Budaya / SeniCerpen

Konon, Namanya adalah Celurit: Yanto – Preman Terminal (4)

Cerita Bersambung: Andika Wahyu A. P.*

“.. dan kalau kau mau, kau bisa ikut dengaku Rud..”,Yanto terduduk, eskpresinya muram malam itu, nampak menawarkan tentang kepulangannya ke kampung esok hari pada Rudri yang wajahnya masih shock, serta sedih, namun berusaha tetap kuat, ia juga duduk di sebelah Yanto di ruang tengah rumah kecil milik Yanto itu.

Yang beberapa saat sebelumnya telah ia kabari tentang kondisi Saiful pagi tadi yang membeku tak bergerak di jalanan ramai, menjadi objek tontonan asik bagi warga sekitar, dan mejelaskan kemungkinan kakaknya juga turut terbunuh membusuk di jalanan Ibukota, hanya saja Rudri tak bisa berbuat apa-apa, mencari kakaknya, dan dia sendiri pun mempunyai tato di lehernya bahkan, akan cukup bahaya baginya jika ingin terus bertahan hidup di kota ini.

“Entahlah bang, aku rasa, mungkin lebih baik kalau aku tetap disini, di daerah sepertinya juga sangat rawan dan—“

“Tapi tidak akan seperti disini Rud..”, Yanto nampak terus meyakinkan Rudri akan kepindahannya, berusaha menjaga agar anak muda ini tetap aman, namun apa daya, entah nekat atau apa, Yanto nampaknya tak mampu meyakinkan keinginan Rudri yang keras, dan masih optimis kakaknya masih sanggup bertahan hidup walaupun Saiful, orang yang bersama-sama dengannya, meninggal dibuang begitu saja di jalanan Ibukota.

“Kita akan bertemu lagi kan bang?”, disisi lain Rudri nampaknya mengkhawatirkan Yanto, bagaimanapun dari semua kawan-kawannya yang meninggal di jalanan, Yanto adalah yang memang asli berprofesi sebagai preman, sudah pasti ia juga akan menjadi target utama. Mengikuti Yanto jelas akan berbahaya bagi Rudri, terlebih bersamanya mungkin saja bisa menjadi bumerang bagi nyawanya, namun disisi lain dirinya tak ingin Yanto di eksekusi seperti kakaknya dan kawan-kawannya yang lain.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Yanto nampak terdiam, ekspresi dirinya mengisyaratkan keraguan hati yang sedang menderanya kini, “Ya.. kita akan bertemu lagi Rud.. pasti.” Jawab Yanto dengan sedikit tersenyum kepada Rudri yang juga turut membalas senyum mendengar perkataan kawannya itu, walaupun ia sadar, ada kekhawatiran yang disembunyikan, ia maupun Yanto, sesuatu yang tidak bisa saling mereka ungkapkan, ke khawatiran akan terror-terror yang tak ada hentinya di pusat negara ini.

Langit semakin gelap pekat, bintang pun tak sudi menghiasi lagi pusat kota yang konon dikelilingin alam nan indah ini, ketika Rudri berpamitan pada Yanto, untuk segera kembali ke rumahnya yang berjarak cukup jauh dari rumah Yanto kini, sekitar lima belas menit jika berjalan kaki. Melihat keadaan sekitar, nampaknya pembunuhan-pembunuhan belakangan ini yang terus menelan korban, membuat kondisi di Ibukota sangat mencekam, kondisi ramai di siang hari begitu kontras dengan keadaan di malam hari, belum jam sepuluh nampaknya, jalanan sudah sepi, tak seperti biasanya, jaket yang kini dikenakan Rudri adalah satu-satunya yang menemani dirinya dari hembusan angin malam perkotaan. Sementara sebuah mobil Jeep terparkir di depan, cukup jauh dari tempatnya kini berada, tepat beberapa meter setelah telephone umum, dimana Yoga nampak sedang berdiri melephone seseorang, sedangkan di belakang mobil jeep itu, Rendra sedang mencari beberapa perkakas di bagasi mobilnya.

“Oh iya, kamu mau oleh-oleh apa? Soalnya mungkin minggu depan aku pulang.”, Yoga nampak berbicara dengan istrinya melalui sambungan telephone di telephone umum sementara Rudri lewat di belakangnya, mengacuhkan keberadaan pria yang sedang ia lewati itu.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Iya, mudah-mudahan bisa tahun baruan bareng ya, aku juga kerja lembur ini biar nggak ada tanggungan pekerjaan nanti.”, Yoga terlihat tersenyum ketika mendengar suara istrinya di dalam telephone, sementara ia sesekali melirik ke arah belakang dimana Rudri baru saja melintasi dia menuju mobil Jeep tempat Rendra berada. Sementara itu Rendra mengambil sebuah tang besi yang cukup sedang ukurannya, namun keras dari bagasi mobilnya yang nampak beberapa perkakas berceceran di dalamnya.

“Eh aku, lanjut kerja dulu ya sayang, salam buat Tomi.”, Yoga pun dengan segera menutup telephonenya, dan memasukan tangan kanannya di saku jaket hitam yang sedang ia kenakan lalu berjalan mengikuti Rudri dari belakang, perlahan ia mengeluarkan sebuah kantong plastik putih semi transparan, dan mempercepat langkahnya untuk mengejar Rudri, dan dengan sigap dan tiba-tiba Yoga langsung memasukan kepala Rudri di plastik yang ia bawa, menahan Rudri agar tidak bisa bernafas, dan memang sesekali ia sesak nafas di dalam plastik itu, dimana oksigen semakin tipis dibuatnya. Rudri pun perlahan jatuh terduduk karena ditarik sangat keras ke belakang oleh Yoga, namun ia masih berusaha melawan.

Sementara Rudri kehabisan nafas, Rendra membalik badan lalu dengan sigap menghampiri Yoga dan Rudri yang tengah berjibaku saling serang di belakangnya, dengan tangan kanannya yang memegang tang besi ia menghampiri Rudri dengan segera, dan sesampainya di hadapan Rudri yang masih sibuk memberontak pada Yoga dan plastik yang membungkam wajahnya, ia langsung memukulkan besi itu tepat di kepala Rudri, hingga nampak kepala Rudri yang mengalirkan darah terus menerus tak berhenti, hingga menyebabkan perlawanannya berakhir, sementara darah dari ujung kepalanya terus membanjiri kantong plastik putih yang kini menyelimuti wajahnya tanpa ampun.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Dengar.. satu pukulan lagi kamu bakal mati.. lebih baik jawab pertanyaan kita, sebelum kamu mengeras di tengah jalan seperti kakakmu.”, Rendra berkata mengancam Rudri yang nampak panik, kesakitan, dan pening dikepalanya akibat pukulan beberapa saat yang lalu.

Yoga dan Rendra pun dengan segera menyeret Rudri masuk ke dalam mobil jeep mereka sebelum ada yang melihat, walaupun jalanan sepi saat itu hampir mustahil seseorang akan memergoki aksi mereka berdua, sementara darah terus perlahan dengan pasti, setetes demi setetes darah mengubah kantong plastik putih semi transparan itu menjadi merah darah.

Baca Kisah Sebelumnya: Konon Namanya adalah Celurit

*Andika Wahyu A. P. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 22 Juli 1998, ia dibesarkan di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berkebangsaan Indonesia, dan kini merupakan seorang Mahasiswa Seni Film di Institut Kesenian Jakarta.  Ketertarikannya terhadap genre, Horror/thriller melalui buku maupun film, seringkali dituangkan langsung kedalam beberapa karya nya, sebut saja film pendek yang ia tulis dan sutradarai sendiri seperti, “AEOLUS” yang terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani dan juga “Lost”, yang keduanya sempat masuk di beberapa festival film termasuk festival film International di China, dengan kategori thriller dan experimental di tahun 2016.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 49