Opini

Kompleksitas Persoalan Pendidikan Merambah Berbagai Bidang Kehidupan

sendiko dawuh, kompromi, kompromi politik, kompromi kepentingan, kompromi kekuasaan, kompromi jabatang, konfrontatif, nusantaranews, nusantara, nusantara news, nusantaranewsco
Ilustrasi – Kompromi. (Foto: gurupendidikan.co.id)

Kompleksitas Persoalan Pendidikan Merambah Berbagai Bidang Kehidupan

Oleh: Agung Kresna, pemerhati pendidikan

TIDAK adanya pondasi dalam visi pendidikan Indonesia menjadi persoalan terjadinya krisis dunia pendidikan saat ini. Pendidikan sejatinya menjadi arena untuk membentuk peserta didik yang dapat menjadi garam dan terang. Jatuhnya orde baru menjadi penanda hadirnya reformasi, namun sampai saat ini belum menjawab persoalan ekosistem pendidikan. Visi pengembangan pendidikan sosialis adalah arus utama pendidikan bagi sesama dan semangat kebersamaan pada masa orde lama. Sosialis bukan berarti komunis.

Diskursus (baca: wacana) agama telah mewabah dan mengkonstruksi bahwa sosialis lekat dengan atheis. Oleh karenanya, bagaimana membangun pondasi pendidikan dengan visi perubahan?

Ini menjadi tugas kita bersama. Tidak penting lagi dari agama mana anda berasal atau kelas sosial tertentu. Inklusvitas tidak terbatas pada identitas tetapi juga pelibatan kelas.
Terjadinya kasus yang dilakukan oleh murid terhadap guru menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan Indonesia.

Kasus murid yang merokok dan menantang gurunya di salah satu SMP Gresik menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu. Sebelum viralnya kasus tersebut, dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan kasus pemukulan murid terhadap guru di salah satu SMK Makassar. Sebelumnya lagi, pada medio 2015, kasus pembacokan murid terhadap guru terjadi di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Tangerang. Mengapa hal ini dapat terjadi dalam dunia pendidikan, di mana dianggap sebagai arena untuk transfer pengetahuan dan nilai?

Menyoal pendidikan, hakikat dasar pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah—among, momong, ngemong—yang menjadi filosofi dasar pengembangan Taman Siswa. Selain itu, seorang pemikir pendidikan asal Brazil, Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya untuk membebaskan.

Akan tetapi, untuk memahami pendidikan bukan hanya terhenti dengan mengetahui definisinya melainkan mengapa definisi tersebut muncul? Pernyataan Fraire terkait pendidikan sebagai upaya pembebasan tidak terlepas dari latar belakangnya yang hidup dalam kondisi masyarakat menengah ke bawah serta terjadinya penindasan melalui institusi pendidikan.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Membahas kasus kekerasan murid terhadap gurunya, dengan menggunkan filosofi dasar di atas. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa pendidikan harus memperhatikan konsep keselarasan antara budi pekerti, pengetahuan dan diri anak. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa terdapat pembagian peran pada masing-masing institusi untuk menjalankan keselarasan tersebut.

Pertama, budi pekerti dapat diartikan sebagai watak, tata perilaku dan karakter, di mana fungsi pembentukannya terjadi dalam institusi keluarga. Kedua pengetahuan, di mana pembentukannya melalui institusi pendidikan seperi sekolah dan perguruhan tinggi. Ketiga, diri dengan proses pembentukannya berada dalam lingkungan teman sepermainan.

Namun, pembagian tersebut bukan lantas membuat garis pemisah tegas antar satu instusi dengan institusi lainnya melainkan pembagian peran. Sehingga secara luas terdapat keseimbangan dan keterhubungan antar institusi-institusi tersebut dalam mendidik anak.

Kasus siswa yang menantang gurunya menjadi keresahan, bagaimana budi pekerti tidak dapat dipraktikan dengan baik. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan hari ini, terkait penurunan nilai etika atau budi pekerti anak yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat.

Pada kasus lain, ujuran ‘percuma pintar namun tidak memiliki sopan santun dan etika’ seringkali terdengar di kuping kita. Hal ini terjadi karena institusi keluarga tidak menjalankan perannya secara maksimal. Jika mau jujur, itu bukan sepenuhnya kesalahan terjadi pada institusi keluarga. Kasus ini juga menjadi refleksi terkait kebijakan pendidikan di Indonesia.

Politisasi pendidikan dengan pergantian kebijakan tergantung pemimpinnya seringkali memaksa eleman-elemen pendidikan melakukan adaptasi terhadap kebijakan baru. Padahal, kebijakan lama belum tertuntaskan. Ambil contoh misalnya terkait kebijakan full day school, di mana mengurangi waktu bertemu anak dengan keluarga. Selanjutnya, setelah pulang mereka masih harus melalukan pendidikan non-formal dengan les atau kursus demi mengikuti logika kompetisi yang terbangun dalam dunia pendidikan Indonesia.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Lantas kapan waktu anak tersebut bertemu dan bertukar pemikiran dengan keluargnya?,
Pada sisi lain, berdasarkan alasan keamanan anak, sistem full day school tetap berjalan. Berdalih orang tua yang bekerja sehingga anak dianggap rentan.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa bekerjanya orang tua di atas alasan demi men-sekolah-kan anaknya. Pada posisi ini sebagian orang sering mengatakan bahwa pendidikan itu memiskinkan. Pernyataan tersebut merupakan paradoks dari visi menjadikan pendidikan sebagai pemutus mata rantai kemiskinan.

Uraian ini menjadi gambaran kecil dari kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia. Perlu keselaraan berpikir, bertindak, bertutur terkait pendidikan. Saat ini Indonesia mencanangkan reformasi birokrasi yang terwujud dalam pembagian tugas pokok dan fungsi birokrasi serta terjadi silang kelembagaan dan transdispilin. Apakah hal tersebut dapat terwujud, saat imajinasi soal pendidikan dari masing-masing pihak masih berbeda-beda? Alih-alih membangun hakikat dasar pendidikan, yang terjadi justru saling bertarung demi mewujudkan kepentingannya.

Politisasi pendidikan ada kaitannya dengan kegiatan politik praktis. Kata politik ibarat momok bagi masyarakat dengan tipu muslihat dan rahasia umum penyataan dari kawan bisa menjadi lawan. Belum lagi soal korupsi yang lekat dengan dunia politik. Untuk mengurangi permasalahan sifat apolitis masyarakat diperlukan refleksi kembali memahami politik. Pandangan patologis masyarakat terhadap politik disebabkan oleh aktor-aktor politk yang mempertunjukkan perilaku menyimpang. Namun hal ini terjadi bukan semata karena kesalahan aktor.

Saat kita mengurai lebih jauh, aktor tersebut menjadi bagian dari partai politik. Sehingga, mereka tidak bersifat tunggal melainkan merepresentasikan berbagai kelompok dan kepentingan yang ada di baliknya. Partai politik sendiri menjadi bagian dari sistem kepartaian dalam demokrasi.

Demokrasi sendiri dipahami sebagai sistem kedaulatan rakyat. Namun saat ini yang terjadi justru mengatasnamakan rakyat demi kepentingan golongan atau kelompok tertentu belaka. Membahas terkait pendidikan politik bagi masyarakat adalah bagian yang tidak kalah penting. Pertanyaan reflektifnya, mengapa sifat ketidakpercayaan tersebut bisa muncul?

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Hal ini disebabkan terjadinya paradoks sikap yang ditunjukkan oleh wakil rakyat, di mana saat kampanye dan membutuhkan dukungan mereka menabur janji dan melupakannya saat sudah terpilih. Tilikan ini juga menjadi penanda kemunculan elit populis dan transfromasi hubungan patron-client dalam politik akhir-akhir ini, di mana mereka seolah menjadi bagian masyarakat dan anti terhadap dominasi serta ketidakadilan. Hal ini menyebabkan langgengnya budaya politik uang atau ‘serangan fajar’ yang telah menjadi rahasia umum di masyarakat.

Sikap apatis terhadap politik muncul karena berbagai diskursus yang melatarbelakanginya. Namun, masyarakat sendiri harus berani berposisi, bukan menghindari dan memilih golput (tidak memilih). Hal ini yang menjadi permasalahan akut di Indonesia, saat mereka yang diuntungkan dari salah satu rezim penguasa maka akan mendukung status quo. Sebaliknya, saat tidak mendapatkannya mereka lalu memproduksi diri sebagai pihak oposisi.

Terjadinya krisis sejatinya dapat dimaknai sebagai momen. Sebab, bagaimana pun konflik adalah bagian dari kehidupan serta tidak dapat kita menolaknya. Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengolah konflik, sehingga bermakna bukan transisi namun transformasi.

Apatisnya publik terhadap politik juga didukung media, baik online maupun offline yang cenderung memberitakan politik berbasis aktor dan produksi kawan-lawan. Selain itu, dewasa ini kebanyakan berita yang dipublikasikan cenderung mengarah pada wacana sentimen dan sisi gelap dunia politik. Hal tersebut tentu tidak salah. Namun, ada baiknya juga memberikan pemahaman sisi lain politik secara berimbang sehingga membentuk literasi yang bagus bagi masyarakat.

Dengan demikian, untuk mengatasi hal ini diperlukan pendekatan multi sektor dan transdisiplin pendidikan. Bukan menjustifikasi dalam koridor salah dan benar serta melanggengkan diskursus oposisi biner melainkan berusaha memahami politik secara substantif dan praktis melalui pendidikan secara harfiah.

Related Posts

1 of 3,050