NUSANTARANEWS.CO – Korupsi telah menjadi urat nadi kehidupan. Bayangkan Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kehakiman dan KPK adalah empat pilar penegakan hukum di Indonesia saat ini. Namun sayangnya seluruh pilar penegakan hukum itu sangat rentan terhadap permainan politik. Sehingga isu korupsi dengan mudah dapat dimainkan sebagai isu dan tema untuk kepentingan politik tertentu yang dibungkus dengan gerakan Anti Korupsi.
Korupsi kini telah menjadi alat politik untuk menyingkirkan lawan-lawan politik yang dipandang sebagai ancaman, baik antar elit politik maupun antar aparat penegak hukum itu sendiri. Seperti dalam kasus penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan ketika diusulkan menjadi calon Kapolri oleh presiden, sangatlah sulit untuk menghilangkan kesan bahwa BG telah menjadi korban dari intrik politik tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas merebaknya kasus korupsi di tanah air tampaknya merupakan modus baru untuk melemahkan negara. Dengan kata lain, korupsi telah menjadi model “soft power” serangan kaum imperialis guna melemahkan sebuah negara. Korupsi di Indonesia memang sudah diformulasikan ke dalam sistem ketatanegaraan yang dikemas dalam bentuk aturan dan perundang-undangan (UU) negara yang diinstal sejak awal reformasi dahulu.
Paket instalasi itu terwujud dalam model otonomi daerah, model pemilu dalam berbagai tingkatannya, bahkan model rekrutmen pegawai hingga pejabat tinggi temasuk level menteri, sampai-sampai partai politik yang seharusnya menjadi “oposisi” terbawa arus perilaku koruptif tersebut.
Jadi, wajar saja ketika sistem itu berjalan maka perilaku koruptif menjadi urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Suka tidak suka model demokrasi Indonesia saat ini adalah demokrasi uang. Uang adalah segalanya bahkan uang mungkin sudah menjadi tujuan hidup para politisi dan elit bangsa kita. Lihat saja perlakuan para koruptor yang terkesan seperti selebritis yang dikaitkan dengan kehidupan mewah – bukan sebagai seorang kriminal yang memalukan. (as)