Konon, Namanya adalah Celurit: Kisah Dua Algojo (1)
Cerita Bersambung: Andika Wahyu A. P.*
Langit begitu gelap tak berawan, kosong melompong menunjukan kesenyapan malam di negeri yang menawan. Terdengar suara jangkrik dan ranting-ranting yang bersinggungan satu sama lain. Menggema di seluruh kawasan hutan lebat berselimut pohon-pohon tua nan keramat yang sering orang bilang dihuni oleh makhluk-makhluk gaib mitos. Sementara nampak beberapa kali kelelawar bersayap hitam legam berterbangan memecah angin dingin yang berhembus begitu tenang pada malam yang sunyi di pedalaman Pulau Jawa. Sebuah pulau terpadat dan sejak lama diduduki lebih dari dua bangsa dan kini sudah menjadi pusat dari suatu negara yang pernah memiliki kharismanya tersendiri di mata dunia.
Sedang di pinggiran sungai di tengah hutan, tiga pria bertelanjang dada, berjejer berlutut menghadap hantaman-hantaman air sungai pada batu-batu di tengahnya. Dengan mata yang tertutup kain hitam dan tangan terikat borgol ke belakang. Namun mereka tetap masih bisa mendengar. Satu orang terlihat menangis, takut dengan dua pria yang berada di belakangnya, ia memiliki sebuah tato ular di lengan kirinya. Sementara orang kedua nampak diam saja, pasrah dengan apa yang selanjutnya terjadi. Seakan ia tahu dimana dan akan diapakan mereka semua ditempat ini. Pria tersebut memiliki tato harimau di lengannya yang kekar, mengaum keras kepada siapapun yang melihatnya.
Pria yang ketiga begitu tenang. Lebih tenang dari yang kedua. Pria tersebut berkepala plontos, dengan lengan berhiaskan tato naga dari mitologi Tiongkok. Nampaknya memang ia sudah tahu siapa yang melakukan ini semua pada mereka kini. Dari ketiganya satu hal yang pasti, mereka semua bertato di setiap lengannya, telah siap menerima takdir yang akan memisahkan raga dan jiwanya di dunia ini.
“Ini sebagai contoh bila tak ada satupun dari kalian yang mau menjawab dimana keberadaan dia.” Suara berat seorang lelaki terdengar sangat jelas di belakang ketiganya, bersamaan hawa dingin yang menerpa pundak mereka, menembus setiap daging kekar itu hingga ketulangnya, dan keluar lagi dari dada setiap pada tiga orang itu. Di saat bersamaan sebuah pistol revolver ditempelkan pada kepala satu pria yang sejak tadi sudah menangis ketakutan, dan sekejap saja peluru langsung menembus kepala pria tersebut, darah berceceran hingga melompat isi otaknya bersamaan dengan tirai hitam menutup pandangannya kini, hanyut di sungai tak berujung yang damai.
| 1 | Kisah Dua Algojo – Perburuan Menuju Akhir.
Yoga nampak merokok dengan santai di dalam mobil jeep miliknya, menikmati sunyi malam yang menyelimuti keheningan suasana di luar mobil yang terus tak lepas dari pandangannya. Sementara seorang pria duduk sendirian di jok tengah mobil tersebut, matanya tertutup kain hitam, lengannya bertato naga, dan kini kepala plontosnya nampak jelas terkena sinar lampu jalan yang remang-remang yang menembus kaca-kaca mobil yang kini telah mengembun di segala sisi, menerangi jembatan penyebrangan yang sepi, dimana mereka sedang berada sekarang. Di bagasi mobil, mayat seorang pria, salah satu dari ketiga korban mereka malam ini nampak disimpan, untuk dibuang di tempat lainnya, kepalanya terbungkus karung goni, dengan tangan terikat borgol ke belakang, lubang-lubang di karung goni adalah saksi tembakan-tembakan para algojo bersenjata revolver penuh peluru dan belum habis hingga kini, bernama Yoga dan Rendra yang mengeksekusi mereka beberapa jam yang lalu, sementara di lengannya sebuah tato harimau terlihat mengaum dengan keras, menjadi simbol kegarangan dan kemuakan sang pemilik semasa hidup terhadap siapapun yang menganggunya. Namun hanya untuk malam ini tato itu tak berfungsi sama sekali ketika ia terbujur tak bernyawa di bagasi mobil. Tepat di luar sana terlihat kawan Yoga, yaitu Rendra, sedang membuang sebuah karung goni berisi mayat ke arah sungai yang berada di bawah jembatan, ia lemparkan saja karung tersebut, dan sekejap menghantam aliran sungai yang tenang dan suara air yang memecah hawa dingin dan sunyi wilayah tersebut.
Yoga menjaga pria yang di belakangnya itu agar tetap diam tidak melarikan diri, lalu tak berapa lama ia melihat seorang pria berjalan ke arah mereka, rambutnya putih, sedikit bungkuk, memakai sarung yang dililitkan ditubuhnya, berjalan di atas kakinya yang reyot dimakan usia. Nampaknya pria tua itu baru saja pulang dari tempat ibadah. Melihat hal tersebut Yoga langsung keluar dari mobilnya, berjalan perlahan lalu berdiri di tengah jembatan dengan mulut yang masih saja sibuk dengan batang rokoknya yang terus mengepul ditengah kabut yang mulai muncul di keheningan malam, lalu mengeluarkan sebuah pistol revolver dari sakunya dan membawanya dengan santai di tangan kanan dia, hanya membawa, tidak menodongkan secara gamblang kepada pria tua itu. Sementara pria tua itu langsung terdiam melihat Yoga yang berdiri di tengah jembatan, dihiasi lampu jalanan remang-remang menjulang tinggi di atas kepalanya dan pistol yang ada di tangannya, wajahnya menjadi tak begitu jelas terlihat di mata pria tua itu, justru wajah pak tua tersebut jelas terlihat takut, dan segan terlihat dari raut wajah kriputnya yang membuat ia segera membalik badan, tak mau ikut campur dengan urusan dua pria yang berdiri dihadapannya itu, lalu berjalan cepat menjauh kembali dari Yoga dan Rendra yang ada di jembatan itu.
“Siapa?”, Rendra menghampiri Yoga yang masih melihat pria tua itu berjalan kembali ke tempat dirinya muncul tadi, di ujung jembatan.
“Entahlah, warga sipil kali, ayo balik!”, Yoga menuntun Rendra untuk berbalik ke dalam mobil, meneruskan perjalanan mereka yang masih sangat jauh kembali ke perkotaan. Pria botak itu selalu diam, tidak sepanik kedua kawannya yang ditangkap berbarengan bersama dia, lagipula siapa yang sudi berbicara dengan pembunuh yang baru saja membunuh kawannya beberapa saat yang lalu, pikirnya.
“Kau nggak tahun baruan nanti?”, tanya Rendra pada rekannya tersebut yang masih menyetir mobilnya.
“Nggak lah, mungkin nanti kalo tugas udah beres, tanggung kan ninggalin pekerjaan dengan bonus segede ini. Lebih baik pulang nanti bawa hasil gede buat anak – istri.”, jawab Yoga dengan penuh ketenangan,
“Kalo aku jadi kau, aku lebih baik pulang duluan Yog, mendingan tahun baruan sama anak – istri daripada sama kriminal-kriminal ini, siapa yang mau berduaan sama mayat-mayat di tahun baru?”
“Setidaknya, sepuluh, atau lima belas tahun nanti, kita bakal masuk sebagai pahlawan nasional karena udah ngurangin populasi penjahat di negeri ini.”, nampak keduanya tertawa dengan lepas ketika mereka berbicara tentang lucunya pekerjaan mereka yang mau saja diperintah untuk membunuh para pria bertato di jalanan kota.
Sementara itu nampak sesekali pria botak di belakang mereka semakin merasa kesal dibuatnya, dengan menegangkan rahangnya yang nampak menonjol dari sisi wajahnya, rasanya ingin ia bunuh saja keduanya dan ia bakar habis kedua pria yang kini duduk layaknya bos di depan wajah dia, sementara ia tak dapat melihat apapun yang terjadi saat ini, hanya suara tawaan keras dua pembunuh ini di dalam mobil.
*Andika Wahyu A. P. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 22 Juli 1998, ia dibesarkan di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berkebangsaan Indonesia, dan kini merupakan seorang Mahasiswa Seni Film di Institut Kesenian Jakarta. Ketertarikannya terhadap genre, Horror/thriller melalui buku maupun film, seringkali dituangkan langsung kedalam beberapa karya nya, sebut saja film pendek yang ia tulis dan sutradarai sendiri seperti, “AEOLUS” yang terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani dan juga “Lost”, yang keduanya sempat masuk di beberapa festival film termasuk festival film International di China, dengan kategori thriller dan experimental di tahun 2016.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].