Politik

Komitmen DPR Lakukan Check and Balances Patut Dipertanyakan

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk melakukan check and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) patut dipertanyakan bila melihat sejumlah kebijakan pemerintah yang akhir-akhir ini selalu menjadi sorotan publik. Ambil contoh misalnya wacana penggunaan dana haji untuk membangun infrastruktur. Malah, hanya karena kesamaan misi politik DPR kadang tak jarang memaksakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengundang polemik di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti dilahami, dalam check and balances system, masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Check and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.
Menurut pemerhati kebijakan publik, Chazali H Situmorang, melemahnya pengawasan dan keseimbangan kepada pemerintah tak lepas dari praktik politik sandera alias politik transaksional yang kini telah menjadi tren di kalangan elite politik nasional.
“Dengan menyimak sila-sila pada Pancasila, tentunya kita semua sepakat bahwa politik sandera tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Tidak ada satu sila-pun yang cocok dan pas dikaitkan dengan politik sandera. Tapi kenapa hal tersebut terjadi dalam sistim penyelenggaraan pemeritahan NKRI. Jawabannya ada di parlemen/DPR dan partai politik dis amping pada penyelenggara pemerintahan,” katanya, Jakarta, Rabu (9/8).
Chazali menilai, komitmen DPR untuk melakukan check and balances hanya habis di bibir belaka.
“Mari kita lihat dari fungsi pengawasan, sudah sejauh mana dilakukan DPR terhadap pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan ini. Apakah pemerintah dalam melaksanakaqn tugasnya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, apakah sudah berpihak pada kesejahteraan rakyat. Apakah sudah melaksanakan hak Budget dengan maksimal. Bagaimana bisa pemerintah Presiden Jokowi dalam masa 2,5 tahun pemerintahannya berhutang sebesar Rp. 1.067 triliun. Saat ini, akumulasi hutang pemerintah sejumlah Rp 3.667,4 triliun. Bagaimana bisa dana Haji mau digunakan untuk infrastruktur. Bagaimana sikap DPR merespons statement Menkeu Sri Mulyani, “Pilih utang atau gaji PNS dipotong.”. Bagaimana bisa Bank BUMN disuruh berhutang ke China untuk pembangunan transportasi kreta api Jakarta-Bandung yang mengakibatkan CAR dan NPL bank tersebut menjadi babak belur. Akibatnya bisa jadi Bank BUMN tersebut, tidak lagi menjadi milik pemerintah jika gagal bayar hutang,” papar Chazali.
Menurutnya, iklim partai politik di Indonesia tidak kondusif. Beberapa partai dikelola seperti suatu badan usaha atau yayasan keluarga bahkan ada yang menyebutkan seperti suatu kerajaan. Ada istilah The Rising Stars, tapi maksudnya Putra Mahkota.
“Menjadi Ketua Umum secapeknya. Kalau belum capek ya jadi Ketum terus. Padahal partai-partai inilah yang melahirkan calon-calon Presiden dan Wakil Presiden. Karena Undang-Undang kita menyatakan bahwa Capres dan Cawapres diusulkan oleh Partai Politik, tak boleh dari independen. Yang boleh independen hanya untuk mencalonkan Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, dan Wako/Wawako,” Chazali melanjutkan.
Yang lebih ironi lagi, kata dia, partai-partai papan bawah setuju presidential threshold 20 persen dalam UU Pemilu yang baru disahkan DPR. Hal ini bermakna partai kecil tersebut rela menyerahkan haknya untuk mencalonkan kandidat Presiden/Wapres kepada partai besar
“Apakah ini bentuk dari mental inferior, atau karena kesadaran politik yang tinggi dan tahu diri, atau sudah tersandera. Dugaan saya sudah campuraduklah semuanya,” cetusnya.
Celakanya, beberapa parpol kini sudah menjadikan partai sebagai ladang pekerjaan dan sumber penghidupan dan bukan untuk memperjuangkan nilai-nilai idealism sebagai bangsa terhormat. Sehingga, kata dia, jangan berharap mereka memikirkan rakyat atau konstituennya.
“Dalam hati mereka, ‘Ah nanti menjelang Pemilu tabur saja rejeki, sembako, bansos, bangun masjid, gereja, beri bantuan alat olah raga, buat hiburan dangdut, selesai urusan’. Sungguh kita ini berada pada tingkat pemikiran pragmatis dan instan yang sudah sampai ke ubun-ubun,” tukasnya. (ed)
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 65