ArtikelTerbaru

Ketimpangan dan Agama Madani; Belajar dari Rousseau (Bag. 2)

Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat,M.Sc

Kata pengantar Jalaluddin Rakhmat dalam buku “Perihal Kontrak Sosial: Prinsip Hukum-Politik” karya Jean Jacques Rousseau, Penerbit Dian Rakyat, Cetakan ke-2 Tahun 2010.

 

Posisi Agama dalam Negara

Dalam panggung politik Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang, para politisi sibuk memikirkan tempat agama dalam negara. Dalam perdebatan calon presiden dan calon wakil presiden 2009, seorang cendekiawan bertanya kepada setiap calon presiden dan calon wakil presiden tentang tempat agama dalam Negara. Sekiranya mereka membaca Du Contrat Social bagian akhir, pastilah kita tidak mendengar jawaban-jawaban yang selain tidak “nyambung” juga tidak mempunyai makna apa-apa.

Rousseau membicarakan posisi agama dalam negara dalam Du Contrat Social, Livre IV, chapitre 8. Ia memberinya judul De la Religion Civile. Dalam buku ini diterjemahkan sebagai “agama sipil”, Saya lebih senang menerjemahkannya sebagai “agama madani”. Sudak makruf bahwa civil society diterjemahkan sebagai masyarakat madani. Tidak ada hubungannya dengan  Kota Madinah, kota suci Islam; tetapi ada hubungannya dengan kata tamaddun yang berarti peradaban.

Pada zaman dahulu, begitu Rousseau bercerita, setiap bangsa mempunyai dewanya sendiri. Sebanyak bangsa, sebanyak itu juga dewa. Dewa satu kabilah hanya mempunyai kekuasaan atas kabilahnya. Dunia seakan-akan dibagi dalam kekuasaan banyak dewa. “Dewa zaman berhala sama sekali  bukan dewa yang suka iri hati, mereka saling berbagi wilayah kekaisaran dunia.”

Ada beberapa keuntungan dengan adanya dewa-dewa local (atau nasional). Pertama, tidak terjadi peperangan agama. Karena setiap bangsa tidak berkepentingan untuk menyembah dewa lain atau menaklukkan dewa yang lain. Kedua, pembelaan terhadap negara adalah pembelaan terhadap Tuhan mereka. Rakyat akan melakukannya dengan suka cita. Mati membela Negara adalah mati syahid. Membela negara bukan wajib militer, tapi wajib Ilahi. Ketiga, di sini tidak ada pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan duniawi.

Baca Juga:  Jokowi Tunjuk Adhi Karyono Pj Gubernur Jatim, Gus Fawait: Birokrat Cerdas Dan Berpengalaman

Dimulai dari munculnya agama Yahudi, kemudian Kristen, umat beragama sekarang memuja Tuhan yang kerajaannya bukan di bumi ini. Terjadilah pemisahan pertama antara kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan duniawi. Orang Romawi mencurigai ketidakpedulian umat Kristiani pada politik. Pada zaman itu, mereka dikejar-kejar. Darah yang tumpah ternyata memperkuat Kristianitas. Dengan berkuasanya kerajaan Tuhan terjadilah pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan temporal. Kepercayaan agama berada di luar kekuasaan politis.

Rousseau memuji sistem politik Nabi Muhammad. “Nabi Muhammad memiliki pandangan yang sangat sehat. Ia membangun sistem politiknya dengan baik dan, selama bentuk pemerintahnya dapat dipertahankan di bawah para kalifah yang menggantikannya, pemerintahnya tetap satu, dan baik karenanya. Akan tetapi, orang Arab yang menjadi makmur, beradab, berbudaya, lembek dan pengecut, dikuasai oleh orang biadab, maka pemisahan antara kedua kekuasaan terjadi lagi”.

Jadi Rousseau tidak setuju dengan pemisahan kekuasaan agama dengan kekuasaan politik. Berdasarkan hubungan di antara keduanya, Rousseau menyebutkan tiga macam agama. La religion de l’homme, agama manusia; la religion du citoyen, agama warga Negara; dan ada agama jenis yang ketiga, tidak diberi nama, une troisieme sorte de Religion.

Agama yang pertama bersifat individual, keyakinan yang bersifat pribadi, “semata-mata terbatas pada pemujaan Tuhan yang Mahamulia dalam hati masing-masing dan pada kewajiban moral yang abadi”. Agama yang kedua, agama sosial, dianut oleh seluruh rakyat. Agama itu menyembah Tuhan dari bangsanya. Agama yang ketiga, dianggap paling aneh oleh Rousseau, adalah agama yang menempatkan penganutnya pada dua undang-undang, dua tanah air dan dua kewajiban.

Dalam hubungannya dengan negara, semua agama itu bercacat. Yang pertama, karena bersifat pribadi, bertentangan dengan  kewajiban sosial. Agama ini menjauhkan rakyat penganutnya dari kehidupan politik. Penganutnya tidak mempunyai ikatan yang kuat dengan negara. Dengan keras Rousseau berkata, “masyarakat yang terdiri dari penganut Kristen yang taat rasanya tidak dapat lagi dianggap sebagai masyarakat manusia…. Kalau Negara makmur, ia hampir tidak menikmati kesejahteraan umum itu, ia takut merasa bangga atas kehebatan negerinya. Kalau negara mundur, ia mensyukuri hukuman Tuhan bagi rakyatnya”. Agama ini tidak akan memberikan kontribusi bagi kejayaan Negara.

Baca Juga:  Anton Charliyan Lantik Gernas BP2MP Anti Radikalisme dan Intoleran Provinsi Jawa Timur

Agama yang kedua, “mempersatukan pemujaan Tuhan dengan kecintaan kepada undang-undang. Dengan menjadikan tanah air sebagai sasaran pemujaan warga, agama itu mengajarkan bahwa membela tanah air sama artinya dengan membela Tuhan yang menjadi pelindungnya. Itu adalah sejenis teokrasi. Yang menjadi pemimpin tertinggi agama tak lain dari pemimpin politisnya”. Agama ini jelek karena eksklusif dan tiranis. Agama ini membawa satu bangsa untuk memerangi bangsa lain.

Agama yang ketiga adalah yang paling jelek. Rakyat harus setia kepada agama dan kepada Negara sekaligus. Dalam situasi seperti itu, mereka umumnya mendahulukan kesetiaan kepada agama ketimbang kepada negera. Sekedar misal, dahulu ketika saya menjadi aktifis Islam yang ingin menegakkan syariat Islam, saya dibaiat untuk setia kepada Tuhan dengan menentang semua hukum negara. Mematuhi hukum Negara berarti mematuhi thaghut, atau tiran. Saya harus memilih di antara dua, syariat Islam atau hukum jahiliyah. Sudah pasti saya akan memilih yang pertama. Saya menjadi warga negara kerajaan Tuhan yang memberontak pada kerajaan bumi.

Karena ketiga agama itu jelek, Rousseau mengusulkan jenis agama yang keempat, la religion civile, agama sipil,, agama madani. Walaupun tidak jelas bentuknya, Rousseau merindukan sebuah agama yang akan memberikan inspirasi kepada rakyat untuk membela negaranya seperti membela agamanya, bagian positif dari agama warga negara. Agama itu mempersatukan rakyat dalam perasaan kebersamaan sosial. Ia tidak mempersoalkan keyakinan masing-masing tentang jalan ke surge; tetapi ia mengajarkan bagaimana hidup bersama dengan sesama warga Negara, apapun agamanya.

Baca Juga:  Salam Dua Jari, Pengasuh Ponpes Sidogiri Bersama Khofifah Dukung Prabowo-Gibran

Agama sipil terdiri dari dua dogma: positif dan negatif. Dogma positif berkaitan dengan apa yang ingin saya sebut sebagai nilai-nilai universal, seperti kepercayaan kepada Tuhan, ganjaran kepada orang saleh dan hukuman kepada orang salah. Dogma negatif ialah menolak sikap tidak toleran. Agama sipil menghormati setiap agama untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.

Rousseau menjawab kegamangan kita tentang peranan agama dalam kehidupan Negara. Mengapa kita, apa pun latar belakang agama kita, tidak bergabung dalam sebuah keberagamaan yang toleran. Agama sipil. Dari Rousseau saya belajar mengembangkan keberagamaan saya dari Islam Fiqhi, yang bersifat legalistis, ke Islam Siyasi, yang bersifat politis eksklusif, ke –mengikuti Rousseau- Islam Madani yang pluralistis.

Karena setiap orang membawa pengalaman hidupnya ketika membaca teks, saya tahu bahwa pembacaan saya hanyalah satu dari sekian banyak “penafsiran” terhadap Rousseau. Saya membacanya dari latar belakang Indonesia setelah jatuhnya Tatanan Baru, “ancien regime” kita. Saya membaca buku itu sekarang. Sebagaimana disepakati oleh para pelajar hermeneutik, tugas hermeneutika adalah menjembatani teks ketika dibacakan para dewa kepada Hermes dengan  teks yang dibacakan Hermes kepada orang Yunani pada zaman yang berlainan. Boleh jadi saya salah. Tapi, bukankah Rousseau sendiri, dalam suratnya kepada pendeta Jenewa, Usteri memberikan kepada kita keberanian untuk berbuat salah:

“Sahabatku tercinta, aku tidak bermaksud meyakinkanmu. Aku tahu tidak ada dua kepala yang diatur sama, dan setelah banyak perdebatan, banyak keberatan, banyak penjelasan, semuanya berakhir dengan mengikuti sentiment yang sama seperti sebelumnya… Aku mungkin selalu salah, aku tidak syak lagi sering salah. Aku sudah menyatakan alasanku. Terserah kepada masyarakat, terserah kepada kalian untuk menimbangnya, menilai dan memilih” (Lettre a Usteri, 763, Collected Works  XVII:62-65). Tamat.

 

 

Related Posts