PeristiwaRubrika

Ketika FN Nieuwenhuijzen Menghapus Kerajaan di Pulau Kalimantan

kerajaan kalimantan, kesultanan kalimantan, perang banjar, fn nieuwenhuijzen, pangeran antasasi, sultan tamjidillah, kesultanan banjar, gusti khairul saleh, panglima perang banjar, rakyat banjar, pulau kalimantan, perang kalimantan, nusantaranews, kerajaan nusantara
Masjid Sultan Suriansyah Kesultanan Banjar. (Foto: Bubuhan Banjar)

NUSANTARANEWS.CO – Tepat pada tanggal 11 Juni 1860, Pemerintah Kolonial Belanda menghapus seluruh kerajaan di Pulau Kalimantan. Penghapusan itu atas perintah langsung Residen Belanda di Banjarmasin FN Nieuwenhuijzen. Alhasil, penghapusan itu juga berlaku bagi Kesultanan Banjar yang dipimpin Sultan Tamjidillah.

Sejak saat itu, Kesultanan Banjar langsung diperintah oleh seorang Residen Hindia Belanda. Dan seluruh kerajaan di Kalimantan tidak punya kekuasaan politik. Bahkan Sultan Tamjidillah yang notabene sekutu Belanda di Pulau Kalimantan tak mampu berbuat banyak kecuali menerima kenyataan pahit tersebut. Dan fungsi raja atau sultan hanya sebatas simbolis saja.

Dikutip dari berbagai sumber, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan penghapusan kerajaan di Pulau Kalimantan tak terlepas dari Perang Diponegoro di Pulau Jawa dan Perang Paderi di Minangkabau. Akibatnya, Pemerintah Belanda terbilang berhasil membatasi kewenangan Kesultanan Yogyakarta.

Keberhasilan itu menjalar. Boleh dibilang, kesuksesan Belanda membatasi kewenangan Kesultanan Yogyakarta itulah yang menjadi rujukan FN Nieuwenhuijzen kemudian memutuskan untuk menghapus kekuasaan politik seluruh kerajaan di Pulau Kalimantan.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sediakan Bantuan Kesehatan Gratis untuk Petugas KPPS Pasca Pemilu 2024

Namun, penghapusan kerajaan di Kalimantan, terutama di Banjar, muncul perlawanan sengit dari pewaris Kesultanan Banjar, Pangeran Antasari. Para bangsawan dan rakyat Banjar akhirnya mengangkat Pangeran Antasari sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin pada 14 Maret 1862.

Sejak saat itu perang melawan pasukan Belanda berkecamuk di berbagai daerah. Mengutip Serba Sejarah, pada Oktober 1862, markas besar pertahanan Pangeran Antasari menggelar rapat para panglima. Hadir juga kedua putra Pangeran Antasari yakni Gusti Muhammad Seman dan Gusti Muhammad Said. Turut hadir Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.

Tiga setengah tahun sudah kita menjalani perang ini. Korban benda dan jiwa sudah tidak terkatakan. Korban harta dan orang-orang yang kita cintai. Dan saya sendiri sudah kehilangan seorang istri, ipar dan mertua dalam perang ini. Allah Maha Tahu apa artinya mereka semua bagiku. Perang adalah sungguh-sungguh kesengsaraan. Siapapun harus mengakui ini. Tetapi menyesalkah kita telah melakukannya? Tidak! Karena kita tahu untuk apa kita ini berjihad! Biar seribu kali Nieuwenhuyzen mengeluarkan maklumat proklamasinya yang menyebut-nyebut bahwa tujuan pemerintah Belanda sekarang ialah menciptakan kemakmuran rakyat, memegang teguh keadilan, ketertiban dan keamanan serta menganggap kita binatang buruan yang mengembara dalam rimba-rimba belantara dan menuduh kita menyalahgunakan nama Agama dan tanah air untuk membenarkan tujuan perang kita, semuanya itu tidak ada artinya dan tidak melemahkan iman kita! Kompeni boleh membunuh kita, tetapi tidak semangat kita!,” kata Gusti Muhammad Said mengobarkan semangat perlawnan.

Baca Juga:  Ar-Raudah sebagai Mercusuar TB Simatupang

Singkatnya, perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859 ini berakhir pada 1905. Pangeran Antasari wafat pada Oktober 1862. Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman ditangkap Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1864. Gusti Muhamad Seman sendiri wafat dalam pertempuran di Baras Kuning, Barito pada Januari 1905. Dan panglima-panglima perang lainnya banyak yang tewas dalam pertempuran.

Namun demikian, mengutip Wikipedia, sejak 24 Juli 2010 Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Gusti Khairul Saleh (Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu’tashim Billah) sebagai Sultan. (red/nn)

Editor: M Yahya Suprabana

Related Posts

1 of 3,049