Ekonomi

Konferensi Tembakau di Bali Disebut Rancang Strategi Hancurkan Industri Hasil Tembakau

Pabrik pembuatan rokok kretek/Foto istimewa
Pabrik pembuatan rokok kretek. (Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada 13-15 September 2018 digelar konferensi Asia Pasific Conference on Tobacco or Health (APACT). Aktivis dan Komunitas Kretek tanah air menyikapi kritis koferensi tembakau tersebut.

Komunitas Kretek menilai, agenda APACT jelas ingin menghancurkan Industri Hasil Tembakau (IHT). Padahal, di dalam industri itu ada dua jenis komoditas yang jadi bahan bakunnya yakni tembakau dan cengkeh.

“Selama ini, orang hanya tahu bahwa petani tembakau kita kaya. Tapi mereka melupakan bahwa petani cengkeh juga sangat sejahtera. Kedua komoditas ini berharga mahal karena industrinya maju. Dan industri ini yang akan dihancurkan,” kata Komunitas Kretek dikutip dari keterangannya, Jakarta, Rabu (12/9/2018).

Baca juga: Komunitas Kretek Tolak Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia

Di Indonesia, ada belasan provinsi penghasil tembakau. Tapi yang terbesar memang di lima provinsi yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat dan DIY. Untuk penghasil cengkeh, ada lebih dari 25 provinsi. Itu artinya dari mulai Aceh sampau Maluku, membentang pertanian komoditas cengkeh.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

“Sementara itu, rokok kita adalah kretek. Rokok yang isinya campuran antara tembakau dan cengkeh,” katanya.

Dan 94 persen hasil pertanian cengkeh diserap untuk industri hasil tembakau. Artinya, kalau industri hasil tembakau dimatikan, pohon cengkeh yang dibutuhkan oleh industri lain hanya 6 persen. Dengan kata lain, petani cengkeh seluruh Indonesia hendak dimiskinkan bersama dengan petani tembakau.

Baca juga: Kretek Nusantara Dalam Gempuran

Sialnya, konferensi APACT digelar saat ekonomi Indonesia sedang gonjang-ganjing. Padahal, industri hasil tembakau menjadi salah satu penyangga perekonomian yang sangat kuat saat Indonesia sedang krisis.

“Rumusnya sederhana; cengkehnya dari dalam negeri, tembakaunya dari dalam negeri, industrinya dari dalam negeri dan konsumennya selain dari dalam negeri juga diekspor,” kata komunitas tersebut.

Ditambahkan, mata rantai seperti itulah yang membuat Indonesia tetap kokoh saat diguncang krisis. Industri hasil tembakau-cengkeh jadi salah satu industri yang bisa menjadi penyangga saat ekonomi Indonesia sedang gonjang-ganjing.

Perang proksi terhadap industri hasil tembakau

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

Sementara itu, Forum Komunikasi Mahasiswa untuk Kedaulatan Tembakau (FKMKT) menjelaskan produk utama dari Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah rokok kretek. Sebagai produk, rokok baru bisa disebut rokok kretek kalau ada unsur cengkehnya.

Baca juga: Pengamat Ekonomi Muhammadiyah: Keuntungan Rokok Meningkat, Petani Tembakau Merana

Terkait perhelatan besar konferensi APACT di Bali, FKMKT mengatakan itu merupakan konferensi internasional kelompok anti rokok untuk mengendalikan tembakau.

“Tujuan utamanya jelas untuk mematikan atau setidaknya menekan IHT di Indonesia, utamanya rokok kretek,” kata Ketua FKMKT, Anwar saat dihubungi redaksi, Jakarta, Rabu (12/9).

“IHT sendiri mempunyai posisi yang sangat strategis bagi negara kita. Sektor ini menyumbang 149,9 triliun atau 8,92% dari realisasi pendapatan APBN 2017. Juga menyerap 6,1 tenaga kerja langsung yaitu 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh dan 2,6 juta dari sektor manufakturnya. Belum lagi tenaga kerja tidak langsung seperti buruh panen yang musiman,” tambahnya.

Baca Juga:  Pj Bupati Pamekasan Salurkan Beras Murah di Kecamatan Waru untuk Stabilitas Harga

Baca juga:

Menjaga Marwah Pertembakauan Nasional (Bagian 1)
Menjaga Marwah Pertembakauan Nasional (Bagian 2)

Anwar menilai, ketika sektor strategis tempat puluhan juta orang menggantungkan hidupnya hendak dimatikan, jelas ini perang proksi, di mana kelompok yang berkonferensi di Nusa Dua itu dijadikan pihak ketiga dengan jubah indah kesehatan dan kemiskinan, yang dimanfaatkan kaum hegemonis di baliknya.

“Konferensi itu akan menekan pemerintah Indonesia untuk meratifikasi hasil-hasil konferensi mereka menjadi Undang-undang (UU). Model beginilah yang oleh Bung Karno dulu disebut sebagai neo kolonialisme dan neo imperialisme. Menjajah tanpa perlu menduduki,” ucapnya.

“Kita adalah negara yang bermartabat, yang berdaulat dalam bidang politik, yang mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tidak ada pihak manapun yang boleh dan bisa mengatur-atur negara dan bangsa kita,” tegas Anwar. (eda/edd)

Editor: Gendon Wibisono

Related Posts

1 of 3,051