Rubrika

Kisah Sehidup Semati Panglima GAM dan Istrinya Ummi Fatimah

 

Kisah Sehidup Semati Panglima GAM
Kisah Sehidup Semati Panglima GAM dan istrinya/Foto: Dok Nusantaranews.co/M2

NUSANTARANEWS.CO – Kisah sehidup semati panglima. Haul mengenang Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun ini teresa agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pada Haul ke-18 Rabu kemarin (22/1), tiba-tiba banyak tamu yang hadir berziarah ke makan Ummi Fatimah yang semasa hidupnya setia menemani sang suami dalam Perjuangan Aceh Nibak Mata Donya.

Rakyat Aceh seakan ikut terenyuh melihat kesetiaan dan keberanian Ummi Fatimah mendampingi sang suami bergerilya dari hutan ke hutan untuk menghindari pelacakan oleh aparat keamanan semasa pecah konflik bersenjata di Aceh ketika penetapan status Darurat Militer (DOM).

Kondisi ini menuntut kesetiaan seorang istri pejuang untuk sabar dan ikhlas mengikuti langkah perjuangan sang suami yang penuh bahaya. Bagaimana tidak bila saat itu sang suami adalah target dan sasaran utama penangkapan aparat keamanan. Kesetiaan dan kesabaran Ummi Fatimah memang patut menjadi suri tauladan bagi seorang istri pendamping tentara GAM – yang sebagian besar kehidupannya lebih banyak di hutan bersama para pejuang lainnya.

Menurut cerita para mantan prajurit kombatan GAM setelah Damai Aceh, beliau biasa dipanggil “Ummi” oleh seluruh prajurit, karena sosoknya menjadi ibu yang selalu mengayomi seluruh tentara GAM pada waktu itu, baik kala suasana suka maupun duka di tengah suasana konflik dan operasi militer.

Ummi Fatimah merupakan perpaduan yang sempurna bersama sang suami Panglima Teungku Lah yang begitu berkharisma dan sederhana sehingga sangat disayangi teman dan disegani lawan. Pasangan ini begitu konsisten dan Istikhamah dalam perjuangannya.

Baca Juga:  Asisten Administrasi Umum Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Dalam Rangka Penyusunan RKPD Tahun 2025

Kisah dua sejoli ini bak kisah Romeo dan Juliet yang berdasarkan cinta dan kesetiaan rela sehidup semati menempuh “kesyahidan” membela keyakinan. Ketika ajal datang menjemput, keduanya dikebumikan di dalam liang yang sama sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.

Menurut cerita, Sang Panglima pada waktu sebetulnya bisa saja meninggalkan istrinya yang sudah tertembak, namun Sang Panglima ternyata lebih memilih menemani istrinya yang berlumuran darah, memeluknya dipangkuan hingga nafas terakhirnya akibat tertembak peluru tajam.

“Sebenarnya Teungku bisa lolos dalam sergapan dan pertempuran dengan aparat keamanan, namun karena kesetiaannya kepada istri yang sedang mengandung enam bulan anaknya, maka Teungku melepaskan jimat ditubuhnya dan menyerahkannya kepada saya, sehingga peluru baru bisa menembus dirinya,” kisah Jalaluddin ajudan pribadi panglima.

Menjelang maut, Jalaluddin mengisahkan bahwa Sang Panglima berwasiat dengan mengatakan: “Nyoe kueh mungken katroh watee yang Lon preh-preh barokon, mate lon beu syahid dalam perjuangan suci nyoe.” (Mungkin inilah waktunya yang saya tunggu-tunggu semasa hidup agar mati syahid dalam perjuangan suci ini).

Mengenang kisah dua sejoli itu, ibu-ibu yang berziarah, selesai membacakan zikir, terlihat mengusap aliran air mata yang berderai di pipinya, dan berkata: “Mantong na kisah cinta sehidup semati bak panglima tanyoe dan istrinya.” (Ternyata masih ada kisah cinta sehidup semati pada panglima kita dan istrinya)

Baca Juga:  Maya Rumantir Terima SHIELD of First Excellence dari Konsorsium Firsts Union dan PPWI

Kemudian terdengar bisik-bisik, “Bek lagei istri Hakim Jamaluddin, rela di poh lakoe dih… malei urueng inoeng Aceh yang laen gara-gara buet jahei jih” (Jangan seperti istri Hakim Jamaluddin rela membunuh suaminya… Gara-gara perbuatannya, malu perempuan Aceh lainnya).

Kisah ini menunjukkan bahwa ada sosok luar biasa yang selalu mendampingi Teungku Abdullah Syafi’i yang melebihi seorang pengawal bersenjata yang setia sampai akhir hayatnya. Dialah Sang Istri Ummi Fatimah.

Kesetiaan Ummi Fatimah begitu menyentuh kalbu dan terukir indah dalam sejarah perjuangan GAM, tidak ada yang menandingi perannya sebagai seorang istri yang mencurahkan seluruh hidupnya dalam perjuangan bersama sang suaminya dalam suka meupun duka hingga akhir hayatnya..

Pasangan ini menjadi inspirasi sekaligus sosok pejuang yang paling dicintai oleh pengikutnya dan rakyat Aceh. Tidak ada kemewahan sebagai istri seorang panglima selama hidupnya, hal tersebut tidak menghalangi dan mengurangi kebahagiaannya,,,, “Bagi mereka berdua bebahagiaan sejati adalah keberhasilan perjuangan yang diyakininya.”

Terkait Haul Panglima GAM, Fakhri Abdul Muthalib, seorang melinial dan pemerhati sosial media mengatakan bahwa pemerintah jangan alergi sejarah perjuangan GAM, khususnya peran Ummi Fatimah semasa hidupnya.

Baca Juga:  Safari Ramadhan, Pj Bupati Pamekasan Buka Bersama 10 Anak Yatim di Kecamatan Pademawu dan Galis

“Ummi Fatimah adalah teladan hidup yang baik dan patut dijadikan contoh,” kata Muthalib. Seorang perempuan yang mampu memberikan keamanan, sekaligus seorang perempuan yang mampu menjadi perawat. Seorang perempuan yang bahagia dengan kesederhanaan dalam rumah berlantai tanah dan berdinding papan kayu.

Seorang perempuan yang telah memberikan cintanya yang tulus tanpa memikirkan nyawanya. Seorang perempuan yang menjadikan Teungku Abdullah Syafi’i menjadi tokoh yang penuh kharisma, di mana gerak dan langkahnya selalu diperbincangkan dan bahkan diikuti serta dirindukan sampai hari ini. “Perlu  di contoh akhlaknya sebagai seorang istri untuk membangun Aceh ke depan Pasca Damai ” kalau tidak ” Ek Maju Aceh ” artinya ” Jangan Bermimpi Aceh Maju !?”

Nama Ummi Fatimah tidak dapat dilepaskan keetika kita mengagumi Teungku Abdullah Syafi’i. Seperti kata bijak: “Dibalik kehebatan seorang suami ada sosok istri dibelakangnya!”

Kedua sosok teladan itu telah pergi untuk selamanya bersama kedua pengikut setianya. Makamnya menjadi saksi sejarah akan kesetiaan dan perjuangannya.

Mari kita berpikir arif dan bijaksana.  Orang bijak sering berkata “Sejarah perjalanan suatu bangsa harus di tulis pahit dan manisnya sehingga menjadi pelajaran sejarah yang berharga. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” (M2).

Related Posts

1 of 3,049