Ekonomi

Kita Harus Fokus Membuat Small Aircraft Saja! (Bagian 2)

Small Aircraft (Ilustrasi)
Small Aircraft (Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO – Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank memberikan pembiayaan modal kerja atau pinjaman kepada PT Dirgantara Indonesia (PT DI) sebesar Rp 354 miliar. Fasilitas pembiayaan oleh LPEI ini merupakan tahap pertama yang diberikan kepada PT DI untuk program ekspor pesawat di Nepal dan Senegal. Managing Director LPEI Dwi Wahyudi mengatakan, pemberian fasilitas pendanaan dilakukan dalam rangka penetrasi dan pengembangan ekspor ke negara tujuan ekspor baru.

“Pembiayaan modal kerja senilai Rp 354 miliar ini untuk jangka waktu 12 bulan sejak penandatanganan perjanjian pembiayaan,” ujar Pekerja mengerjakan badan pesawat CN235-220.

Saat ini sedang dikerjakan pesanan Nepalese Army di hanggar sub assembly CN235 PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Bandung, Jawa Barat. Kementerian Perindustrian memproyeksikan realisasi investasi di sektor manufaktur mencapai Rp400 triliun pada 2018. Target tersebut akan disumbang dari realisasi investasi sektor agro, industri kimia, tekstil, industri logam, alat transportasi, dan elektronika.

Baca Juga: Kita Harus Fokus Membuat Small Aircraft Saja! (Bagian 1)

Kementerian Perindustrian memproyeksikan realisasi investasi di sektor manufaktur mencapai Rp400 triliun pada 2018. Target tersebut akan disumbang dari realisasi investasi sektor agro, industri kimia, tekstil, industri logam, alat transportasi, dan elektronika. Di sisi lain, Direktur Keuangan PT DI Uray Ajhari mengatakan, jenis pesawat udara yang akan diekspor ke kedua negara di afrika tersebut diantaranya Senegal  adalah CN235. Masing-masing negara saat ini memesan satu pesawat.

“CN235 ini pesawat model lama, tapi di-customize dengan teknologi terakhir, Nepal (saat ini) mengorder 1 pesawat, kalau kita berikan 1 tepat pada waktunya rencananya mereka akan mengorder 1 lagi. Kalau Senegal hari ini sudah yang kedua, sedangkan sekarang dalam proses order lagi sekarang udah masuk 3 berarti,” ujar direktur keuangan PT. DI.

Sebagai informasi, ekspor pesawat ke Nepal dilatarbelakangi adanya permintaan dari negara tersebut untuk menyediakan pesawat yang sesaui dengan kondisi geografisnya. Sementara Senegal membutuhkan pesawat yang dapat berfungsi sebagai Maritime Patrol Aircraft (MPA) karena kondisi politik kawasan tersebut masih rentan terjadi gesekan pemberontakan. Adapun pinjaman modal yang diberikan LEPI kepada PT DI didasarkan pada keputusan Menteri Keuangan No.649/KMK.08/2017 untuk menyediakan fasilitas pembiayaan atas program ekspor pesawat terbang.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Akan Perjuangkan 334 Pokir Dalam SIPD 2025

Portofolio yang sudah sukses dari PT. DI

Awalnya industri modern pesawat turboprop dengan cockpit modern fly by wire bermula dari pesawat PT IPTN jenis N250 ini. N -250 roll out pertama (pengenalan pertama di hadapan publik) dilakukan pada tahun 1995 di Bandung. Namun dihentikan semua proses selanjutnya karena rekomendasi dari IMF yang LOI-nya harus memberhentikan produksi IPTN tahun 1997 yang terkenal dengan prahara Michel Camdesus sebagai presiden IMF, dan berantakanlah semua impian Indonesia menjadi Negara adidaya manufaktur industri pesawat terbang turboprop 50 seater ke bawah.

Spesifikasinya diantaranya yang perlu kita tahu dari N 250 bikinan PT DI kala itu adalah sebagai berikut :

  • Fungsi: angkut penumpang dan kargo (Multi fungsi, dapat dikonfigurasi ulang)
  • Kapasitas: 19 Penumpang (konfigurasi tiga sejajar)
  • Kinerja lepas landas dan mendarat: jarak pendek/STOL (600 m) Biaya operasional: rendah
  • Mesin: 2 x 850 shp
  • pesawat N-250 pada awalnya dirancang hanya untuk mengangkut 50-54 penumpang. Melihat potensi pasar, pesawat ini kemudian diperbesar hingga mampu mengangkut 60-70 penumpang, dan diberi nama N-250-100.
  • Pesawat N-250 buatan IPTN boleh dikatakan merupakan pesawat komuter pesawat jarak pendek tercanggih di kelasnya. Pesawat yang mampu terbang dengan
  • kecepatan hight subsonic speed (300-330 knot) ini merupakan pesawat komuter pertama di dunia yang memakai sistem fly-by-wire.
    Prototipe pertama N-250 ini kelak dipakai sebagai laboratorium terbang untuk teknologi fly-by-wire. Teknologi pesawat itu akan dimanfaatkan industri pesawat terbang lainnya, yang ingin mempelajari pemakaian teknologi fly-by wire.

Sebelum memasuki serial production, PT DI terlebih dahulu akan membuat dua unit untuk uji terbang serta satu unit purwarupa untuk tes statis pada tahun 2012. Program pembuatan purwarupa memakan waktu selama dua tahun dengan pengalokasian dana yang dibutuhkan sebesar Rp300 miliar.

Baca Juga:  Pemdes Kaduara Timur Salurkan BLT

Siapa sangka sejak mulai 2001 , karena derugulasi iklim berbisnis penerbangan niaga dilonggarkan oleh pemerintah maka sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang dan 20 tahun ke depan, traffic pertumbuhan penumpang yang memakai jasa transport udara meningkat pesat. Tiap tahun naik 15 pct. Tahun 2015 angka penumpang pesawat niaga di Indonesia ditarget tembus angka 100 juta.

Keagresifan maskapai swasta nasional dalam belanja pesawat komersil juga mencatat Indonesia sebagai salah satu pembeli armada pesawat komersial yang besar di dunia, contoh saja Lion air membeli 200 an Boeing 737 /900 series dan puluhan Airbus AB 320 dari konsorisum Eropa belum lagi Garuda Indonesia melakukan hal yang sama, membeli 175 an Boeing NG. Dan juga puluhan airbus di narrow dan wide body belanja 2 maskapai Indonesia tersebut  malah sempat menyedot persediaan usd dollar di dalam negeri setahun yang lalu.

Russia pun mulai menikmati penjualannya lewat jet komersial mereka Sukhoi Super jet 100 yang dipakai masakpai Sky Aviation, sejauh ini cukup reliable, bukan tidak mungkin Sukhoi SJ100 akan semakin diminati di masa mendatang.

Ada pemain dari Asia, Xian aircraft Industry dari China dengan pesawat turboprop MA-60 , namun sepertinya market Indonesia kurang accepted dengan MA 60 ini. Bukan main pasar domestik bisnis penerbangan niaga di Indonesia. Seakan magnetic kuat yang menyedot pabrikan pesawat manca negara sebut saja yang sudah lama bermain: Boeing dan Airbus , masih ada pendatang baru Embraer, Sukhoi, ada juga dari pabrikan Canada dengan Bombardier CRJ 1000 mulai masuk pasar Indonesia via Garuda Indonesia, ada yang lain ATR, Grand Caravan, Twin Otter, dan lainnya.

Langkah pembelian pesawat ternyata tidak hanya terjadi di klas Wide body dan narrow body-full engine , untuk pesawat jenis turbo propeller narrow body dan small aircraft juga marak, seperti penjualan pesawat turboprop dari pabrikan ATR. Penjualan pesawat turboprop dari pabrikan Perancis Spanyol ini semakain marak diminati oleh maskapai Wings air dan Garuda Indonesia. Sedang maskapai yang melayani remote area di wilayah Papua, maskapai Susi Air berjaya dengan armada small aircraft Grand Caravan seater 8,12, bikinan USA.

Baca Juga:  Hotipah Keluarga Miskin Desa Guluk-guluk Tak Pernah Mendapatkan Bantuan dari Pemerintah

Itu semua adalah kesusesan sekaligus senyum getir sebenarnya buat industri dirgantara di Indonesia. Karena sejak tahun 1975 dengan didirikannya pabrik pesawat IPTN (PT. Nurtanio) kala itu, bila industri pesawat kita tetap berlangsung sampai dengan saat ini maka kita akan bisa membuat sendiri beberapa model pesawat seperti Klas ATR sampai dengan klas small aircraft dengan ribuan juta US Dollar akan tetap mengalir ke bumi pertiwi kita sebagai bagian dari pembelian pesawat dari industri dalam negeri.

Sekedar illustrasi saja, kala Lion air membeli pesawat ratusan dari USA Boeing 3 tahun lalu, maka pesanan 179 Lion B 737/900 ternyata telah memberi pekerjaan baru kepada 100.000  warga negara USA dalam pemesanan pesawat-2 baru tersebut. Juga pesanan puluhan Airbus 320 baru Lion Air di Perancis juga memberikan lapangan kerja untuk 5.000 staff baru dengan masa kontrak kerja 10 tahun.

Bukan main, sementara PT DI beberapa tahun lalu malah memecat ribuan karyawannya. Sebuah ironi dimana sebenarnya kita bangsa yang mampu membuat industri pesawat terbang sendiri. Namun angin segar mulai nampak pada industri pesawat terbang kita, pemerintah mulai mau memberikan dana suntikan 400 miliar untuk meneruskan proyek pembuatan pesawat N219. Walau angka uang dana suntikan 400 miliar untuk membangun industri pesawat sebenarnya masih kalah jauh dengan dana bantuan pembuatan kapal selam PT. PAL senilai 2T.

*Arista Atmadjati, SE.MM penulis adalah Praktisi Penerbangan Nasional, Analis Penerbangan RI dan Anggota Asosiasi Profesional Pariwisata Indonesia ASPPI, DPC Jakarta Barat Mengajar Mata kuliah Aviasi di beberapa Universitas, CEO Aiac aviation.

Related Posts

1 of 3,049