Hukum

Koruptor Meninggal, Ahli Waris Wajib Ganti Kerugian Negara

NUSANTARANEWS.CO – Kabar duka datang dari dunia perpolitikan Tanah Air. Politikus Demokrat, Sutan Bhatoegana mengehmbuskan napas terakhirnya pada Sabtu, (19/11/2016) di Rumah Sakit Bogor Medical Center (BMC). Dia meninggal lantaran terserang penyakit kanker hati.

Kendati demikian proses hukum yang membelitnya tetap berjalan. Pasalnya uang kerugian negara yang harus diganti oleh Sutan harus tetap dibayarkan.

Diketahui, kasus ini terjadi pada 2014 silam, saat Sutan menjabat sebagai Ketua Komisi VII DPR RI. Modusnya, Sutan memanfaatkan jabatannya sebagai anggota legislatif untuk menerima suap terkait pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan Tahun 2013 untuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengusut dan Sutan pun jadi pesakitan di pengadilan. Perkaranya bergulir dari tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Melalui proses pengadilan, ia dinyatakan terbukti bersalah dan divonis penjara selama 12 tahun. Selain itu, Sutan juga diwajibkan untuk membayar denda sebanyak Rp 500 juta subsider delapan bulan penjara dan wajib membayar uang ganti kerugian negara sebesar Rp50 juta subsider satu tahun penjara.

Baca Juga:  Bagai Penculik Profesional, Sekelompok Oknum Polairud Bali Minta Tebusan 90 Juta

Pertanyaannya, lalu siapa yang membayar uang pengganti Sutan, jika ternyata Sutan telah meninggal?

Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih menjelaskan putusan pengadilan yang tidak dijatuhkan saat terpidana dinyatakan sudah meninggal dunia adalah tentang perampasan kemerdekaan. Tetapi tentang keputusan kerugian negara dan denda tetap jalan.

“Jadi pembayaran uang denda dan uang pengganti tersebut tetap harus dilakukan oleh ahli waris terpidana. Jangankan sudah menjadi terpidana, masih dalam proses pengadilan saja katakanlah dia (Sutan Bhatoegana) masih terdakwa nih bukan terpidana ahli waris harus tetap menanggungnya. Apalagi saat ini sudah menjadi terpidana,” jelasnya saat dihubungi Nusantaranews.co, di Jakarta, Senin, (21/11/2016).

Mantan anggota Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menjelaskan berdasarkan aturan yang lama, putusan pembayaran uang pengganti kerugian negara masih berdiri sendiri. Artinya belum disubsiderkan dengan hukuman kurungan badan sebagaimana yang diatur di ketentuan baru, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca Juga:  Ahli Waris Tanah RSPON Kirim Surat Terbuka ke AHY 

Selain itu lanjutnya baru-baru ini, pemerintah juga telah merilis aturan baru yang mewajibkan anggota keluarga ikut menanggung kerugian jika koruptor kabur atau meninggal dunia.

Aturan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain itu telah diteken Presiden Joko Widodo, pada Rabu (12/10/2016).

Aturan tersebut merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perbendaharaan Negara.

Dalam PP tersebut ditegaskan, ahli waris wajib mengembalikan kerugian negara jika PNS atau pejabat negara yang melakukan tindak merugikan keuangan negara, jika mereka berada dalam pengampuan (perwalian), melarikan diri atau meninggal dunia.

“Dalam hal Pihak Yang Merugikan sebagaimana dimaksud berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penggantian Kerugian Negara/Daerah beralih kepada Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris,” bunyi Pasal 16 ayat (2) PP Nomor 38 Tahun 2016 tersebut.

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

Penggantian Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal itu, menurut PP ini, segera dibayarkan secara tunai atau angsuran. Sementara dalam hal kerugian akibat kelalaian, ahli waris wajib mengganti kerugian tersebut dalam waktu paling lama 24 bulan sejak Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) ditandatangani.

Jika keluarga atau ahli waris tak mengganti kerugian dalam jangka waktu yang dimaksud, menurut PP tersebut, mereka bakal dinyatakan wanprestasi dan pemerintah menyerahkan upaya penagihan kepada instansi yang menangani pengurusan piutang negara

“Jadi dengan kata lain, kalau belum dibayar baik kerugian negara maupun denda. Maka mereka dianggap masih memiliki utang kepada negara. Hal tersebut  menjadi salah satu perhatian BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) agar bisa diselesaikan,” tukasnya. (Restu)

Related Posts

1 of 216