Ketika Pemilu Bunyi–bunyian Dianggap Sebagai Praktek Politik Terbuka

Politik
(Foto: Ilustrasi/Net/Ist)

NUSANTARANEWS.CO – Teka-teki dan bunyi-bunyian yang dimunculkan elit partai politik nasional dalam penentuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dianggap praktek politik terbuka dan berkemajuan. Padahal, bila dicermati, prakteknya tak lebih hanya semata konferensi pers, perang gambar dan aksi nakal pada buzzer.

Memang, UU No 7 tahun 2017 telah memberikan keistimewan kepada parpol untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Namun, bila keistimewaan diwujudkan hanya sekadar bunyi-bunyian belaka atas nama buah reformasi, tentu malah justru merugikan proses bernegara kita. Apalagi proses pencapresan dan pencawapresan hanya soal elektabilitas dan kekuatan finansial.

Coba perhatikan, gerakan masyarakat yang pro presiden dua periode dan gerakan ganti presiden telah membajiri di jagad dunia maya, bahkan di dunia nyata. Akibatnya, gesekan antar kedua masyarakat tidak bisa dihindarkan seperti kejadian di Jakarta, Batam, Medan dan beberapa daerah lainya. Rupanya itu pun dianggap hal wajar sebaga dinamika masyarakat.

Tidak hanya itu, para agen parpol tampak sangat beringas dan penuh kebanggan di sejumlah acara debat dan dialog di stasiun tevelisi nasional. Padahal, yang mereka lakukan itu menggelikan. Sebab, isinya hanya intrik dan saling serang tanpa didasari muatan kepentingan nasional.

Rentetan dinamika menggelikan tersebut semakin parah bilamana dalang atau aktor utamanya adalah sekelompok elit yang berharap menjadi cawapres ataupun masuk di struktur pemerintah periode mendatang. Semoga saja, bukan!

Di sisi lain, kebijakan politik yang dilahirkan terus semakin aneh-aneh dan cenderung tidak produktif untuk kepentingan nasional. Kasus ambang batas pencalonan presiden yang berpatokan suara pemilu sebelumnya adalah kebijakan paling menohok. Akibatnya, sebagian masyarakat protes dan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap kebijakan itu pun tak terhindarkan. Demikian pula uji MK tentang masa jabatan wakil presiden.

Kemudian, lemahnya penindakan oleh penyelenggara pemilu terhadap partai maupun kelompok-kelompok yang melakukan kampanye di luar jadwal juga merupakan dampak dari kebijakan yang cenderung tak produktif itu.

Tanpa lagi harus berpolemik, pemerintah dan elit politik seharusnya dituntut mengahadirkan praktek politik yang bermatabat. Semangat parpol harusnya menunjukan bahwa mereka adalah partai politik sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat. Sehingga, di luar agenda memunculkan calon presiden dan calon wakil presiden, masyarakat juga bisa mendapatkan wakil rakyat yang baik dan bertanggung jawab.

Penulis: Syarifuddin Anwar, Koordinator bidang politik Syndicate 90, domisi di Yogyakarta

Exit mobile version