegiatan-kegiatan dalam penyidikan misalnya pendampingan, pengamanan, dan lain sebagainya,” pungkas Febri.

Kasus ini berawal pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK, pada Rabu, (14/12/2016) kemarin. Dimana dalam OTT tersebut KPK berhasil menetapkan status penyelidikan ke tahap penyidikan seraya dengan penetapan empat orang tersangka.

Empat orang adalah Deputi Informasi dan Hukum Badan Keamanan Laut (Bakamla), berinisial ESH (Eko Susilo Hadi), Direktur PT MTI berinisial FD (Fahmi Darmawansyah), MAO (Muhammad Adami Okta) dan HST (Hardy Stefanus) yang merupakan pegawai PT MTI (Multi Terminal Indonesia).

Tiga diantaranya telah dilakukan oleh KPK di rutan yang berbeda. Dimana ESH ditahan di rutan Polres Jakarta Pusat, HST ditahan di rutan Polres Jakarta Timur, sedangkan MAO ditahan di Rutan KPK Cabang Guntur.

Ketiganya ditahan selama 20 hari kedepan dan mulai terhitung sejak Kamis, (15/12/2016) kemarin. Dengan demikian mereka akan ditahan hingga (4/1/2017).

Akibat dari perbuatannya itu, ESH sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau asal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.

Sedangkan HST, MAO dan FD sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 99 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. (Restu)

Exit mobile version