Konon, Namanya adalah Celurit: Kisah Dua Algojo – Perburuan Menuju Akhir (2)

Ilustrasi: Dok. GameBanana

Ilustrasi: Dok. GameBanana

Konon, Namanya adalah Celurit: Kisah Dua Algojo – Perburuan Menuju Akhir (2)

Oleh: Andika Wahyu A. P.*

Perjalanan berlalu begitu panjang, dan sepanjang itulah pria berkepala plontos ini mendengar candaan kedua algojo tersebut tentang mayat-mayat preman, yang notabene adalah kawan-kawannya, yang telah dihabisi oleh mereka berdua, dan itu membuatnya begitu geram, namun nyatanya ia tidak bisa apa-apa dalam kondisinya yang terborgol kedua tangannya ke belakang tubuhnya. Empat jam berlalu sejak mereka berjalan dari jembatan sebelumnya, jalanan Jakarta begitu sepi saat malam hari, sepertinya semua orang telah terlelap dalam mimpi-mimpi indahnya tentang negeri yang sejahtera dan makmur di atas kasurnya yang mahal dan hangat serta nyaman untuk mengadahkan kepala mereka ke langit-langit tanpa bintang di atas atap rumah mereka yang kokoh. Sementara dari dalam mobil, kedua algojo ini sesekali melihat beberapa tubuh anak-anak jalanan terkapar di sisi-sisi jalan, tertutup oleh koran-koran bekas, bahkan beberapa kepalanya terbungkus oleh karung dengan lubang-lubang tembakan yang menyelimuti setiap sisinya. Kesemuanya adalah pemandangan yang begitu biasa pada saat ini menurut mereka.

“Dapat mangsa banyak ini, temen-temen kita.”, Rendra melihat ke arah luar,

sesekali melintasi mayat-mayat preman yang terkapar di jalanan, sedangkan mereka berdua di dalam mobil tersenyum bangga bisa menjadi bagian di dalam aksi penumpasan tersebut. Mobil berjalan lambat, sengaja rupanya karena Yoga juga menikmati pemandangan sepi nya Jakarta tersebut, disisi lain mau tidak mau ia juga merasakan kengerian begitu mendalam di kota yang menjadi pusat negara ini, namun semuanya hilang ketika ia ingat, mungkin di masa depan, mereka berdua adalah pahlawan pujaan anak muda penerus

Mobil perlahan masuk ke dalam wilayah perumahan yang sepi, tak ada siapapun yang keluar rumah pada tengah malam, setidaknya untuk beberapa tahun belakangan ini, membuat mereka dengan leluasa untuk melepaskan preman itu dari borgol yang mengikatnya, serta membuka ikatan kain hitam legam yang sedari tadi menutup matanya rapat-rapat, menghalanginya melihat wajah kawan-kawannya untuk yang terakhir kali, dan kini setelah semuanya terlepas, ia terbebas dan dapat menggerakan tangannya seperti semula.

“Lari! Cepat!” teriak Yoga kepada pria botak itu dari arah jok mobil depan,

Pria itu pun keluar dari mobil segera dan lari menjauh dari mobil melewati jalanan panjang di perumahan itu mencari tempat bersembunyi dengan bertelanjang dada, dan tidak beralaskan sepatu maupun sendal di kakinya, terengah-engah menelusuri sepanjang jalanan. Sementara itu di dalam mobil, Yoga meraih sebuah kertas berisi daftar target operasi miliknya, dan mencoret sebuah nama bertuliskan “A PUNG”, — Nama pria botak yang baru saja mereka lepaskan dan kini berlari menyusuri sepanjang jalan dihadapan mereka — pada  kertas tersebut, tanda telah dieksekusi olehnya.

“Pengen cepetan balik nih, kangen anak,.. masih ada berapa lagi?”, tanya Rendra di sebelahnya.

“Tinggal yang terakhir.”, jawab Yoga dengan santai dan meletakan kembali daftar tersebut di dashboard mobilnya,

lalu keluar dari mobil melihat A Pung yang terus berlari semakin jauh dari mobil jeep milik mereka. Yoga perlahan mengeluarkan pistol revolver miliknya dan membidik tubuh A Pung berlari menjauh darinya di kejauhan, sementara itu A Pung terus berlari semakin ketakutan, seakan tahu apa yang akan terjadi padanya beberapa saat lagi, karena tak mungkin Yoga dan Rendra, dua tukang jagal ini melepaskan begitu saja dirinya di tengah perkotaan yang ramai orang. Namun beberapa detik kemudian suara tembakan terdengar begitu keras menggema di seantero perumahan itu, di belakang A Pung, dan anehnya tak ada siapapun di lingkungan tersebut yang berani untuk mengeceknya, bahkan mungkin melihat dari jendela saja, penasaran apa yang terjadi di depan rumah mereka. Ya, ketakutan memang telah lama tertanam di benak masyarakat Jakarta setelah kejatuhan rezim awal beberapa tahun yang lalu, dan A Pung terjatuh seketika, dengan leher yang berlubang, bersimbah darah, yang terus mengalir membanjiri jalanan tempatnya terjatuh.

Yoga pun dengan santai menghampiri tubuh preman yang baru saja berusaha ia tembak mati itu, namun nampaknya tembakan dia hanya mengenai leher, bukannya kepala, dengan darah yang tak henti-hentinya, hanya menunggu beberapa menit saja untuk A Pung mati di jalanan, dan menjadi objek tontonan pagi ini, Yoga segera menundukan badannya, memeriksa denyut nadi A Pung, berharap pria itu lekas mati jika perlu, hingga ia dapat melanjutkan perjalanan. Namun nyatanya denyut masih berdetak walaupun mulai melambat, ingin rasanya Yoga menembaknya lagi, namun rupanya A Pung ingin mengatakan sesuatu yang tidak terdengar oleh Yoga, mulutnya terus bergerak seakan sedang mengucapkan beberapa kalimat, mengajak tukang jagal itu untuk ikut mendengarkannya. Melihat hal tersebut, Yoga pun mendekatkan telinganya pada A Pung, dan untuk beberapa saat ia mendengarkan A Pung berkata sesuatu di telinganya.

“Hei! Gimana?!” teriak Rendra, kepalanya dikeluarkan dari jendela mobil, penasaran dengan apa yang dilakukan Yoga di kejauhan sana. Ia pun segera menengok rekannya tersebut, “Aman..!” Yoga menjawab Rendra, hanya saja matanya tetap tertuju pada A Pung, mengerut dahinya pada preman itu, denyutnya masih terasa, namun Yoga meninggalkannya segera kembali ke mobil jeep nya bersama Rendra, sementara dibiarkannya A Pung sekarat sendirian di tengah jalan, tak ada siapapun yang menolongnya sebelum pagi menjelang, walaupun ia sadar, bahwa itu pun hanya akan membuatnya menjadi tontonan saja bagi warga sekitar, atau mungkin ia hanya akan dibuang lagi, atau dibakar, menjadi objek pelampiasan amarah warga metropolitan Jakarta yang sudah penat oleh permasalahan hidup di perkotaan.

*Andika Wahyu A. P. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 22 Juli 1998, ia dibesarkan di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berkebangsaan Indonesia, dan kini merupakan seorang Mahasiswa Seni Film di Institut Kesenian Jakarta.  Ketertarikannya terhadap genre, Horror/thriller melalui buku maupun film, seringkali dituangkan langsung kedalam beberapa karya nya, sebut saja film pendek yang ia tulis dan sutradarai sendiri seperti, “AEOLUS” yang terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani dan juga “Lost”, yang keduanya sempat masuk di beberapa festival film termasuk festival film International di China, dengan kategori thriller dan experimental di tahun 2016.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version