“Kepada Pesisir, Aku…” Cerpen Karya Frida Dewi Febiyanti
“Kepada matahari yang beredar lalu kembali kepada peraduannya
Kepada hati yang tanpa lelahnya di tempa rasa harap
Aku terkagum pada seorang pria
Milik wanita entah siapa dia
Aku jatuh cinta pada seorang adam
Jodoh seorang hawa entah siapa dia”
Rambut ikalnya tergerai, menggantung di atas pundaknya. Mata almondnya berkedip-kedip saat angin laut bertiup. Gadis itu tepat berdiri ditepian pantai, di atas karang yang cukup besar. Di bagian atas karang itu mulai menghalus, terkikis sol sepatu yang setiap sore menapakinya. Gadis itu mendongak, memandang langit. Di sana, burung-burung terbang tepat di bawah semburat jingga senja. Ia tak kunjung pergi, sampai langit benar-benar gelap pun ia masih di sana. Matanya menatap sedih setiap gulungan ombak yang mendebur, menabrakkan diri pada karang yang ia pijak. Sudah dua tahun belakangan ini ia berdiri di sana, pada waktu yang sama setiap harinya.
Gadis itu menutup bukunya, berlalu dari singgasananya. Desiran angin menerpa wajahnya, menerbangkan rambutnya, sementara langit sudah dipenuhi sekumpulan burung camar. Gadis itu membalikkan tubuhnya sekali lagi, menatap kapal yang hampir hilang dari pandang netranya lalu melangkah menjauh dari pantai.
Kaki telanjangnya menyusuri pasir pantai yang terendam air semalam. Setiap fajar dan petang dia datang. Bukan tanpa alasan, dia datang untuk pujaan hatinya tentu saja. Tapi mungkin tidak untuk beberapa hari ke depan. Kekasihnya pergi dengan kapal yang agak sedikit lebih besar dari biasanya; itu berarti perjalanan akan menghabiskan waktu beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu lamanya. Gadis itu tersenyum simpul, ingat akan pertemuan pertama mereka saat orientasi SMA. Orang bilang cinta pertama itu hanya mitos, cinta akan tumbuh jika terbiasa, katanya. Tapi tidak, gadis itu yakin apa yang dia rasa semenjak awal adalah cinta, bukan hanya kagum. Ingatannya menerawang, kembali pada masa usianya belasan tahun..
“Hai” gadis itu berucap ragu dengan gestur khas menyapa. Yang disapa tersenyum, melambaikan tangannya pelan. Gadis itu tidak berbohong, dia benar-benar jatuh cinta. Mereka berjabat tangan saling menanyai nama satu sama lain.
“Langit” pria itu mengenalkan diri.
Sejak saat itu dia mulai.. menguntit? Mengagumi pria dengan pesona seterang namanya.
“Aku jatuh cinta, aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku”
Masa sekolah adalah yang paling indah. Gadis itu setuju. Di sekolah, dia menemukan kebahagiaannya, menemukan cintanya. Mungkin begitu juga dengan gadis-gadis lain di luaran sana.
Setelah bertahun-tahun, lelaki itu tetap saja, membuatnya kembali jatuh dalam cinta yang memabukkan. Tanpa dia mengungkapkannya pun, laki-laki itu jelas tau apa yang selama ini bergemuruh, yang terus menggebu di balik tulang rusuknya. Cinta pertamanya.
“Apa aku egois?” tanyanya pada bapak tua yang sudah hapal dengan tingkah gadis itu yang seperti orang gila menatap perahu-perahu Nelayan setiap harinya.
“Kau hanya belum melupakannya,” gadis itu tersenyum
“Lalu apa bedanya?” dia memejamkan matanya, mencari titik temu dari kekacauan hati dan pikirannya.
Perjalanan berminggu-minggu sudah usai. Menunggu adalah yang paling melelahkan bukan. Tapi banyak orang bodoh yang terus melakukannya. Gadis itu menatap sendu pemuda yang sedang menurunkan ikan-ikan hasil tangkapannya. Dia memamerkan senyum semringah pada rekan-rekan kerjanya sebelum beranjak pergi menghampiri seseorang… istrinya, dengan anak tunggal mereka. Gadis itu tersenyum pilu, sementara netranya sudah basah akan air mata. Mencintai bukanlah suatu kesalahan. Cinta adalah anugerah, suatu kebahagiaan yang tuhan karuniakan pada hati seseorang. Menyukai seseorang adalah suatu wajar. Satu-satunya kesalahannya adalah ia mencintai pria orang lain.