NUSANTARANEWS.CO – Penyair Burung Merak W.S Rendra namanya, lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935, dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009. Dialah penyair yang setiap pada sajak-sajak yang ditulisnya, bahkan di detik-detik akhir menjelang hembuskan nafas terakhir, sebuah sajak masih mengalir dari ide dan tangannya sendiri. Rendra dikenal dengan banyak sebutan. Bagi dramawan, Rendra adalah pembaca teater modern di Indonesia. Bagi sastrawan, Rendra adalah penyeru sajak-sajak pemberontakan yang populer dengan sebutan Pamlet penyair.
Sebutan dramawan penyair atau sastrawan bagi Rendra sudah tidak asing lagi rasanya. Namun lebih dari label itu, Rendra merupakan guru, sahabat, sekaligus orang tua bagi anggota Bengkel Teater Rendra dan orang-orang dilingkupnya. Rendra adalah sosok pribadi dengan kepribadian kompleks dan utuh.
Tak heran, bila seorang peneliti menyebutkan bahwa, Rendra adalah politisi yang tidak berpolitik, dan sosiolog yang tidak hanya bicara teori tetapi langsung turun ke masyarakat. Itulah sebabnya, Rendra yang bermula dari sajak, kemudian teater, dan film dengan tanpa melepaskan perhatiannya kepada masalah sosial, politik, lingkungan hidup, dan utamanya kebudayaan.
Sejak Rendra meninggal, keluarga, teman, dan semua insan seniman negeri ini, merasa kehilangan. Tetapi, kendati Rendra telah pulang abadi, jiwanya terus bersemayam dalam jiwa-jiwa para pecintanya. Karenanya setiap tahuan, di berbagai kota, di negeri ini, tidak pernah absen acara-acara mengenang Rendra. Semua punya kenangan khas dengan Rendra. Kenangan yang berbeda satu sama lain.
Salah satu murid, kawan, sekaligus keluarga Rendra yaitu Jose Rizal Manua dengan senang hati membagi sedikit pengalamannya bersama alm. Rendra. Menurut Jose ketika Mas Willy, panggilan akrab bagi Rendra, masih hidup punya impian yang belum tercapai sampai ia meninggal, yaitu memanggungkan Kalatida karya Ronggowarsito. Mas Willy waktu itu hendak me-re-writer (menulis ulang) karya Ronggowarsito kemudian dibawakan dengan seperangkat gamelan. “Itu rancangan yang tidak terwujud sampai hari ini,” kata Jose bercerita pada redaksi nusanstaranews.co di toko buku miliknya di komplek Taman Ismail Marsuki (TIM), Cikini, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Disamping itu, Mas Willy disebut sebagai sosok yang rendah hati, berkeripadian kuat, dan memiliki rasa hormat kepada orang-orang yang mempunyai keperibadian yang kuat pula. Keperibadian itulah yang kemudian tertular kepada masing-masing anggota bengkel teater. Tetapi dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai masing-masing karakter yang dimiki. Sebab Mas Willy tidak menuntut anggota bengkel teater menjadi seperti dirinya, alias dituntut untuk menjadi dirinya sendiri yang utuh dan kuat.
“Iya, karena dia tidak mencetak seseorang untuk menjadi seniman. Tetapi dia (bilang pada anggota bengkel teater) kamu langkahi kepala saya. Kamu harus lebih hebat dari saya. Dia memotivasi anggota bengkel teater supaya memiliki keperibadian yang lebih tinggi, jangan menjadi Rendra, jangan jadi orang lain,” kisah Jose lebih lanjut.
Hal itu juga menjadi salah satu alasan bagi Mas Willy, kenapa dirinya tidak menginginkan bengkel teater dilanjkan ketika dirinya sudah tidak ada lagi. “Seperti dikatakan bahwa bengkel teater itu Rendra. Jadi, jangan dihidup-hidupkan kalau saya tidak ada, pesan Rendra. Aktifitas berkesenian di bengkel teater terus berjalan sampai sekarang. Tapi dalam bentuk yang lain dengan semangat atau spirit yang Rendra wariskan,” ungkapnya.
Sosok mas Willy juga dikenal dengan perlawanannya yang keras terhadap kesewenang-wenangan pemerintah di era orda baru. Menurut Jose, sikap melawan tersebut didorong oleh sikap kritis yang dimiliki mas Willy. Dimana, pada tahun 60-an mas Willy sudah mengkritik dunia drama dan film, khususnya Asdrafi. Bagi Rendra, Asdrafi itu hanya diiri oleh tukang-tukang. Dia juga mengkritik budaya Jawa. “Kata dia (mas Willy), jangan sampai budaya Jawa hanya menjadi kasur tua. Jadi, harus diaktualisasikan terus. Sehingga tetap hidup di masyarakat,” ujar Jose lagi.
Terkait dengan sepak terjang Rendra di jalanan, Jose menyebutkan bahwa, dalam peristiwa Malari, Rendra ikut demo yang waktu itu melakukan gerakan mogok makan dan segala macam di HI bersama Arief Budiman, Goenawan Mohammad dan seniman-seniman lainnya. Rendra ikut menyatakan keprihatinannya. Tapi puisi-puisinya belum menginspirasi. “Karena pada waktu itu, puisi-puisinya lebih kepada puisi-puisi kepada rakyat (cinta dan kemanusiaan). Seperti ‘rakyat adalah sumber ilmu’, ‘Doa Lingkaran Kosong’, dan puisi-puisinya di tahun 70-75. Tahun 76, 77 dan seterusnya baru lahir puisi-puisi sosial (pamflet penyair),” terangnya.
Selanjutnya, ketika ditanya soal kenapa Rendra yang keras mengkritik pemerintah seperti halnya Wiji Thukul, nasib Rendra lebih baik dari Wiji Thukul, Jose menilai lantara kritik Rendra terhadap pemerintah tidak mengandung unsur-unsur Komunis (PKI, red). “Kelihatannya yang dibabat habis adalah mereka yang memiliki afiliasi ke sana (PKI), seperti membela LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dan Rendra sedari awal sudah menentang LEKRA dan memang sudah berseberangan. Akan tetapi, ya itu tadi: Rendra tidak membenar-benarkan yang salah dengan tanpa kebencian. Misalnya, dia tetap bersahabat dengan Pram (Pramoedya Ananta Toer) namun dia tidak seideologi dengan Pram,” pungkas pendiri Teater anak-anak, Teater Tanah Air itu.
Sajak W.S Rendra
Rakyat Adalah Sumber Ilmu
Di dalam masyarakat:
Pujangga adalah roh.
Pemerintah adalah badan.
Tanpa roh
negara adalah robot.
Tanpa badan
negara adalah hantu.
Roh dan badan
tak bisa dipisahkan.
Keduanya harus saling berimbangan.
Kalah atau menang
itulah irama kematian.
Imbang berimbang
itulah irama kehidupan.
Pendeta Raja itu tidak ada.
Pendeta Raja itu palsu.
Pendeta Raja itu penindas dan penjajah.
Pendeta Raja itu deksura.
Pendeta Raja itu merusak keseimbangan.
Merusak hubungan antara manusia.
Maka, di dalam masyarakat:
Pujangga adalah roh.
Pemerintah adalah badan.
Dan Pendeta Raja
bukanlah orang atau lembaga
Pendeta Raja adalah rakyat.
Oleh karena itu Rakyat adalah guru.
Adalah sumber ilmu.
Rkayat adalah gua
di mana Kresna dan Arjuna
bertapa.
Rakyat adalah samudra luas
di mana Sang Bima
bertemu dengan Dewa Rucinya.
Janganlah kita menunggu Ratu Adil.
Ratu Adil bukanlah orang.
Ratu Adil bukanlah lembaga.
Ratu Adil adalah keadaan
di mana ada keseimbangan
antara roh dan badan.
Wahyu Cakraningrat tidak ada.
Wahyu Cakraningrat, Wahyi Pendeta Raja,
adalah impian deksura.
Syahdan
di dalam alam hanyalah ada
Satu Wahyu.
Ialah Sabda.
Dan Sabda adalah citra budi Tuhan
Di dalam masyarakat manusia,
Sabda memiliki sembilan bayangan.
Itulah yang disebut sembilan wahyu.
Wahyu ahli agama
Wahyu ahli alam.
Wahyu ahli kesenian.
Dan lalu:
Wahyu ahli obat-obatan.
Wahyu Ahli pendidikan.
Wahyu ahli pertanian dan peternakan.
Selanjutnya:
Wahyu Raja.
Wahyu menteri dan panglima.
Dan akhirnya: Wahyu hakim.
Di dalam masyarakat manusia
kesembilan wahyu itu
tidak bertempat di gunung
atau hutan keramat,
tidak di dalam pustaka,
tidak pula di dalam kitab-kitab rahasia;
melainkan
berada di dalam kalbu rakyat.
Dan jalan ke dalam kalbu rakyat
adalah melewati naluti rakyat.
Naluri rakyat ini
bukanlah adat istiadat.
Karena adat istiadat adalah badan.
Fana dan sementara.
Naluri rakyat ini
Adalah roh yang hidup
yang senantiasa menjelma
di dalam pertumbuhan-pertumbuhan.
Oleh karena itu
bila ingin bertapa
di dalam kalbu rakyat
harus memiliki laku:
Mengolah kepekaan akan pertumbuhan.
Pertumbuhan dihayati
akan mengungkapkan daya hidup.
Daya hidup diungkpakan
menjadi cinta kasih.
Tanpa mengolah cinta kasih
tidak mungkin akan sampai
kepada kalbu rakyat.
Mengolah cinta kasih
haruslah meninggalkan
pamrih tentang diri kita,
berarti:
menjadi ning,
Begitulah:
di dalam masyarakat manusia
kalbu rakyat
adalah kiblat utama
di dalam membina keseimbangan
antara roh dan badan.
TIM, Jakarta, 12 Juli 1975
(Materi dan Penulis: Selendang Sulaiman)