NUSANTARANEWS.CO – Kennedy: Jika Politik Kotor, Puisi Akan Membersihkannya. Mari buka sedikit saja tentang puisi. Ya, puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair terhadap persoalan yang ada dalam diri, masyarakat dan lingkungannya: bangsa dan Negaranya. Masalah atau persoalan bagi penyair, mencakup segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan tersebut merupakan bagian dari pola hubungan manusia; baik pola hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Penyair sebagai pencipta syair atau puisi memiliki visi dan misi dalam karyanya yang disebut dengan hasil permenungannya terhadap keadaan di sekitarnya. Maka dengan puisi, orang dapat mengungkapkan perasaan dan pikiran yang telah dan sedang dialaminya. Dengan demikian, puisi juga dapat dijadikan media atau alat untuk menyampaikan amanat penyair kepada para pendengar dan masyarakat pembaca.
(Baca juga: Puisi Dijinjing Penyairnya Masing-Masing)
Tujuannya supaya masyarakat yang membaca dan atau sebatas mendengar dapat memahami dan sanggup mengamalkan pesan dari isi puisi tersebut. Riwayat penciptaan puisi sebagai karya sastra, bermula dari segala gejala dalam kehidupan manusia, gerak alam dan zaman. Kenyataan yang tanpak di hadapan penyair dilihat dengan cara pandang yang tajam, dipikir dan dirasakan kemudian dihayati dengan penuh penjiwaan. Sehingga menghasilkan satu bentuk karya sastra yaitu puisi sebagai manefestasi dari inspirasi (ilham) yang diproses oleh daya cipta dan mutu seorang penyair.
Mutu pengetahuan, penghayatan dan kemantapan terhadap ajaran keagamaan, dan sikap kemanusiaan seorang penyair yang ditopang oleh totalitasnya dalam mengolah kenyataan yang terjadi di sekitarnya, menentukan mutu karyanya yakni puisi yang meliki ruh dan jiwa. Sehingga ruh dan jiwa dari pada puisi yang dicipta benar-benar hidup dan dapat menyentuh jiwa-jiwa pembacanya.
Sikap hidup penyair dalam berkarya harusnya dibarengi dengan etos perjuangan, agar puisi yang dicipta tidak melulu mengedepankan eksplorasi estetik dalam keterpesonaan bernarasi: megnindah-indahkan kata, gelap makna, dan tak memiliki masa depan. Dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa dan dalan peradaban Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, tidak sedikit para sastrawan (penyair) yang berperan dalam menegakkan agama Islam dan gigih menyebar luaskan ajaran-ajaran Islam, dengan media dakwah dalam bentuk syair-syair (puisi lama) yang indah.
Sebelum jauh, mesti disebut pula soal tugas penyair. Tugas di sini, ada persamaan dengan tugas-tugas manusia dengan profesinya masing di kehidupan yang nyata. Misalnya tugas dokter untuk mengobati orang sakit. Polisi dan tentara bertugas untuk keamanan negara. Pramugari bertugas di pesawat. Nahkoda bertugas untuk mengemudikan kapal layar. Dosen, guru dan ustadz bertugas untuk mengajar dan mendidik. Lantas tugas penyair di wilayah mana?
Penyair pada masa kejayaannya, diperkuat posisinya oleh suara masyarakat yang merasa terhibur oleh karya-karya ciptaan mereka. Masyarakat mendapatkan dua hal dari karya para penyair yaitu hiburan dan tuntunan hidup: moral dan kebijaksanaan hidup yang berdampingan.
Kini, Indonesia sedang menuju ke persoalan antar negara, dimana wilayah NKRI akan dijadikan medan perang mereka. Perang politik global, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, bahkan agama sudah berseliweran di lingkup kehidupan orang-orang Indonesia tanpa mereka sadari. Belum lagi, isu meningkatnya populasi orang Tionghoa di Indonesia yang jumlahnya disebut-sebut telah melebihi jumlah salah satu suku asli di Indonesia yaitu suku Jawa. Dan yang paling parah adalah prilaku korup pemerintah yang semakin gencar.
Sekian persoalan tersebut tidak dapat dibiarkan oleh siapapun, jika ia adalah anak bangsa. Penyair memiliki tugas untuk menyadarkan mereka melalui penyembuhan jiwa. Adapun alatnya adalah puisi yang dapat menghibur dan memiliki guna bagi anak-anak bangsa yang juga sudah rusak moralnya. Namun, pesimis, masih adakah Penyair di abad Modern ini, ketika penyair sudah tidak dapat hidup dari karyanya? Sekarang bisakah penyair mengimajinasikan wajah anak-anak Indonesia ketika genderang kompetisi MEA ditabuh?
Rasanya sukar diharapkan penyiar yang berani menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” kini lahir kembali. Kendati sudah berusaha optimis, tetap saja ekspektasi akan datangnya penyair seberang penyair pamflet muncul di tanah air. Setidaknya untuk melakukan ikhtiar kebangsaan sebagaimana yang diserukan Jhon F. Kennedy, “jika politik bengkok, maka puisi yang akan meluruskannya.” (Selendang)
Baca juga:
Mendengar Kesaksian W.S Rendra, Ingat Hari (Anti) Tembakau Sedunia
Menghayati 6 Puisi “Si Binatang Jalang” Sebelum Mati
Telaah “Sastra dalam Al-Qur’an” di Bulan Ramadhan
16 Penulis Emerging Indonesia Disiapkan Menggalakkan UWRF 2016