Berita UtamaKolomPolitik

Ketika Negara Dikuasai para Pengusaha

NUSANTARANEWS.CO – Ada kecenderungan menarik di era kepemimpinan Joko Widodo di tampuk kekuasaan. Kecenderungan tersebut adalah terkait kenyataan di jajaran kepemimpinan eksekutif dan legislatif kini diisi oleh sejumlah sosok pengusaha dan kaya raya secara finansial.

Presiden dan Wakil Presiden keduanya sosok pengusaha. Bermula dari situ, sosok-sosok pengusaha mulai ditempatkan ke dalam sejumlah jajaran kepemimpinan, dari Wantimpres, Kementerian, DPR, MPR dan DPD.

Kecenderungan rezim Jokowi dipimpin oleh kalangan pengusaha tampak jelas. Rezim kekuasaan cenderung dikuasai dan dikendalikan oleh jaringan orang-orang kaya (konglomerasi).

Dalam catatan, para pengusaha di jajaran Wantimpres ada Suharso Manoarfa, Rusdi Kirana dan Jan Darmadi. Itu di jajaran Wantimpres. Baik Suharso (PPP), Rusdi (PKB) maupun Jan (NasDem) kini sudah menjadi tokoh partai politik.

Di jajaran kabinet Jokowi, muncul sejumlah nama pengusaha. Di antaranya,  Ignasius Jonan, Susi Pudjiastuti, Arief Yahya, Amran Sulaiman, Eko Putro Sanjoyo, Budi Karya Sumadi, Enggartiasto Lukita, Airlangga Hartarto, Asman Abnur. Mana lagi?

Selain itu, para pengusaha yang akhirnya juga bergabung dengan partai politik tercatat menjadi pimpinan di ranah legislatif. Sebut saja, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto dan Ketua DPD Oesman Sapta Odang. Mana lagi?

Baca Juga:  Negara Dengan Waktu Puasa Tercepat dan Terlama Pada Ramadhan 1445 H

Mungkin kali pertama dalam sejarah, Indonesia dipimpin oleh kelompok pengusaha (plutokrat). Kendati secara de jure Indonesia disebut negara demokrasi, tetapi secara de fakto kelompok plutokrat menguasai tampuk kepemimpinan negara. Pertanyaanya, apakah tidak boleh negara dipimpin oleh pengusaha?

Jawabannya, tidak ada pakem yang melarangnya. Toh, Presiden Amerika Serikat juga nyatanya adalah seorang pengusaha tulen dan realis pasar. Hanya saja, dalam konteks kepemimpinan Indonesia, ini bisa disebut sebagai fenomena baru. Yang menarik, kaum plutokrat kini memang tengah naik daun dalam konstelasi kepemimpinan nasional. Tren ini secara tak sengaja telah mencerminkan sistem negara yang plutokrasi. Mengutip M Arief Pranoto, mungkin kecenderungan buruk plutokrasi ialah penggunaan politik kekuasaan hanya untuk mengakumulasi kekayaan. Kekuasaan dipakai untuk memfasilitasi konsentrasi dan sentralisasi kekayaan secara besar-besaran.

Seperti disinyalir Pranoto, plutokrat ialah penguasa politik sekaligus ekonom.  Akibat posisi ganda ini, kekayaan dan kekuasaan pun berlipat-lipat. Maka tak boleh disangkal, side-effect (dampak samping) beroperasinya sistem plutokrasi ini adalah gap atau kesenjangan ekonomi serta disparitas sosial menganga lebar. Begitu pula menurut Michael Walzer dalam Sphere of Justice: A Defense of Pluralism and Equality mengatakan bahwa kelompok plutokrat mengendalikan negara semata-mata demi mengeruk keuntungan pribadi. Walhasil, kecenderungan yang miskin tetap miskin, yang kaya tambah kaya masih menjadi tren dominan di negara ini.

Baca Juga:  Wakil Bupati Nunukan Buka MTQ Ke XIX Kabupaten Nunukan di Sebatik

Sekilas tentang Plutokrasi. Dalam sejumlah referensi, Plutokrasi (plutocracy) didefinisikan sebagai suatu pemerintahan yang diperintah atau dikendalikan oleh orang-orang kaya. Mengutip Amazine, istilah Plutokrasi biasanya digunakan dalam konotasi negatif karena kurangnya kebebasan demokrasi dan mobilitas sosial lazim menyertai plutokrasi. Banyak negara mengalami keadaan plutokrasi di beberapa titik, karena kekayaan sering disertai dengan kekuatan besar, terutama selama tahap pembentukan negara baru. Negara yang memiliki sumber daya alam, seperti minyak dan logam mulia, juga berpeluang mengalami jenis pemerintahan ini karena badan usaha yang mengontrol sumber daya umumnya ingin mempertahankan kondisi yang menguntungkan mereka.

Sebuah plutokrasi langsung yang diatur oleh segelintir orang kaya relatif jarang terjadi di era modern. Hanya saja, pemerintah banyak negara, bagaimanapun, sangat dipengaruhi oleh kekayaan. Kekayaan bisa membeli kekuasaan politik melalui lobi, sumbangan kampanye, penyuapan, dan bentuk tekanan keuangan lain. Ini berpotensi memberikan sejumlah dampak seperti kesenjangan ekonomi dan imobilitas sosial.

Baca Juga:  Pemdes Jaddung Salurkan Bansos Beras 10 kg untuk 983 KPM Guna Meringankan Beban Ekonomi

Dan tak sedikit kalangan yang menilai bahwa plutokrasi juga mempromosikan perbedaan kelas dan ketidaksetaraan sistemik. Pertanyaanya kembali, apakah saat ini Indonesia tengah menjalani sistem kepemimpinan plutokrasi? Jika benar, itu jelas bertentangan dengan Pancasila. Dan tak menutup kemungkinan akan melahirkan gerakan-gerakan perlawanan karena plutokrasi dianggap tidak akan mampu menciptakan dan mewujudkan kesehateraan rakyat secara keseluruhan.

Bahkan, kesenjangan ekonomi yang dihasilkan sistem plutokrasi berpotensi menggerakkan perlawanan dan pemberontakan. Yang jelas, adalah sebuah keniscayaan bahwa sistem dan tatatan yang sempurna hampir tidak ada. Termasuk plutokrasi. (Berbagai Sumber)

Penulis: Eriec Dieda
Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 38