EkonomiKolomOpini

Konsolidasi Bisnis Inti Menuju Penguatan Holding BUMN Migas Pertamina

Pertamina Sebagai Induk Perusahaan, Holding BUMN Migas Sudah Resmi Berdiri
Pertamina Sebagai Induk Perusahaan, Holding BUMN Migas Sudah Resmi Berdiri

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Perkembangan kebijakan Holding BUMN di sektor minyak dan gas yang telah dilakukan oleh Pemerintah, terutama atas PT. (Persero) Pertamina (sebagai holding migas) dan PT. (Persero) Perusahaan Gas Negara/PGN (sebagai sub holding) semakin positif, bahkan setelah Pertagas (anak usaha Pertamina) diakuisi secara resmi oleh PGN pada Hari Jum’at tanggal 28 Desember 2018. Tentu saja, Holding BUMN harus dipandang dalam perspektif investasi sektor minyak dan gas bumi untuk membangun dan memajukan perekonomiam nasional.

Kebijakan investasi dalam negeri yang akan mendorong kemandirian ekonomi bangsa Indonesia dalam berbagai program pembangunan sektoral menjadi faktor kunci (key factor) pengembangan industri manufaktur dari hulu ke hilirnya untuk membuka lapangan kerja yang luas, mengatasi pengangguran dan kemikinan. Seharusnya, dengan upaya semakin menurunkan ketergantungan bangsa dalam permodalan investasi asing bagi proyek-proyek pembangunan sektor strategis, terutama yang menjadi fokus dan isu dunia, yaitu Pangan (Food) Energi (Energy), dan Air (Water) akan menjadi indikasi semakin bergeraknya visi Trisakti dan Nawacita Presiden, di satu sisi.

Namun, di sisi yang lain masalahnya adalah, apakah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sudah memiliki kemampuan dalam mendukung pembiayaan pembangunan berbagai sektor ekonomi bangsa, terutama sekali untuk sektor energi yang membutuhkan modal sangat besar?

Kinerja Holding BUMN Migas

Paling tidak, langkah holding BUMN Migas (selain membangun sinergitas antar BUMN) yang telah dilakukan oleh BUMN Pertamina dan PGN bisa dijadikan salah satu proyek percontohan (pilot project) praktek terbaik (best practices) membangun kekuatan kemandirian ekonomi energi bangsa sebagai USAHA BERSAMA berdasar azas KEKELUARGAAN (Pasal 33 UUD 1945)

Akuisisi Pertagas (anak usaha Pertamina) oleh PGN pada akhir tahun 2018 dalam konteks Holding BUMN Migas ini menjadi menarik, selain adanya penolakan dari kalangan internal Pertamina, akusisi Pertagas oleh PGN ini dapat dibenarkan dan sesuai dengan logika konstitusi ekonomi. Pada akhirnya, tentu langkah akuisi Pertagas oleh PGN ini sesuatu yang tepat dan memperkuat Pertamina sebagai Holding BUMN Migas apabila kinerja Holding BUMN Migas semakin menunjukkan perbaikan yang positif, baik itu produksi untuk mengatasi defisit migas (berkontribusi menguramgi defisit transaksi berjalan/CAD) maupun laba yang mampu dihasilkannya sebagai indikator pengelolaan korporasi yang profesional.

Baca Juga:  Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi UMKM, Pemkab Sumenep Gelar Bazar Takjil Ramadan 2024

Dalam kerangka itu, maka rencana Pemerintah untuk melibatkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dalam bisnis gas alam cair (LNG) yang kini masih ditangani oleh PT Pertamina (Persero), sebagai induk Holding Migas adalah keputusan strategis yang sangat tepat dan patut diapresiasi. Kebijakan ini selain merupakan bagian dari integrasi bisnis gas Pertamina dan PGN, juga untuk membagi kegiatan produksi di hilir dan hulu industri, sehingga semakin memperkuat kompetensi bisnis inti (core business competence) Pertamina sebagai BUMN Holding Migas.

Pembagian bidang kerja ini (division of labour) bukanlah berarti mengurangi bisnis Pertamina dalam perspektif Holding BUMN Migas. Sebab, yang akan menjual LNG adalah tetap Pertamina, kalau rekanan sudah ada kontrak dengan Pertamina. Sedangkan yang sebagian sudah diberikan kepada PGN (by contract) adalah karena Pertamina belum bisa melakukan penjualannya.

Lebih lanjut, memang seharusnya pasca Holding BUMN Migas terbentuk, maka selayaknya usaha atau bisnis gas memang tidak lagi dikelola oleh Pertamina. Pertamina harus lebih berkonsentrasi dalam mengelola hulu, yang memproduksi gas, sedangkan untuk yang midstream sampai hilir sebaiknya diserahkan ke PGN.

Pertamina lebih fokus menangani bisnis gas mulai dari produksinya dari blok migas hingga diolah menjadi LNG, dan PGN akan mulai terlibat dalam penjualan LNG dari regasifikasi hingga penyaluran gasnya ke industri dan rumah tangga. Penjualan LNG yang dimaksud yakni yang langsung ditawarkan ke masyarakat sehingga Pertamina tidak mengurus lagi penjualan ritel gas. Inilah langkah holding dan sinergisitas BUMN yang produktif, efektif dan efisien serta sesuai konstitusi ekonomi.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Akan Perjuangkan 334 Pokir Dalam SIPD 2025

Kebijakan Harga Dan Laba

PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menjamin harga gas di tingkat konsumen akan lebih murah setelah proses akuisisi 51 persen saham PT Pertamina Gas (Pertagas) direalisasikan. Bahkan hal ini pernah disampaikan oleh mantan Direktur Utama PGN Jobi Triananda Hasjim, bahwa akuisi tersebut juga lebih memudahkan pengendalian bisnis gas.

Jika dicermati konteksnya, maka penurunan harga gas merupakan perintah langsung dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan PGN masih mencari celah pada bisnis hulu dan hilirnya untuk mencari potensi penurunan harga. Soal kebijakan harga gas ini, maka kalangan industri terutama mengeluhkan masih tingginya dan keberatan akan mampu membuat ongkos produksi mereka ekonomis dan produknya kompetitif. Sebagai contoh, jika pada Tahun 2013 harga gas alam mencapai US$ 1,58 per Million British Thermal Unit (MMBTU), maka pada Maret 2018 sudah mencapai US$ 2,73 per MMBTU.

Disamping itu, manajemen PGN juga harus berhati-hati, karena saat akuisi Pertagas, PGN sedang mencari pinjaman Rp 11,06 Triliun sebagai dana mengambil alihnya.

Meski begitu, Dirut PGN sebelum Gigih Prakoso ini memastikan bahwa dalam jangka pendek, akuisisi Pertagas oleh PGN ini akan mampu mewujudkan penghematan biaya investasi atau pengeluaran modal (capital expenditure) dan mempercepat pembukaan pasar baru. Dengan demikian, mata rantai distribusi gas juga bisa lebih efisien sehingga menjamin ketersediaan pasokan gas bagi konsumen.

Melalui langkah integrasi dan pembagian kerja yang telah dilakukan oleh Pertamina dan PGN dalam kerangka Holding BUMN Migas, maka diharapkan faktor harga ke kalangan konsumen industri dan rumah tangga dapat lebih wajar dan murah. Namun demikian, klarifikasi atas turunnya laba korporasi PGN sebesar 70 persen pada Semester I Tahun 2019 sangat diperlukan oleh publik dalam rangka transparansi BUMN, sebab masih adanya sebagian saham PGN yang dimiliki oleh pihak swasta.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Menurut data BEI, porsi kepemilikan Negara Republik Indonesia di emiten berkode PGAS itu adalah sebesar 13,8 miliar lembar saham atau setara 56,9& yang telah dimiliki oleh Pertamina sebagai holding BUMN migas dan sejumlah 43,1% dimiliki oleh publik yang komposisi saham tersebut diantaranya juga dimiliki oleh BPJS Ketenagakerjaan sejumlah 3,75% serta sisanya adalah perusahaan swasta Indonesia dan asing yang berada di Singapura, USA, Inggris dan Uni Emirat Arab.

Sesuai komitmen yang disampaikan oleh Dirut PGN Gigih Prakoso untuk menyelesaikan proses akuisisi PT Pertamina Gas (Pertagas) yang merupakan satu rangkaian dari proses pembentukan holding BUMN Migas yang telah beroperasi selama hampir setahun dengan mengikutsertakan empat anak usaha Pertagas yakni PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT Perta-Samtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas dalam proses pengambilalihan saham Pertamina di Pertagas oleh PGN.

Harga pembelian saat itu semula sebesar Rp16, 6 triliun lebih untuk 2.591.099 lembar saham dari Pertagas atau setara 51 persen atas Pertagas dan Pertagas Niaga, lalu menjadi Rp 20,18 triliun lebih untuk 2.591.099 lembar saham dari Pertagas yang merupakan 51 persen dari seluruh saham di Pertagas termasuk kepemilikan di seluruh anak perusahaannya.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah benar penurunan laba PGN diakibatkan oleh pembayaran yang harus dilakukan atas akuisisi Pertagas, atau karena kebijakan harga gas yang fluktuatif tidak pernah disesuaikan? Yang terpenting dan utama adalah profesionalitas kinerja Direksi dan Komisaris BUMN tak lagi menambah daftar pejabat yang terkena OTT oleh KPK karena kebijakan aksi korporasi sehingga BUMN betul-betul sehat dan memberi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, bukan orang per orang apalagi dengan cara korupsi.[]

Related Posts

1 of 3,150