Ketika AS Tuding Indonesia Berpihak pada Cina, Rusia, Iran dan Suriah

Presiden Amerika Donald Trump (Foto: Dok. Wonkette)

Presiden Amerika Donald Trump (Foto: Dok. Wonkette)

NUSANTARANEWS.CO – Presiden Amerika Serikat Donald John Trump beberapa waktu lalu menuding Indonesia berlaku curang dalam perdagangan bilateral. Seperti dikutip Kompas, tudingan Trump kepada Indonesia atas dasar defisitnya neraca perdagangan AS. Tahun lalu defisit perdagangan AS-RI mencapai 8,4 miliar dollar AS.

Lantaran tudingan itu terkait perdagangan, pemerintah memerintahkan para pengusaha atau eksportir untuk lebih memperhatikan ketentuan anti-dumping, sehingga tidak dianggap melakukan kecurangan dalam kegiatan ekspor terutama ke AS.

Trump dan AS dalam konteks ini tentu saja sedang menebarkan sebuah isu. Isu ini nantinya akan diolah hingga membentuk tema. Lalu setelahnya dibuatkan skema. Sederhana saja, skemanya adalah Trump dan AS hendak mengubah defisit anggaran menjadi surplus. Sebab, AS merupakan tujuan ekspor terbesar Indonesia. Data BPS 2016 menyebutkan, nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai angka 15,6 miliar dolar AS. Sedangkan impor hanya 7,2 miliar dolar AS. Dengan kata lain, neraca perdagangan Indonesia surplus 8,4 miliar dolar AS.

Tudingan Trump ini patut dicermati dan dikaji lebih mendalam. Terutama dari perspektif geopolitik, geostrategi dan geoekonomi. Pasalnya, AS tidak hanya sampai di situ membuat tudingan. Terbaru, seperti dikutip US Today, negeri Paman Sam memetakan Indonesia sebagai salah satu negara yang bersikap oposisi terhadap serangan rudal Angkatan Laut AS ke pangkalan udara Suriah.

Seperti dipetakan US Today, Indonesia disebut berpihak pada Suriah mengikuti Rusia, Cina dan Iran. “Countries that support/oppose The U.S missile strike on Syria. Support; Australia, Canada, France, Germany, Israel, Italy, Japan, Jordan, New Zealand, Poland, Saudi Arabia, Spain, Turkey, United Arab Emirates, United Kingdom. Oppose; China, Indonesia, Iran, Russia, Syria,” tulis US Today.

Pemetaan yang dilakukan AS tentu patut diwaspadai. Pasalnya, situasi politik di Suriah khususnya tengah tidak kondusif pasca serangan rudal AS. Di mana AS menuding Presiden Suriah Bashar al-Assad telah menggunakan senjata kimia yang dilarang PBB. Sementara Rusia dan Iran berusaha membantu Suriah, khususnya Bashar agar tidak tumbang dari kekuasaan. Suriah memang tengah menjadi lahan tempur negara-negara berkepentingan karena ladang minyak dan jalur pipa gasnya yang selama ini dikuasai Rusia.

Pemerintah perlu melakukan pembicaraan intensif terkait dengan pemetaan yang dilakukan AS. Bukan soal apa, Indonesia sejak masa kemerdekaan telah konsisten dengan posisinya sebagai negara Non Blok. Dan Indonesia adalah pencetus KAA Bandung 1955 dan KTT Non Blok Beograd 1961. Pakem Non Blok ini sudah dijalankan Indonesia sejak lama. Namun apa jadinya bila AS justru menuding Indonesia sudah berpihak kepada kubu Cina, Russia, Iran, dan Suriah terutama dalam konflik di Suriah? Perang fisik jelas sudah bukan solusi. Zamannya sudah habis, terutama sejak berakhirnya perang dingin. Tapi tetap patut diwaspadai.

Lebih jauh lagi, konflik di kawasan juga tengah memanas menyusul sikap Korut yang mengembangkan nuklir, dan uji coba rudal balistik yang terhitung sudah lima kali dilakukan, terakhir 5 April lalu. Rudal ditembakkan Korut ke Laut Lepas Pantai Timur. Tujuannya adalah menggertak AS dan sekutunya di kawasan seperti Jepang dan Korea Selatan. Sementara, Cina merupakan pemegang kunci karena bisa menggunakan pengaruhnya terhadap Korut. Dengan kata lain, Cina merupakan sekutu tradisional dan mitra dagang utama Pyongyang.

Penulis: Eriec Dieda

Exit mobile version