NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Perayaan Hari Puisi Indonesia sudah memasuki tahun keenam sejak diselenggarakan pertama kali pada tanggal 25-29 Juli 2013 di Taman Ismail Marzuki. Secara konsisten, puncak perayaan HPI digelar di TIM oleh Yayasan Hari Puisi (YHP) yang tahun ini mengusung tema “Puisi sebagai Renjana dan Sikap Budaya”.
Ketua Yayasan Hari Puisi, Maman S Mahayana mengungkapkan salah satu spirit yang diusung YHP yang bergerak di bidang puisi ialah mencoba mengembalikan bahwa sesungguhnya bangsa ini adalah bangsa yang saling menghargai, bangsa yang berbahasa santun, baik dengan berbagai metaforanya dan peran puisi dalam kehidupan. Sehingga tidak perlulah ada kata-kata kebun binatang untuk ngomelin orang, apalagi ada isi toilet dikeluarin.
Baca Juga:
- Hari Puisi Indonesia 2018 Telah Tiba, Ini 10 Agenda Acaranya
- Hari Puisi Indonesia Sebagai Perekat Kebhinekaan
- Semangat HPI: Mengembalikan Tabiat Bangsa Indonesia yang Santun dan Puitis
“Aneh itu lho, karena bangsa kita tidak mengenal itu. Ada metafora. Kalau mau mengatakan orang tidak tahu adat atau ada orang yang culas cukup dengan pagar makan tanaman, orang yang sombong tapi tidak ada isinya, air beriak tanda tak dalam, dan seterusnya,” kata Maman pada press konference menjelang Puncak Perayaan HPI 2018 di Ruang Pusat Dokumen Satra (PDS), Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusa, Rabu (14/11/2018).
Semangat hari puisi, tegas Maman, mencoba mengembalikan itu semua. Dan itu konteks sekarang menjadi penting karena bertebaran dimana-mana hoaks-hoaks, ujaran kebencian, orang kemudian marah dengan kata-kata yang kasar. “Apa tidak ada kata yang lebih halus sehingga orang lain tidak merasa tersinggung,” ujarnya.
Selama lima tahun, enam tahun ke sini, tutur Maman, alhamdulillah, usaha untuk mencoba mengangkat kembali puisi di dalam kehidupan keindonesia ini sudah mulai kelihatan. Yang tampak jelas itu adalah Gerakan Penulis Puisi dari berbagai daerah. Muncullah kemudian para penyair. Ada juga kesadaran untuk mencoba menyusun sejarah puisi di daerahnya. Seperti yang dilakukan oleh Kendari. Baru kemarin membuat buku Sejarah Puisi Sulawesi Tenggara.
“Dari situ kelihatan betul bahwa puisi memang tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat. Dan kemudian kelihatan juga di situ bagaimana tali temali antara puisi, drama, dan seterusnya dengan keseluruhan bermasyarakat di sana,” tutur Maman.
“Berita terakhir, yang saya kira ini “spektakuler”, mudah-mudahan terjadi. Yaitu tawaran dari Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), Yayasan Hari Puisi akan dilibatkan untuk menyelenggarakan peluncuran seri perangko penyair. Jadi nanti Kominfo akan menerbitkan perangko seri penyair, dan kami dilibatkan untuk mencoba membuat dasar pemikirannya dan lain sebagainya. Ini baru rancangan awal, tapi saya kira dahsyat sekali itu gagasan,” imbuhnya.
Dari itu, jelas Maman, kelihatan penyair memang punya jasa. “Kalau tidak ada bahasa melayu, habis kita. Dan yang menjadikan bahasa Melayu itu tegak, kuat dan berwibawa, Raja Ali Haji, Penyair dia,” katanya.
Maman Mencontohnya, ketika misalnya dikatakan bahwa salah satu ciri sastra modern harus mencantumkan nama, tidak anonim, maka yang anonim yang lama-lama itu, dianggap sastra tradisional. Tidak juga! Hamzah Fansuri, penyair pertama yang menyebutkan dirinya: Hamzah Fansuri seorang fakir. Itu ditulis dalam karyanya seperti syair perahu. Modern. “Itu dipuji habis oleh para peneliti Belanda. Puisinya itu memang dahsyat,” katanya lagi.
Simak:
- Perayaan HPI 2018 Digelar dalam Dua Kemasan Acara
- Puncak Perayaan HPI 2018: Puisi sebagai Renjana dan Sikap Budaya
Kelihatan juga, masih tutur Maman, dulu memang kita punya jaringan yang luas dengan parsi (Persia), Timur Tengah, dengan Sultan-Sultan di Nusantara. Itu dimungkinkan oleh para penyair.
“Nah, sekarang pertanyaannya mengapa peran puisi, peran penyair, peran sastrawan itu tergusur? Inilah yang coba kita kembalikan lagi. Ada sesuatu yang tidak beres di dalam kehidupan bangsa ini,” ujarnya.
“Salah satunya adalah mencoba agar bangsa ini tidak tuna sejarah. Itulah semangat yang melandasi kami merasa perlu mendirikan yayasan yang bergerak di bidang puisi,” tandasnya.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana