Budaya / SeniCerpen

Konon, Namanya adalah Celurit: Yanto – Preman Terminal (3)

Cerita Bersambung: Andika Wahyu A. P.*

| 2 | YANTO – Preman Terminal.

Suara gemuruh kendaraan terdengar dari jalanan karena ramainya metromini yang terus berdatangan di terminal hingga kembali lagi tancap gas di jalanan, sementara di sudut ramai terminal, terlihat seorang lelaki berkulit sawo matang, berusia tiga puluhan bernama Yanto dengan tato rantai berwarna hitam, yang mengelilingi otot lengan kirinya yang kekar itu. Ia adalah preman terminal ini, ia memang setiap hari selalu berada di sini, untuk sekedar meminta iuran pada para pengamen-pengamen jalanan, tak ada lagi memang keberatan dibenak para pengamen untuk menyerahkan sebagian kecil hasil kerja kerasnya pada Yanto, mereka segan bukan takut, karena Yanto adalah sosok yang menyenangkan juga mengayomi, walaupun penampilannya begitu urakan hingga siapapun akan mengiranya orang jahat, pembunuh, mungkin pengemis, namun Yanto adalah nomor satu pembela para anak-anak jalanan di terminal ini.

Gemuruh kendaraan seakan bersatu dengan suara radio yang memang hampir setiap hari mengabarkan keadaan terkini Ibukota pasca gemparnya usulan penumpasan premanisme oleh Presiden beberapa saat lalu, dan buruknya, hal itu disambut meriah tepuk tangan oleh para Jenderal yang memang sudah kodratnya haus oleh kekuasaan pria tua yang kini sedang mereka soraki dengan bangga, berharap ia mati dengan segera dan salah satunya menghuni kursi empuk di dalam Istana di tengah kota yang mulai padat penduduk ini bak Dinasti Qing yang mungkin akan terus berlanjut jikalau revolusi tidak benar-benar terjadi. Namun bagi Yanto, “persetan!” katanya, yang terpenting adalah bagaimana caranya agar setiap hari masih bisa memasukan nasi dalam perutnya yang kosong ini lalu mengolesi lidah dan bibirnya yang mulai menghitam akibat nikotin dengan air hangat nan menyegarkan. Dan makanan warteg yang dijaga seorang janda tua setengah baya di terminal nampaknya memang sudah menjadi sarapan sehari-harinya, sementara ia memakan makanan di warteg kini, seorang anak muda, bertato kupu-kupu di lehernya yang juga kawannya yaitu Rudri datang menghampirinya tersenyum ceria, layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan baru dari kedua orang tuanya, padahal usianya sebentar lagi menginjak dua puluh tahun.

“Kenapa?..” tanya Yanto yang sangat penasaran dengan kawannya itu, “Biasa, setoran baru, lebih banyak dari kemarin.”, ucap Rudri begitu senang dengan hasil kerjanya menyetir angkutan umum yang sebelumnya biasa dipakai oleh Pung, kakaknya, sahabat baik Yanto pula.

“Pung kemana Rud?”, tanya Yanto dengan masih lahap memakan sarapannya sendok per sendok,

“dari tadi malem belum pulang, tapi untung sih kalo nggak ada abang, mungkin uang segede bisa buat aku terus.”, Yanto nampak ikut senang, melihat kegembiraan Rudri yang memang sudah sejak lama ia kenal, dan bahkan telah ia anggap adik sendiri mungkin, namun ekspresi Yanto hanya berlaku beberapa saat sebelum akhirnya ia mengkhawatirkan sesuatu, “Belum pulang sejak kapan?” tanya Yanto kembali, namun dengan rasa khawatir saat ini, “Malem, kemarin pergi sama bang Saiful, tapi nggak tau kemana lagi.”, Jawab Rudri pada Yanto, sementara itu ia terdiam, sebelum akhirnya Yanto kembali melanjutkan menghabiskan makanannya,

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Ketakutannya timbul, di situasi kota yang seperti saat ini, memang was-was bila seseorang pergi pada malam hari, terlebih Pung dan Saiful memang mempunyai tato di lengannya, dimana siapapun pasti akan mengira mereka penjahat, tak peduli siapa mereka sebenarnya yang hanya seorang supir angkutan umum biasa. Dan perkataan Rudri itu semakin menghantui Yanto dari waktu ke waktu, entah apa yang dikhawatirkan olehnya mendengar kabar tak pulangnya kedua Saiful dan Pung sejak malam kemarin, dua kawan supir angkot yang ia kenal sejak lama, membuat pikirannya membayangkan suatu hal yang liar, kemungkinan segala hal akan terjadi pada situasi saat ini, dan jika perkiraannya tidak meleset, tentu dirinya akan sangat bersalah karena pastinya para pemburu itu menyasar dirinya yang benar-benar berprofesi sebagai preman Terminal yang cukup mahsyur di kawasannya.

Sementara jam menunjukan waktu semakin larut dan keinginannya untuk pulang begitu menggebu-gebu di dalam dirinya, tak dapat ia lepaskan pandangannya dari jendela rumahnya pada malam hari, menengok ke segala sisi mencari kendaraan siapa saja, terutama mobil yang parkir di sekitar rumahnya yang tak ia kenal ataupun pernah ia sambangi pemiliknya hanya untuk sekedar mengobrol santai biasa. Ingin sekali ia kembali ke kampung dimana Istrinya tinggal, namun hal tersebut langsung hilang ketika, ia teringat kawannya, Rudri, anak muda yang kini tinggal sendiri, mungkin masih sendiri karena Pung tidak pulang sejak malam itu.

Sementara Radio tua milik Yanto terus menyala, di atas meja yang berkaki reyot termakan usia, terdengar seorang wanita pembawa radio yang memang setiap malam selalu mengumumkan beberapa nama korban yang terbunuh di jalanan terutama di malam hari, korban-korban yang telah diidentifikasi pagi tadi.

“..Yayan tiga puluh tahun, Wendy dua puluh lima tahun, Orden empat puluh tahun, Yongki dua puluh satu tahun..”

Nama-nama mayat-mayat yang berjatuhan di jalanan Ibukota terus diperdengarkan oleh suara wanita tersebut, dengan wajah Yanto di samping radio yang semakin gugup di malam itu, berharap tak terjadi apapun kepada kawan-kawannya, berharap tak mendengar apapun tentang nama-nama mereka terutama yang memiliki tato ditubuhnya, membuat Yanto begitu terjaga semalaman akan ketakutan yang melanda dirinya kini, ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok, alih-alih untuk menenangkan dirinya sendiri walaupun ia tahu, kekhawatiran akan selalu menyelimuti batinnya setiap kali ia menghisap satu batang rokok yang kini sedang ia selipkan diantara jari-jari hitam nan kasarnya.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

“Mengapa harus melalui mereka?, mengapa tidak langsung membunuh diriku saja?, apakah karena tato? Atau penampilan mereka yang urakan mirip preman membuat mereka terbunuh sia-sia ditengah ibukota negara? Dan, apakah aku adalah selanjutnya?”, pertanyaan-pertanyaan yang terus menyelimuti diri Yanto semalaman itu, ketakutan, marah, bercampur keringat dingin yang kini telah membasahi pakaian kaos putih miliknya yang mulai membasah dan bau keringat tajam.

Namun waktu terus berjalan, hanya beberapa detik lagi menuju sang mentari yang akan terbit menjulang tinggi menyinari langit Ibu kota melalui celah setiap gedung-gedung perusahaan asing yang menjulang tinggi, simbol keperkasaan negeri ini (dimasa lalu? Atau masa kini?), sinarnya perlahan mengusir setan-setan berpeluru di jalanan untuk mengakhiri kegiatan malam harinya, dan baru saja beberapa saat Yanto memejamkan mata di kasurnya yang empuk, merasakan keamanan, lega akan tidak adanya nama kawan-kawannya di radio selepas malam tadi,  suara ketukan pintu dengan keras memecah kebahagiaan Yanto seketika,

“Bang Yanto..! Bang..!”, suara seorang anak kecil,

nampaknya ia kenal dengan suara tersebut, ia adalah satu dari banyaknya anak jalanan yang biasa mengamen dan menyetor kepingan-kepingan receh hasil keringat dia setiap hari kepada Yanto, rupanya ia menghampiri Yanto pagi itu, dan Yanto pun langsung bangkit menuju pintu rumahnya dan membuka pintu itu dengan sigap, nampaklah di hadapan matanya seorang anak berpakaian kaos biru oblong dengan wajah yang lusuh dan keringat yang terus membanjiri keningnya, layaknya atlet lari olimpiade, cita-cita yang selalu ia dambakan selama ini.

“Ada apa?”, tanya Yanto yang nampaknya begitu ketakutan, melihat ekspresi lelah dan panik anak itu, sesuatu yang buruk pasti terjadi pikirnya.

Lalu ketika anak tersebut menjelaskan apa yang baru saja ia lihat, mereka pun segera keluar rumah dan berlari menuju lokasi yang dimaksudkan, dengan bermodal pakaian lengan panjang lusuh tak tercuci selama berhari-hari untuk sekedar menutupi tato rantai di lengannya. Yanto bergegas berlari mengikuti anak tersebut sepanjang jalan, hingga mereka menemui sekerumun orang yang nampaknya sedang mengerumuni sesuatu, sebagian bahkan asik tertawa lepas seakan menonton karya seni bernilai tinggi yang jatuh dari pesawat-pesawat tempur yang gencar diproduksi belakangan, di sudut lain jalanan ramai, beberapa dari mereka nampak bergunjing asik tentang pria yang mati di tengah jalan wilayah itu.

“Pantas aja, preman, bagus lah..”, ucap seorang yang wanita yang terlihat sedang berkumpul menggosip dengan ibu-ibu paruh baya lainnya di pinggir jalan ketika Yanto berpapasan dengannya,

“Mati aja, biar gak ada yang malakin di pasar.”, seorang pedagang bakso nampak menyaksikan di salah satu sudut jalanan, “Biar dapat pelajaran itu preman-preman yang masih hidup..”, seorang pria berkata tepat di sebelah Yanto, sementara itu Yanto memberanikan diri berjalan memasuki kerumunan melihat siapa yang terbunuh kali ini, nampaknya seorang pria, bertubuh kekar, dengan kepala terbungkus karung goni lusuh, dan tangan yang terikat ke belakang tubuhnya dengan sebuah borgol dan rantai besi tangguh, dengan darah yang mengering dari setiap lubang bekas tembakan yang ada di bagian-bagian karung yang menutupi wajahnya tersebut, mengering tak lagi menetes cair, menodai tubuh-tubuh dan otot-otot kekarnya hasil kerja kerasnya mengumpulkan uang bertahun-tahun.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Hanya saja, tato di lengannya menarik perhatian Yanto seketika itu, untuk mengetahui siapakah gerangan tubuh itu, apakah rekannya atau bukan? lantas saja ia sigap melihat tato itu, nampaklah sebuah tato harimau di lengannya yang mengaung nampaknya cukup keras dengan rambut-rambutnya yang berkibar tertiup angin khayalan imajinasi sang penggambar amatir, ia benar-benar mengenalinya, ya, itu adalah mayat Saiful salah satu kawannya di Terminal. Dan itu benar-benar seperti sebuah pukulan telak bagi Yanto, ia yakin sekali itu adalah Saiful, seorang supir angkot di Terminal ramai, juga kawannya yang konon pergi bersama Pung dua malam sebelumnya menurut Rudri. Kini setelah melihat tubuh Saiful yang terbujur kaku menjelma menjadi bahan tontonan baru kepala-kepala gila yang terlihat waras, masyarakat ibukota, ia nampaknya tersadar bahkan mulai yakin akan apa yang juga mungkin sudah terjadi pada Pung sementara ia dan beberapa warga memandangi mayat Saiful seperti binatang yang tergeletak mati di jalanan, manusia yang tak ada harganya lagi, menjadi tontonan asik warga metropolitan ini, “untung tidak dibakar habis”, pikirnya, seperti beberapa kasus yang sudah-sudah.

(Bersambung…)

Baca Kisah Sebelumnya: Konon Namanya adalah Celurit

*Andika Wahyu A. P. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 22 Juli 1998, ia dibesarkan di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berkebangsaan Indonesia, dan kini merupakan seorang Mahasiswa Seni Film di Institut Kesenian Jakarta.  Ketertarikannya terhadap genre, Horror/thriller melalui buku maupun film, seringkali dituangkan langsung kedalam beberapa karya nya, sebut saja film pendek yang ia tulis dan sutradarai sendiri seperti, “AEOLUS” yang terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani dan juga “Lost”, yang keduanya sempat masuk di beberapa festival film termasuk festival film International di China, dengan kategori thriller dan experimental di tahun 2016.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

 

Related Posts

1 of 39