Budaya / SeniKhazanahKolom

Kenapa Rakyat Indonesia Belum Mencintai Laut?

NUSANTARANEWS.CO – Adakah strategi untuk membalikkan peradaban Nusantara manakala negeri ini telah lama terkubur oleh benaman Imperialis Eropa, Amerika dan bahkan oleh China padahal kita sedang dicekam oleh pemimpin yang berwatak inlander? Atau, akan cukupkah bila kita hanya punya seorang saja pemimpin yang punya visi maritim sedang rakyatnya masih dalam kegelapan atau harus seluruh penghuni negeri ini harus memiliki visi maritim terlebih dulu, baru kita berpikir untuk mengembalikan peradaban maritim Nusantara?

Saat ini, Presiden Jokowi yang berani lantang dalam pidatonya dalam memperkuat kemaritiman Indonesia pada masa depan. “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia.”

Tanpa bermaksud berpikiran negatif, apa yang menjadi cita-cita luhur yang melahirkan visi besar negara maritim tersebut agar generasi dapat kembali mencintai laut oleh sebagian pihak yang terlibat diingkari sendiri oleh pihak Indonesia. Ada banyak dalih yang dapat dikemukakan mengapa tidak bisa disertai seluruh komponen pendukungnya untuk memiliki visi maritim termasuk juga aspek pertahanan dan keamanan.  Tetapi apakah itu bisa menjadi teladan yang tepat bagi kita untuk membentuk dan mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang besar?

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Lantas dimana kepedulian kita terhadap ide besar tersebut?

Kami ingin melihat generasi sebelum kami terlibat dalam pengumpulan informasi, diskusi dan analisis.  Kami ingin merasakan suka dan duka dalam hembusan angin laut dan gemuruh gelombang.  Namun semua itu tidak terjadi, mereka hanya sibuk di darat.  Sekali lagi kita harus belajar dari orang luar.  Waulaupun mereka sudah mencapai level doktor dan profesor-mereka tidak terjadi menara gading bagi generasi dibawahnya-tetapi sebaliknya.

Perlu dicatat bahwa diperlukan aksi nyata dari para ilmuwan Indonesia untuk menggali pengetahuan kebaharian di Nusantara.  Apa yang memberatkan? Sarana sudah ada, ide-ide cerdas sudah dikemukakan, apakah itu belum membuka mata kita?

Jika kita melihat kebelakang, aktivitas orang asing menggali atau mempunyai kepedulian terhadap kebudayaan bahari di Indonesia, akan semakin banyak, di antaranya: usaha rekontruksi perahu Borobudur oleh ilmuwan Denmark, Erik Petersen, di Kalimantan Selatan (2003); pelayaran perahu Damar Sagara (bentuknya berdasarkan relief di Candi Borobudur) ke Jepang pada 1992 yang didukung Yamamoto; perahu sandeq yang asli sebagai maskot utama di Museum National D’historie Naturalle Paris, pada pameran maritime di Prancis (1997-1998); ekspedisi pelayaran sandeq ke Malayasia, Brunei Darussalam oleh ilmuwan Jerman bersama mahasiswa Universitas Hasanudin dank e Thailand oleh ilmuwan Prancis, Bruno Quatrefages, bersama nelayan Mandar (Agustus 2000), dan ahli perahu Sulawesi Selatan yang berasal dari Jerman, serta beberapa penelitian ilmiah dan dokumentasi kemaritiman yang dilakukan pihak asing di Indonesia.

Baca Juga:  Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop

Tulisan ini adalah sebuah otokritik.  Paling tidak kita meluangkan waktu untuk menyempatkan diri merenung, Mengapa kita tidak pernah peduli pada kebudayaan bahari kita? Mengapa orang asing selalu punya ide dan bisa mewujudkan ide-ide mereka itu? Kita mempedulikan saja tidak pernah, apalagi sampai punya ide.  Mewujudkan ide pun sangat lama, malah tidak mau jika tidak menguntungkan secara materi atau ada tujuan politik tertentu.

Proses penyadaran bagi kita, bahwa masyarakat yang mengaku sebagai cucu pelaut yang ulung-bahwa masih banyak kebudayaan di negeri kita yang belum kita ketahui.  Dan di balik kebudayaan itu, pengetahuan melimpah ruah.  Orang asing melihat itu sedangkan kita tidak, sebab memang kita tidak pernah mencoba untuk mencarinya dan memilih untuk tidak ikut ketika ada peluang. Orang lain rela meninggalkan tanah air dan pekerjaannya demi mempelajari kebudayaan kita.  Adapun kita baru mau terlibat jika dengan mengikutinya kita akan mendapat uang.  Sangat bertolak belakang!

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Jika pun kita memang sepakat bahwa banyak kearifan di dalam kebudayaan nenek moyang kita, khususnya budaya bahari, di sisi lain kita juga sepakat untuk hanya menganggapnya: cukuplah itu dimiliki masyarakat yang ‘bodoh’, ‘terbelakang’, ‘primitif’, dan berbagai cap ‘rendah’ lainnya.  Kita sudah cukup senang dengan berperan sebagai penikmat keunikan itu: rasa takjub menyaksikan seorang nelayan yang bisa ‘memanggil’ ikan, bangga sebagai cucu pelaut yang berani mengarungi lautan ganas, kagum terhadap keunggulan teknologi pembuatan perahu tradisional, dan senang melihat orang asing mempelajarinya.

Apa yang salah ketika kita hanya sebagai penikmat dan dengan bangga ‘pernah’ memiliki kebudayaan itu atau ‘bersaudara’ dengan pemilik kebudayaan itu, kita mendapat imbalan: hidup dengan layak; saudara kita yang menghasilkan dan memiliki kebudayaan itu ‘dibayar’ dengan kemiskinan? Atau kita memang kembali sepakat bahwa kebudayaan bahari sudah ‘ketinggalan zaman’?

Jika ini yang akan terus terjadi: orang asing mempelajari budaya kita dan kita sendiri menganggap kebudayaan itu sudah ketinggalan zaman serta tidak peduli, maka sudah wajar bila kita terus ketinggalan dari Negara lain.

“Jales Veva Jaya Mahe”
Di Laut Justru Kita Jaya

Penulis: Mbah Salim/ Letnan Kolonel (Letkol) P Salim
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts