KolomOpini

Kenaikan Harga BBM Yang Kehilangan Momentum Investatif

Atri BBM di SPBU. (FOTO: Istimewa)
Atri BBM di SPBU. (FOTO: Istimewa)

Oleh: Defiyan Cori*

NUSANTARANEWS.CO – Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) telah diputuskan oleh Pemerintah melalui kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per 1 Juli 2018 untuk BBM kategori non subsidi, kecuali jenis Pertalite. Kebijakan menaikkan BBM ini termasuk terlambat, sebab telah beberapa kali harga keekonomian minyak mentah dunia mengalami kenaikan tetapi Kementerian ESDM tidak mengizinkan Pertamina untuk merubah atau menyesuaikan harga BBM non subsidi, sementara SPBU asing dan swasta melakukan perubahan harga jual BBM tersebut. Apalagi reaksi kenaikan harga BBM dari masyarakat membuat posisi Pertamina sebagai BUMN menjadi pesakitan dan dilematis disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan publik soal posisi Pertamina dalam kebijakan harga BBM.

Hal ini tambah dipersulit oleh pernyataan Menteri Keuangan yang seolah-olah “cuci tangan” soal kenaikan harga BBM ini, padahal sebagai otoritas keuangan dan moneter yang bersangkutan sangat paham soal apresiasi US dollar dan kebutuhan impor minyak mentah yang harus dibeli dengan rupiah lebih banyak. Pertamina bisa diambang kebangkrutan jika Kementerian ESDM selalu terlambat merespon gejolak harga keekonomian minyak mentah dunia, apalagi beban Pertamina akan bertambah berat apabila akuisisi Pertagas (cabang usaha Pertamina) telah disepakati akan dijalankan oleh PT. (Persero) Perusahaan Gas Negara (PGN) yang sejumlah 41 persen sahamnya dimiliki oleh swasta.

Modal Akuisisi
Rencana akuisi Pertagas oleh PGN ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rencana pemerintah untuk membentuk perusahaan Holding Minyak dan Gas dengan mengkonsolidasikan unit usaha-unit usaha (business unit) BUMN yang bergerak di sektor energi (minyak dan gas bumi) supaya tidak berjalan sendiri-sendiri dan bersaing antar mereka di pasar energi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Melalui holding ini diharapkan perusahaan BUMN akan semakin tangguh dan kuat menghadapi persaingan dengan perusahaan atau korporasi swasta dan asing yang bergerak dalam industri sejenis. Tentu saja upaya ini harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan rakyat Indonesia, sebab ini merupakan gerakan koordinasi BUMN untuk semakin menyatu sesuai dengan bentuk negara kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga:  Diduga Korupsi Danah Hibah BUMN, Wilson Lalengke: Bubarkan PWI Peternak Koruptor

Tahapan akuisisi Pertagas oleh PGN tersebut telah dilakukan lebih awal oleh Kementerian BUMN melalui penandatanganan Akta Pengalihan Saham per tanggal 11 April 2018 dan kemudian baru disahkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PGN pada tanggal 26 April 2018, yang kemudian diundur RUPSLB nya pada tanggal 29 Juni 2018 tapi juga batal. Sebagaimana disampaikan oleh Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, bahwa skema akuisi ini dianggap lebih cepat dibanding merger yang lebih lama. Dari pernyataan Deputi BUMN ini saja dapat diambil kesimpulan awal bahwa kebijakan akuisisi ini memang ingin secepat mungkin dilakukan dan terkesan terburu-buru. Tentu publik akan bertanya-tanya apakah sebab dan alasan skema akuisi Pertagas oleh PGN ini harus segera dilaksanakan dan tanpa ada pengesahan dari RUPS kedua belah pihak, tapi langsung diintervensi oleh keputusan Menteri BUMN? Apa dasar Kementerian BUMN melakukan percepatan skema akuisisi tersebut?

Kinerja PGN selama 5 (lima) tahun terakhir mengalami penurunan, yaitu 2012-2017, walau pertumbuhan assetnya meningkat dari Tahun 2012-2016 dan harus terus membayar sewa sebesar 90 juta US dollar akibat pembayaran biaya operasi dan investasi di sektor hulu oleh Saka Energi. Berdasarkan laporan keuangan Tahun 2017, laba bersih PGN tercatat sebesar $US 143,15 juta atau setara dengan Rp 1,92 Trilyun, sedangkan pada Tahun 2013 PGN bisa mencatatkan laba bersih sebesar $US 845 juta atau lebih kurang Rp 109,85 Trilyun (kurs dollar Rp 13.000).

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Atas dasar penurunan laba bersih inikah lalu kemudian Pertagas diakuisi oleh PGN, tepatkah kiranya perusahaan yang lagi menurun kinerjanya mengakuisisi Pertagas yang mana beban unit bisnis Pertamina ini juga tidak ringan. Apalagi juga kondisi kinerja Pertamina sebagai induk usaha juga lagi tidak memungkinkan menyangga PGN jika akuisi berjalan. Pihak Pertamina sendiri memprediksi butuh waktu 3 (tiga) tahun memulihkan kembali kinerja keuangan PGN tersebut seperti sedia kala.

Fluktuasi Harga Keekonomian
Sejak awal Tahun 2017 harga keekonomian minyak mentah dunia selalu berfluktuasi di kisaran $US 45 sd 70, yang seharusnya Pertamina juga punya kesempatan menaikkan harga jual BBM paling tidak juga sebanyak 4 kali (penyesuaian triwulan). Sebab, apabila tidak ada penyesuaian selain melanggar UU, maka Pertamina sebagai korporasi dan BUMN akan menanggung beban biaya lebih besar, padahal ada kesempatan untuk memperoleh keuntungan bagi negara. Namun, Kementerian ESDM tak kunjung melakukan penyesuaian atau perubahan atas harga jual BBM Pertamina kepada konsumen yang bisa saja atas pertimbangan tertentu, diantaranya janji politik Presiden. Pertimbangan politik ini memang tak bisa dielakkan, tapi publik juga harus dipahami oleh pemerintah bahwa posisi Pertamina saat ini tak begitu kuat dalam menopang kenaikan harga keekonomiaan minyak mentah dunia yang melonjak disebabkan oleh separuh dari kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri yang sebrsar 1,6 juta barrel per hari masih diimpor. Pembelian impor jelas akan menguras keuangan Pertamina disaat yang sama juga terjadi depresiasi Rupiah atas mata uang dollar sehingga Pertamina membutuhkan Rupiah lebih besar dari sebelumnya. Atas dasar inilah seharusnya logis akhirnya Kementerian ESDM melakukan penyesuaian harga BBM supaya Pertaminan tetap terus beroperasi dan menjalankan visi korporasi dan BUMN nya secara strategis. Tanpa adanya penyesuaian harga BBM berdasar harga keekonomiaan minyak mentah dunia itu, maka Kementerian ESDM dengan sengaja membiarkan Pertamina di jurang kebangkrutan dan mengancam eksistensi BUMN ini di masa depan. Sementara, operator asing di SPBU-SPBU nya seperti Total, Shell, Vivo dan yang lainnya diizinkan untuk menyesuaikan harga jual BBM nya kepada konsumen.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Lebih jauh dari itu adalah, selain kerugian jangka pendek yang dialami Pertamina tanpa penyesuaian harga tersebut, justru investasi jangka panjang Pertamina dalam membangun sektor hulu migas (up stream) juga akan terganggu karena potential gain nya hilang atas tiadanya kebijakan penyesuaian harga oleh Kementerian ESDM tersebut. Bahkan beban Pertamina justru semakin berat dengan adanya kebijakan akuisisi Pertagas oleh PGN, sementara kinerja PGN dalam kondisi yang buruk. Kenaikan harga BBM per 1 Juli 2018 yang telah diputuskan pemerintah ini sebenarnya sudah kehilangan momentum, dan tentu saja tanpa mengikutsertakan kenaikan harga Pertalite yang bukan BBM bersubsidi seolah menjustifikasi bahwa pemerintah tak konsisten menerapkannya. Publik tentu saja bertanya, mengapa Pertalite yang merupakan BBM khusus (bukan disubsidi) tidak dinaikkan sesuai Perpres 191 Tahun 2014?

Kebijakan percepatan akuisi Pertagas oleh PGN disaat kinerja keuangan PGN yang buruk tapi mengambil alih BUMN yang berkinerja baik di satu sisi. Dan, kebutuhan investasi Pertamina sebagai BUMN yang sangat besar dalam membangun industri minyak dan gas, akan tetapi di sektor hilirnya Pertamina dipersulit pemerintah, khususnya dalam melakukan penyesuaian harga BBM sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia jelas akan berdampak pada Pertamina. Secara langsung adalah, mengurangi potensi Pertamina dalam memupuk modal kerja secara lebih baik, modal awal untuk mengakuisisi PGN dan ruang dividen lebih besar yang diberikan ke kas negara. Kebijakan yang absurd dan kehilangan momentumnya.

*Penulis adalah Ekonom Konstitisi

Related Posts

1 of 3,159