Kohesi nasional adalah satu hal yang amat penting bagi perkembangan satu negara. Apalagi kalau negara itu masih belum selesai prosesnya untuk menjadi negara kebangsaan atau nation state yang mantap. Indonesia termasuk golongan negara yang demikian dan karena itu kohesi nasional bagi Indonesia amat penting.
Oleh: Sayidiman Suryohadiprojo (Bag 1)
Tulisan ini berusaha untuk melihat kendala-kendala apa yang dihadapi satu bangsa untuk mewujudkan kohesi nasional itu.
Yang dimaksudkan dengan kohesi nasional adalah kondisi satu bangsa yang bagian-bagiannya mempunyai daya saling tarik menarik sehingga menghasilkan persatuan yang kuat. Persatuan itu penting sekali untuk mencapai kondisi negara kebangsaan yang mantap. Ada orang-orang yang menganggap bahwa negara kebangsaan sekarang sudah menjadi satu konsep yang ketinggalan zaman, ketika umat manusia diliputi kondisi globalisasi. Akan tetapi itu bukan pendapat yang realistis. Mungkin bagi negara yang sudah mantap kondisinya karena eksistensinya sudah lama sekali, seperti negara-negara di dunia Barat, pendapat itu benar. Akan tetapi bagi bangsa-bangsa yang baru mencapai kemerdekaan perwujudan negara kebangsaan adalah satu keharusan, apabila kemerdekaan itu tidak hanya berupa kebebasan dari penjajahan bangsa lain, tetapi juga mendatangkan kehidupan yang lebih baik, maju dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya.
Jelas sekali bahwa keadaan yang masih belum memuaskan di banyak negara-negara yang baru merdeka, yang umumnya terletak di Asia dan Afrika, terutama disebabkan karena negara itu belum dapat menciptakan kemantapan satu negara kebangsaan. Oleh sebab itu terjadi banyak sekali persoalan yang menjadi rintangan bagi realisasi kehidupan yaang lebih baik ketimbang di masa bangsa itu dijajah bangsa lain. Cukup sering kita mendengar ucapan rakyat di negara yang tergolong baru merdeka yang membandingkan keadaan dalam kemerdekaan dengan keadaan masa penjajahan. Dan tidak jarang ada yang menilai kehidupan di masa penjajahan lebih baik bagi mereka, khususnya rakyat kecil.
Itu disebabkan karena kondisi di masa penjajahan adalah mantap, sekalipun mantap dalam kekuasaan penjajah dan bangsa itu sendiri tidak mempunyai wewenang sama sekali untuk mengatur kehidupannya sendiri. Kehidupan sehari-hari bagi rakyat kecil mungkin teratur dan buat mereka ada pegangan. Sedangkan dalam kemerdekaan keadaannya tidak atau belum mantap, karena bangsa yang baru merdeka itu belum berhasil menciptakan negara kebangsaan yang mantap. Memang kalau keadaan itu berlanjut untuk jangka lama, rakyat kecillah yang paling menderita. Oleh sebab itu pembentukan negara kebangsaan masih merupakan satu kebutuhan yang amat nyata dan penting bagi jutaan rakyat di dunia. Dalam hubungan itu faktor kohesi nasional amat perlu diperhatikan.
Faktor Etnik
Dalam tiap-tiap bangsa hampir selalu ada kumpulan orang yang merupakan kesatuan kultural tertentu yang berbeda dari kesatuan kultural lainnya. Perbedaan itu dapat bersifat besar seperti adanya perbedaan bahasa. Tetapi mungkin juga amat kecil dan bersifat perbedaan nuansa saja, namun tetap membentuk kumpulan yang berlainan. Kumpulan orang dengan kesatuan kultural tertentu itu yang dinamakan kesatuan etnik.
Jarang sekali satu bangsa hanya terdiri dari satu kesatuan etnik saja. Bangsa Jepang yang dikatakan sebagai bangsa yang homogen dalam kenyataan ada kesatuan etnik yang lain dari kesatuan etnik yang merupakan mayoritas bangsa Jepang, yaitu etnik Ainu dan sejumlah orang Korea yang dibawa sebagai pekerja ke Jepang, dan setelah itu secara turun-temurun tinggal di negara itu. Sukar ditemukan bangsa lain yang homogen seperti bangsa Jepang . Karena itu dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada bangsa yang tidak ada kesatuan etniknya yang berbeda-beda di dalamnya. Indonesia adalah satu bangsa yang amat banyak jumlah kesatuan etniknya.
Sudah barang tentu faktor tarik-menarik dalam satu kesatuan etnik adalah kuat, karena para anggotanya diikat oleh kebudayaan atau kultur yang sama. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa tarik-menarik dan persatuan dalam satu kesatuan etnik adalah lebih kuat ketimbang persatuan antar-etnik.
Kalau satu bangsa mengalami perkembangan yang membawanya kepada satu perjuangan nasional, persatuan etnik dapat dikalahkan oleh persatuan antar-etnik untuk membentuk satu gerakan nasional. Hal itu kita alami di Indonesia pada tahun 1928 ketika para pemuda Indonesia yang mulai memperjuangkan kemerdekaan Satu Bangsa di dalam Satu Tanah Air yang memiliki Satu Bahasa mengucapkan Sumpah Pemuda yang amat penting bagi terwujudnya Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat pada tahun 1945. Juga di bangsa lain yang mengembangkan perjuangan kemerdekaan yang kuat terwujud gerakan nasional yang dilandasi semangat nasionalisme yang kuat. Itu terutama terjadi di bangsa-bangsa yang terjajah yang mengambil bentuk nasionalisme berdasarkan kesatuan daerah penjajahan. Seperti nasionalisme Indonesia adalah gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa yang tinggal di wilayah Hindia Belanda yang dijajah Belanda. Pada waktu itu rasa kebersamaan nasib antara rakyat yang dijajah satu bangsa penjajah amat kuat, dan karena itu mereka amat berkepentingan untuk berjuang bersama merebut kemerdekaan dari penjajah. Demikianlah terbentuk satu nasion atau bangsa di kebanyakan daerah jajahan. Jadi yang menjadi satu bangsa adalah semua orang yang tinggal di wilayah daerah penjajahan tertentu, tidak peduli ia berasal dari etnik mana, kecuali mereka yang tidak bersedia menjadi warga bangsa itu.
Sebetulnya nasionalisme telah tumbuh lebih dulu di Eropa. Akan tetapi pertumbuhannya di sana agak berbeda. Di sana adalah kesatuan etnik besar, seperti orang Perancis, orang Jerman, yang melepaskan diri dari kekuasaan Imperium Romawi dan kemudian juga dari Imperium Roma Suci atau the Holy Roman Empire. Kesatuan etnik besar itu yang membentuk bangsa. Kemudian dari sana timbulnya nasionalisme, yaitu kehendak untuk menjadikan bangsanya paling utama di dunia atau di lingkungannya. Sebab itu di Eropa pengertian etnik dan nasionalitas atau nationality tidak banyak berbeda. Meskipun kemudian di dalam kesatuan etnik besar itu timbul perasaan etnik dalam lingkungan kecil. Seperti di lingkungan bangsa Belanda ada perasaan orang dari daerah Friesland bahwa ia berbeda dari orang dari daerah Holland atau provinsi lain. Juga di Jerman orang dari Bayern merasa diri berbeda dari orang daerah Preussen atau Sachsen.
Sebagai akibat dari pendidikan umum yang makin meluas di mana-mana, baik secara formal melalui sekolah maupun yang tidak formal melalui berbagai media informasi, maka umat manusia makin banyak pengetahuannya. Kesadarannya juga makin berkembang sebagai hasil dari perkembangan kemampuannya berpikir. Di pihak lain sumber kemajuan sejak abad ke 19 adalah dunia Barat, khususnya setelah terjadi Revolusi Industri. Sedangkan di Barat sejak terjadinya Rasionalisme telah tumbuh pandangan hidup bahwa individu merupakan nilai tertinggi dalam kehidupan atau yang dinamakan individualisme . Individualisme itu dengan sendirinya turut menyebar di seluruh umat manusia bersamaan dengan menyebarnya peradaban Barat. Karena peradaban Barat itulah yang dominan di dunia sejak abad ke 19, maka pendidikan umum yang tersebar di dunia juga kuat sekali didominasi oleh peradaban Barat. Karena itu juga individualisme turut masuk secara kuat dalam pendidikan umum itu. Hanya masyarakat yang mempunyai pandangan hidup sendiri yang kuat dan teguh yang mampu bertahan untuk tidak terbawa dalam pandangan hidup Barat itu. Dengan sendirinya itu juga meliputi bekas daerah jajahan negara Barat.
Individualisme yang menyebar itu lambat laun mempengaruhi sikap etnik. Etnik yang berada dalam lingkungan bangsa yang besar dan tidak menjadi etnik utama dalam bangsa itu menghendaki wewenang lebih banyak untuk mengatur diri sendiri, apalagi kalau etnik utama yang mendominasi bangsa kurang memperhatikan etnik-etnik lainnya. Bahkan kemudian timbul kehendak untuk memisahkan diri dari bangsanya untuk membentuk bangsa sendiri yang merdeka. Perkembangan ini sudah tampak setelah Perang Dunia I pada bangsa-bangsa Barat yang sudah tua. Itu diperkuat oleh ketentuan yang mulai dianut oleh masyarakat internasional dan didukung dengan kuat oleh Presiden AS waktu itu, yaitu Wilson. Ketentuan itu adalah hak menentukan nasib sendiri bagi setiap bagian umat manusia. Maka di Eropa kita melihat bahwa di Belgia selalu ada pertentangan antara etnik Walloon dengan etnik Vlaam. Di Spanyol etnik Basque hendak berdiri sendiri. Di Britania etnik Irlandia berhasil membentuk negara sendiri lepas dari Britania, yaitu mengambil bagian selatan pulau Irlandia di mana penduduknya dominan beragama Katolik. Dan di negara Eropa lainnya pun terjadi gejala yang sama.
Setelah Perang Dunia II terjadi perkembangan nasionalisme karena gerakan kemerdekaan rakyat yang terjajah. Pada waktu itu di bangsa-bangsa yang baru merdeka faktor etnik kalah kuat oleh faktor kebangsaan. Di lingkungan bangsa Barat pun perjuangan etnik tidak terlalu berpengaruh terhadap keadaan umum, oleh sebab Barat sedang menghadapi konfrontasi dengan blok komunis. Sedangkan di lingkungan negara komunis Uni Soviet menggunakan kekuatan militer untuk meredam setiap usaha pemisahan, karena menjaga keutuhan blok komunis. Jangankan perasaan dan kesadaran etnik, nasionalisme pun dikutuk oleh penguasa komunis, karena harus menjaga solidaritas komunis internasional. Yang hakikatnya tidak lain adalah supremasi kekuasaan Uni Soviet atas blok komunis. Hanya Yugoslavia di bawah pimpinan Tito dan RRC di bawah pimpinan Mao Zedong yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Moskow.
Akan tetapi setelah Perang Dingin selesai timbul perubahan besar dalam perjuangan etnik. Karena tidak lagi memusatkan diri kepada konfrontasi Barat-Komunis, maka sekarang mulai berkembang kembali gerakan separatisme atau pemisahan diri. Tidak hanya di dunia Barat terjadi hal itu, malahan di bekas blok komunis gerakan itu jauh lebih kuat. Yugoslavia yang bekas negara komunis tetapi tidak masuk blok Moskow, pecah menjadi sekian banyak kesatuan baru, yaitu Slovenia, Kroatia, Serbia , Macedonia, Montenegro dan Bosnia-Herzegovina. Sampai sekarang proses pemisahan ini belum rampung dan disertai konflik bersenjata yang kejam. Uni Soviet sendiri pecah menjadi 11 negara merdeka, sedangkan di Russia sebagai salah satu di antara negara itu, terjadi gerakan pemisahan dari beberapa etnik yang ada di negara itu. Hal serupa terjadi di Georgia, juga negara baru bekas Uni Soviet, sedangkan antara Armenia dan Azerbaijan sebagai negara baru terjadi konflik bersenjata yang keras.
Dalam pada itu proses individualisasi mulai terjadi di kalangan etnik yang ada di negara-negara baru bekas daerah jajahan. Hampir tidak ada negara baru yang bebas dari ancaman terjadinya separatisme. Juga di Indonesia hal itu terjadi, malahan di masa Perang Dingin masih berlangsung. Sebab waktu itu kedua kekuatan yang memimpin blok dalam Perang Dingin hendak membawa seluruh atau sebagian besar dari Indonesia sebagai sekutunya. Selain itu faktor agama pun berperan dan bekas penjajah masih terus berusaha mempengaruhi keadaan Indonesia. Maka kita alami pemberontakan Republik Maluku Selatan, Darul Islam/Negara Islam Indonesia, PRRI/Permesta dan Gestapu/PKI. Namun bangsa Indonesia beruntung bahwa faktor kebangsaan masih lebih kuat ketimbang faktor etnik. Itu disebabkan karena proses pembentukan negara kebangsaan berlangsung cukup kuat dan mantap.
Akan tetapi setelah Perang Dingin selesai, gerakan pemisahan memperoleh dorongan lebih kuat. Dan banyak negara baru, khususnya di Afrika, nampak berat sekali menghadapi gerakan itu. Itu disebabkan karena proses pembentukan negara kebangsaan di sana umumnya kurang dapat berlangsung dengan mantap. Juga di Indonesia yang selama lebih dari 40 tahun berhasil mengatasi setiap gerakan separatisme, sekarang menghadapi berbagai tantangan baru dalam rangka separatisme itu. Sebab perkembangan politik internasional dalam mana negara-negara tertentu di dunia ingin merealisasikan konsep politiknya, melihat Indonesia dengan sistem politik Pancasila sebagai hal yang tidak dapat diterima. Untuk mengubah kekuasaan di Indonesia gerakan separatisme yang merongrong kekuatan dan kewibawaan Republik Indonesia sangat bermanfaat. Di pihak lain harus diakui, bahwa belum ada perkembangan yang merata di antara sekian banyak etnik di Indonesia, sehingga mudah saja timbul ketidakpuasan pada etnik yang berada di luar pulau Jawa atas kondisinya yang jauh berbeda dari kondisi etnik di Jawa.
Maka kita melihat bahwa faktor etnik dapat menjadi kendala besar bagi kohesi nasional, kalau kurang ditangani secara arif bijaksana. Sudah terbukti bahwa pertentangan etnik tidak hanya terbatas pada perdebatan di parlemen belaka, melainkan dapat menjadi konflik bersenjata yang amat parah dan menimbulkan penderitaan besar pada jutaan rakyat. Kita melihat sekarang betapa besar penderitaan rakyat di banyak bagian Afrika dan belum ada kejelasan kapan akan berhenti. Oleh sebab itu setiap pihak yang memegang pemerintahan harus amat peka terhadap faktor etnik dan mengambil sikap yang arif bijaksana serta menjalankan politik yang mencegah faktor etnik menjadi masalah bangsa.
Ketika Republik Indonesia hendak berdiri, para Pendiri Bangsa sudah menyatakan bahwa dalam negara kesatuan Republik Indonesia harus ada pemberian otonomi luas kepada setiap daerah yang umumnya merupakan tempat tinggal etnik tertentu. Mereka sepenuhnya sadar betapa banyak orang, terutama di luar Indonesia tetapi juga sementara cendekiawan Indonesia sendiri, menyangsikan kemampuan rakyat Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan bersatu. Orang-orang itu mengatakan bahwa Indonesia hanya dapat bersatu karena dan ketika dijajah Belanda . Begitu Belanda tidak ada, kata orang itu, Indonesia akan pecah menjadi sekian bagian karena banyaknya etnik yang semua merupakan kesatuan kultural sendiri. Para Sesepuh Republik menyadari sepenuhnya bahwa pernyataan orang-orang yang tidak senang Indonesia menjadi bangsa merdeka dapat menjadi kenyataan, kalau kepemimpinan di Indonesia kurang peka terhadap faktor etnik itu. Oleh sebab itu mereka sejak semula menyatakan perlunya otonomi luas bagi daerah dalam Republik Indonesia yang merupakan negara kesatuan.
Akan tetapi baru belakangan saja pimpinan nasional kita hendak mulai merealisasikan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu kepada Daerah Tingkat Dua. Mudah-mudahan kebijaksanaan itu dilakukan dengan cukup lancar dan cepat agar dapat memberikan rasa kebersamaan yang kuat pada setiap etnik di Indonesia. Memang kita harus memberikan kesempatan kepada setiap etnik dan bahkan setiap golongan yang ada di Indonesia untuk dapat mengembangkan diri secara baik. Harus ditiadakan kemungkinan timbulnya perasaan dan persepsi bahwa Indonesia dikuasai oleh orang Jawa yang merupakan etnik terbesar. Perlu ada wewenang pada daerah untuk mengatur diri sendiri secara luas. Akan tetapi di pihak lain perlu juga kita tanamkan kesadaran pada setiap daerah, bahwa untuk kepentingan mereka sendiri adalah lebih baik untuk hidup bersama dalam naungan negara kesatuan Republik Indonesia ketimbang memisahkan diri menjadi satu negara kecil yang kurang berbobot. Kalau itu dapat kita lakukan dengan baik, maka faktor etnik tidak menjadi kendala bagi kohesi bangsa Indonesia. Sebaliknya malahan justru Bhinneka Tunggal Eka atau kemajemukan etnik dalam satu bangsa menimbulkan keindahan hidup, kekuatan dan kesejahteraan bersama yang lebih sempurna.
Persoalan yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah yang lancar adalah keterbatasan dalam sumberdaya manusia yang cukup bermutu di daerah. Kalau sumberdaya manusia yang bermutu kurang dapat dipenuhi, maka sukar sekali bagi daerah untuk dapat menjalankan wewenangnya dengan memberikan hasil memuaskan kepada penduduknya. Kalau itu terjadi, maka perlu diwaspadai timbulnya frustrasi pada rakyat daerah yang dapat mengambil aneka ragam bentuk. Persoalan lain yang juga penting adalah pembagian keuangan antara pusat dan daerah yang oleh daerah dianggap cukup adil. Hal ini terutama menyangkut sikap dan kebijaksanaan yang diambil Pemerintah Pusat. Namun Pemerintah Pusat dalam kenyataan adalah orang-orang yang duduk di dalamnya. Sebab itu diperlukan kepemimpinan yang arif bijaksana dari orang-orang yang menduduki Pemerintah Pusat. Juga DPR harus membantu dengan melakukan koreksi apabila Pemerintah Pusat kurang arif bijaksana dalam pembagian keuangan itu. Inilah yang menentukan keberhasilan otonomi daerah dan keberhasilan pula untuk menjadikan faktor etnik hal yang positif bagi masa depan Indonesia dan bukan kendala terhadap kohesi nasionalnya.(as/disunting dari sayidiman.suryohadiprojo.com)