HukumPolitik

Ketua Umum IMM: Nasionalisme Indonesia Hingga Kini Belum Subtantif

NUSANTARANEWS.CO – Jiwa Nasionalisme atau cinta tanah air Indonesia sekarang marak menjadi pembicaraan publik. Hal ini muncul ketika Archandra Tahar yang waktu menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terkuat identetas kewarganegaraannya yang ganda. Sampai akhirnya Archandra dicopot dari jabatan menteri ESDM kanera jelas telah melakukan pelanggaran.

Dalam pada itu, isu dwikewarganegaraan tidak hanya berhenti pada soal kebobolan BIN atau keteledoran Presiden Joko Widodo (Widodo) dalam menyeleksi siapa-siapa yang akan diangkat menjadi Menteri. Akan tetapi, lebih dari sekaradar wanana tersebut. Di luar itu, tidak sedikit yang mengeluarkan opini bahwa Isu dwikewarganegaraan yang menyerimpung nasib Archandra adalah strategi politik yang dilakukan oleh Jokowi untuk meloloskan RUU Dwikewarganegaraan yang telah disusun sejak bulan Oktober tahun 2014 silam.

Persoalan dwikewarganegaraan yang arahnya lebih cenderung pengakuan Indonesia terhadap 10 juta pekerja dari Cina yang akan masuk ke Indonesia, dinilai akan merusak kedaulatan bangsa Indonesia, terlebih nasionalisme bangsa Indonesia.

Baca Juga:  Prabowo Temui Surya Paloh, Rohani: Contoh Teladan Pemimpin Pilihan Rakyat

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Taufan Putra Revolusi menyatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia memang masih dalam bentuk ucapan atau belum sampai pada subtansi dari konsep nasionalisme. Hal ini, dia sampaikan dalam diskusi publik yang mengusung tema “Nasionalisme dan Masalah Dwikewarganegaraan di Indonesia”, di pempekita, Jalan Tebet Timur Raya Dalam No. 43, Kamis (25/8).

“Berbicara Nasionalisme dan masalah dwikewarganegaraan Indonesia, ada du afenomena yang menggugah pikiran saya,” ujar Taufan memulai pandangannya di dalam forum.

Pertama, katanya, euforia bangsa Indonesia ketika Ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, berhasil menyumbang medali emas setelah mengalahkan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying. Pasangan Ganda campuran Indonesia menang atas pasangan atlet Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying, dua set langsung dengan skor 21-14, 21-12 di Riocentro Pavilion 4, Rio de Janeiro. Namun sayangnya, ketika kekayaan emas Indonesia dikeruk oleh asing dan dibawa ke negaranya, bangsa Indonesia hanya bisa diam.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

“Kedua, tidak sedikit anak-anak Indonesia yang sudah mulai hala mars salah satu partai di Indonesia. Mestinya, anak-anak Indonesia sedini semestinya lebih bangga menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Indonesia. Ironis memang, propaganda partai di media itu. Sehingga membuat anak-anak yang baru bisa melihat dan mendengar, dengan tidak langsung menghafal mars tersebut,” ungkapnya.

Dengan demikian, lanjut Taufan, dapat dinyatakan bahwa nasionalisme kita masih simbolis dan semu. Sebab nasionlisme Indonesia rupanya masih belum selesai secara ontologis. “Secara konkret, nasionalisme Indonesia identik dengan kolonialisme, penindasan, dan ketidakadilan,” cetus dia.

Lebih lanjut, Taufan manyatakan bahwa, pada prinsipnya nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme kemanusiaan. Jika melihat nasionlisme di negara-negara eropa, kita akan tahu bahwa  nasionalisme di Eropa adalah nasionalisme yang dalam prakteknya melingkupi status sosial. “Atas dasar itulah, penting kiranya menegaskan kembali nasionalisme atau rasa cinta tanah air bangsa Indonesia sebelum berbicara jauh tentang isu dwikewarganegaraan,” kata Taufan.

Terkait dengan wacana dwikewarganegaraan yang disandang mantan menteri ESDM Archandra Tahar, bagi Taufan adalah satu tragedi yang aneh sekaligus unik sebagai isu nasional.

Baca Juga:  Dana BUMN 4,6 Miliar Seharusnya bisa Sertifikasi 4.200 Wartawan

“Ada dua hal yang membuat saya berpikir demikian. Pertama, di internal pemangku negara ini, kendati presidennya satu, rupanya pengambil kebijakannya banyak. Jadi, terkait kasus dwikewarganegaraan Archandra Tahar sudah by design. Dengan satu tujuan yakni meloloskan UU dwikewarganegaraan di Indonesia.Kedua, ternyata nasionalisme Indonesia hingga kini masih tidak subtantif. Begitu pula dengan sistem demokrasinya,” katanya sekaligus mengakhiri. (Sulaiman)

Related Posts

1 of 2