Lintas NusaPeristiwa

Kisah Derita Pengungsi Palu: Kelaparan 18 Jam di Atas Kapal Hanya Karena Tak Punya Tiket

pengungsi, pengungsi palu, santri nunukan, bencana alam, ponpes al khairat palu, ponpes palu, pantoloan, pelabuhan tunon taka nunukan, sulawesi tengah, nusantaranews, nusantara, nusantara news
Ratusan masyarakat Nunukan menyambut para santri Ponpes Raudhatul Mustofa yang terdampak Gempa dan Tsunami Palu. (Foto: Dok. NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Nunukan – Ada sebagian masyarakat Palu yang memilih mengungsi setelah wilayah tersebut dilanda bencana alam. Mereka terpaksa harus menjadi pengungsi lantaran dampak bencana sangat parah dan memilukan.

Gempabumi 7,4 skala richter dan terjangan gelombang tsunami di Donggala, Sigi, Palu dan sekitarnya menyisakan kesakitan, kesedihan, kehilangan hingga penderitaan lain kepada para korban. Mulai dari hilangnya jiwa/keluarga, tempat tinggal maupun duka lain akibat bencana yang membut Kota Palu, Donggala dan Sigi lumpuh total tersebut.

Sebagaimana dialami 20 putra-putri (santri) yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Raudatul Mustofa Al Khairaat Palu. Mulai dari terjadinya bencana, evakuasi diri ke Pantoloan hingga tiba di Pelabuhan Tunon Taka Nunukan.

Mustofa Betta, koordinator evakuasi dari para santri Al Khairaat setibanya di Nunukan menuturkan pengalaman pahitnya selama proses evakuasi berlangsung, termasuk saat membawa para santri dari pondok menjuju pelabuhan Pantoloan-Sulawesi Tengah pada Senin (1/10).

“Saat itu kami sudah menghubungi pihak Korem, tapi diarahkan ke SAR dengan alasan sulitnya akses. Setelah ketemu pihak SAR, jawaban serupa yakni sulitnya akses membuat kami kesulitan menuju Pelabuhan,” terang pria yang akrab dipanggil Cacang tersebut kepada pewarta, Rabu (3/10/2018) dini hari di Nunukan.

Baca Juga:  Siapkan Comander Call, PKS Jatim Beber Kesiapan Amankan Kemenangan PKS dan AMIN

Di tengah keputusasaan, Cacang mengungkapkan ada salah seorang Pihak dari Dinas Perpajakan Kota Palu yang bersedia mengantar mereka namun hanya dengan 1 unit Mobil Helux. Alhasil, keduapuluh santri yang terdiri dari 9 laki-laki dan 11 perempuan tersebut naik mobil bersamaan termasuk tas mereka selama hampir 5 jam ke Pantoloan.

Sesampainya di Pelabuhan Pantoloan, oleh oknum pegawai Pelni, kisah Cacang, para pengungusi diharuskan membayar Rp 250.000 dari harga normal yakni Rp 365.000 untuk tiket kapal.

“Di samping itu saya juga katakan ke Petugas Pelni sesuai informasi yang saya dapatkan bahwa pihak DPRD dan Pemkab Nunukan sudah menelepon kepala Pelni Palu, tapi alasan kami tak digubris,” kisahnya.

Pada saat tersebut, ada oknum Anak Buah Kapal yang menyarankan agar para santri naik saja ke kapal secara kucing-kucingan. Setelah sampai di atas kapal disarankan menemui Kepala ABK yang bernama Firman. Karena mempertimbangkan keselamatan para santri khususnya santriwati apalagi dari Pondok hingga pelabuhan dalam kondisi lapar, akhirnya mereka naik kapal KM Lambelu.

Baca Juga:  Pemdes Jaddung Salurkan Bansos Beras 10 kg untuk 983 KPM Guna Meringankan Beban Ekonomi

“Ahirnya kami naik kapal KM Lambelu dan sesuai saran, setelah di atas kapal saya menemui Pak Firman. Oleh Pak Firman, kami diperbolehkan naik kapal tapi semua KTP dijadikan jaminan,” papar Cacang.

Namun bukan berarti setelah di atas kapal lantas penderitaan selesai. Dari Cacang diperoleh keterangan bahwa selama dalam perjalanan para pengungsi tersebut tidak mendapatkan makanan dengan alasan tak mempunyai tiket. Padahal, kapal tersebut juga membawa para pengungsi dengan tujuan Makassar. Para pengungsi asal Nunukan ini baru dapat mengisi perutnya setelah mereka tiba di Tarakan dengan berkotak-kotak makanan yang disediakan oleh Masyarakat Kota Tarakan.

“Dari pondok hinga Pelabuhan kami sudah dalam keadaan lapar, selama hampir 18 jam lagi di atas kapal kami seperti pengemis kepada petugas dapur Kapal untuk meminta nasi sedangkan para pengungsi menuju Makassar mendapatkan makanan sebagaimana para penumpang reguler lainya. Yang membuat kami sedih, kenapa kami dengan para pengungsi yang menunuju Makassar seperti dibeda-bedakan,” kenang pria berambut gondrong itu dengan mata berkaca-kaca.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Sesampainya di Pelabuhan Nunukan, ratusan orang tampak menyambut kedatangan para santri tersebut. Selain keluarga dan para sahabat, pihak Pemda Nunukan, juga nampak Ketua DPRD Nunukan H Danni Iskandar dan anggota DPRD Nunukan H Andi Mutamir.

Namun selain kegembiraan atas kepulangan para santri tersebut, tak sedikit pihak yang menyayangkan bahkan mengecam perlakuan pihak Pelni yang sepertinya membiarkan para pengungsi tersebut dalam kelaparan. (eds/edy/edd)

Editor: Novi Hildani

Related Posts

1 of 3,154