NUSANTARANEWS.CO – Pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian dikenal sebagai Lahirnya Pancasila. Pidato tersebut disampaikan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pimpinan sidang mengenai apa yang akan dipergunakan sebagai dasar negara. Selain Soekarno sejumlah tokoh lain seperti Mohammad Yamin, Soepomo dan lain-lain juga menyampaikan pidatonya mengenai hal-hal yang akan dijadikan sebagai dasar negara dan pembukaan undang-undang dasar negara.
Perdebatan dalam sidang BPUPKI mengarah pada terjadinya dua pengelompokan besar, yakni antara kelompok yang menghendaki Negara Kebangsaan dan kelompok yang menghendaki Negara Islam. Untuk menjembatani agar tidak terjadi perpecahan maka dibentuklah panitia kecil yang bertugas merumuskan naskah calon dasar negara dan pembukaan undang-undang dasar negara. Panitia 9 ini diketuai oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Dari sinilah kemudian lahir sebuah naskah yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Meningkatnya suhu politik dan kekalahan Jepang oleh Sekutu dibeberapa kawasan, mendorong proses percepatan kemerdekaan Indonesia. Pada 7 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang beranggotakan 21 orang, dengan Ir. Soekarno sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua – dan keduanya merangkap anggota. Jumlah anggota ini kemudian ditambah dengan 6 orang lagi untuk lebih mencerminkan keterwakilan seluruh elemen kultural dan etnik yang ada.
PPKI melaksanakan rapat-rapat atau persidangannya, yang dimulai sejak tanggal didirikannya. Selama kurang lebih 10 hari di sela-sela rapat terjadilah pembicaraan untuk mencari persepakatan tentang dasar negara dan pembukaan undang-undang dasar yang mampu mempersatukan semua golongan, etnis maupun agama.
Dalam rapat besar PPKI pada 18 Agustus 1945, akhirnya disetujui secara bulat bunyi Pembukaan UUD 1945 seperti yang sekarang. Perubahan penting yang disepakati adalah penghapusan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang ada dalam Piagam Jakarta. Rumusan yang sangat arif, meskipun mayoritas anggota PPKI adalah muslim. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kategori baru yang mengatasi batasan-batasan berdasarkan agama tertentu.
Dengan demikian founding fathers kita bersedia secara bulat untuk menerima Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa dasar negara harus dirumuskan sedemikian rupa hingga tiap-tiap suku, golongan, agama dan kebudayaan dapat menerimanya. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, berarti tiap-tiap suku, golongan, agama, dan kebudayaan bersedia untuk tidak memutlakkan cita-cita golongannya sendiri, tetapi sekaligus juga tidak perlu mengobarkan identitasnya masing-masing. Founding Fathers kita telah meletakkan landasan yang kokoh bagi dibangunnya negara modern yang terdiri dari sekian banyak suku, golongan, agama, dan kebudayaan. Sebagai bangsa kita mempunyai kewajiban untuk memantapkan kembali konsensus dasar ini untuk memelihara persatuan bangsa dan menghindari ketegangan yang tidak perlu dalam perjuangan untuk mengisi kemerdekaan.
Kecuali segolongan kecil orang, tidak ada orang Indonesia yang menyanggah ketepatan Pancasila sebagai Dasar Negara, sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan sebagai Jati Diri Diri Bangsa yang oleh Bung Karno digali dari akar-akar kehidupan bangsa Indonesia.
Bahkan orang-orang yang menganut ideologi berbeda mengakui bahwa tanpa Pancasila hampir tak mungkin dibayangkan eksistensi bangsa Indonesia yang hidup tersebar di wilayah kepulauan seluas benua Eropa, masing-masing dengan adat-istiadat dan bahasa berbeda, kepercayaan beda. Selain itu Pancasila memberikan pedoman berupa nilai-nilai yang menjamin terwujudnya kehidupan bahagia serta sejahtera bagi seluruh rakyat yang jumlahnya keempat terbesar di dunia untuk kehidupan setiap zaman.
Masalahnya adalah bahwa Pancasila yang begitu luhur hanya baru sebagai kata-kata dan semboyan belaka, belum menjadi Realitas yang secara nyata dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Meskipun sekarang Republik Indonesia sudah 70 tahun merdeka, Pancasila masih belum ada sebagai Realitas Kehidupan.
Bung Karno sebagai Presiden RI pertama dan Penggali Pancasila yang brilian, tidak melakukan hal-hal yang diperlukan untuk memberikan Pancasila posisi yang kuat dan mantap sejak 1950-an setelah penjajah Belanda keluar dari Indonesia. Sepertinya dianggap bahwa dengan sendirinya rakyat Indonesia memahami dan dapat melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Seakan-akan tidak disadari bahwa kehidupan rakyat Indonesia yang pernah mengalami alam penjajahan menciptakan kondisi mentalitas yang amat beda dari Pancasila. Sebab itu dalam Perjuangan Kemerdekaan melawan penjajah cukup banyak rakyat Indonesia, khususnya dari kalangan terpelajar, yang tidak turut berjuang dan malahan memihak penjajah. Apalagi untuk menerima dan memahami Pancasila yang baru timbul sejak 1 Juni 1945 dan sama sekali tidak pernah dibicarakan dalam masa penjajahan. Bung Karno sering bicara tentang pentingnya Nation & Character Building. Akan tetapi hal itu hanya diomongkan saja, tak pernah dilakukan secara sungguh-sungguh.
Kelalaian Presiden pertama hendak diperbaiki Pak Soeharto sebagai Presiden RI kedua. Orde Baru yang dicanangkan beliau adalah tatanan yang melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Diadakan usaha menyebarkan Pancasila ke seluruh bangsa melalui pembentukan badan yang menyelenggarakan Penataran dan Penghayatan Pancasila. Secara sosialisasi usaha itu bermanfaat, tetapi pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Soeharto dijalankan tanpa banyak menghiraukan Pancasila yang seharusnya dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Bahkan tidak sedikit tindakan pihak yang berkuasa malahan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Maka di banyak kalangan timbul pendapat bahwa pelaksanaan Penataran Pancasila yang luas itu lebih tertuju untuk mendukung pemerintahan Soeharto dan bukan untuk menyebarkan pemahaman Pancasila secara benar dan merata. Hal ini menambah kesempatan bagi mereka yang tidak setuju dengan Pancasila untuk makin mendiskreditkannya. Kemudian dalam era Reformasi Pancasila makin dipojokkan.
Ketika terjadi Reformasi setelah Presiden Soeharto lengser keprabon, orang mengira bahwa akan ada usaha yang kongkrit dan intensif untuk melaksanakan Pancasila. Akan tetapi yang terjadi adalah malahan sebaliknya. Reformasi berhasil dibajak oleh kekuatan-kekuatan luar yang bermaksud menguasai Indonesia. Dengan begitu bahkan UUD 1945 “divermaak”, dirusak dengan dilakukan amandemen 4-kali sehingga terjadi perubahan Batang Tubuh UUD yang menjadikannya banyak bertentangan dengan Pembukaan di mana tercantum Dasar Negara Pancasila. Dan ini notabene dilakukan oleh MPR yang dipimpin tokoh utama Reformasi. Serta pada waktu itu tokoh utama Reformasi lain dan puteri Bung Karno menjadi Presiden RI tanpa ada usaha mencegah perbuatan penyelewengan MPR itu.
Maka amat ironis dan sukar dapat dipercaya kalau kemudian tokoh-tokoh itu serta orang-orang di keliling mereka pada tahun 2015 bicara tentang perlunya usaha untuk menjadikan Pancasila kenyataan di Indonesia.
Alhasil pada tahun 2015 ini bukan saja Pancasila hanya tetap kata-kata dan semboyan belaka, melainkan banyak kalangan dan terutama kalangan muda menyepelekan Pancasila. Kemiskinan yang masih tetap meliputi jumlah rakyat banyak menjadi bahan kaum muda untuk mempertanyakan seberapa benar Pancasila. Mengapa China di bawah sistem komunis menjadi makin maju dan sejahtera, sedangkan Indonesia dengan Pancasila bukan hanya jalan di tempat, melainkan makin mundur, makin lebar kesenjangan antara golongan kaya yang amat kecil dengan golongan miskin yang mayoritas bangsa, serta berbagai kelemahan bangsa yang terjadi. Seperti berkembangnya masyarakat yang makin menonjolkan kekerasan. Pancasila yang intinya kehidupan gotong-royong seperti tak ada artinya dengan makin maraknya kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Masih banyak lagi segi-segi kehidupan bangsa yang makin bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Oleh sebab itu sudah amat perlu dan penting untuk mengakhiri keadaan bangsa yang mengabaikan dan menyelewengkan Pancasila. Sebab berlanjutnya kondisi demikian menjadikan cita-cita founding fathers kita tidak kunjung tercapai. Untuk mencapai terwujudnya masyarakat yang maju, adil dan sejahtera, ada satu syarat mutlak, yaitu Pancasila harus menjadi dasar negara dalam kehidupan bernegara Indonesia. Pancasila harus dipahami sebagai dasar negara yang mengatur perilaku negara, bukan perilaku orang per orang warga negara. Pancasila harus dioperasikan melalui kebijakan negara sesuai dengan amanah Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian Pancasila sebagai Realitas dalam kehidupan bangsa ada maknanya bagi seluruh rakyat Indonesia.(Agus Setiawan)
Sumber:
- Sudaryanto, Pancasila Mencari Konstruksi Pemahaman, penerbit Pergerakan Kebangsaan, Juni 2011
- Sayidiman Suryohadiprojo, Pancasila dan Kepemimpinan, http://sayidiman.suryohadiprojo.com.