Hankam

Kemunculan Buzzer di Media Sosial Dinilai Ciptakan Perang Siber

Penyebaran hoaks di media sosial. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO/Istimewa)
Penyebaran hoaks di media sosial. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO/Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Keberadaan buzzer di media sosial kini tengah menjadi perbincangan hangat di tanah air. Hal ini tak lepas dari tumbuh suburnya pegiat media sosial.

Belakangan, buzzer lalu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Salah satu tugasnya ialah mem-buffering seorang atau sekelompok entitas politik. Buzzer juga menyasar musuh politik dan menjatuhkan citra diri seseorang atau kelompok tertentu.

Baca juga: Buzzer Politik atau Politik Buzzer?

Baca juga: Pengakuan Mantan Buzzer: Gaji Buzzer Politik Cukup Menggiurkan

Pada akhirnya, buzzer disadari atau tidak menciptakan perang siber (cyber war).

Analis politik dan media, Hanif Kristianto menyebut kemunculan buzzer-buzzer dalam politik dapat dianalisis.

“Pertama, media digital merupakan sarana manusia untuk memenuhi hajat mendapatkan informasi. Media ini awalnya bersifat umum. Siapapun boleh memakai. Sayangnya, tujuan pemakaian itu terkadang ada yang positif dan negatif. Nah, jika sudah memasuki ranah kepentingan politik seringnya menjadi bias dan sah-sah saja. Halal asal sesuai kepentingan pesanan,” kata Hanif dikutip dari pernyataannya, Kamis (10/10/2019).

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Baca juga: CIPG Ungkap Nilai Transaksi Agensi Buzzer untuk Satu Calon

Baca juga: Setelah Kampanye Ad Hominem, Para Buzzer Kini Dinilai Tengah Sibuk Sebarkan Istilah Fearmongering dan Scaremongering

Kedua, kata dia, kegagalan sistem pendidikan dalam mencetak SDM yang unggul dan bertanggung jawab. Ketika manusia terdesak oleh kepentingan isi perut dan materi kekayaan, buzzer pun siap jiwa raga membela junjungannya.

“Apapun ditulis. Dibuatkan status. Quote dan meme. Karena ada anggapan ‘nggak nyetatus nggak dapat fulus, mampus’,” sebutnya.

Ketiga, ketidakadilan dalam perlakuan terhadap aktivis media sosial yang kritis. Ketika aktivis melakukan kritik tajam dianggap melanggar UU ITE, menyebarkan hoax dan mengancam kepentingan keamanan nasional.

“Berbeda ketika buzzer koalisi yang sering dilaporkan karena dianggap telah melecehkan agama dan sering memuja junjungannya tidak diapa-apakan. Ada kecenderungan lolos dari hukum. Publik pun menyurahkan kekecewaannya di semua lini media sosial terkait ketidakadilan ini,” ungkap Hanif.

Baca juga: MUI: Uang Hasil Buzzer Hoax Hukumnya Haram

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Dia menuturkan, UU ITE menjadi pukat harimau untuk menjerat siapapun yang dianggap mengusik kepentingan politik status quo. Padahal tujuan UU ITE diundangkan untuk transaksi keamanan elektronik, bukan kepentingan politik. Dari peristiwa ini publik pun kian sadar bahwa ketidakadilan ini harus dilawan meski dengan satu ciutan.

Keempat, liberalisasi informasi media yang diiringi liberalisasi politik. Platform media sosial kini perlahan menggeser media massa. Alam pikiran manusia sudah terkonsentrasi bahwa untuk mendapatkan informasi cepat harus dari media sosial. Ketika manusia tak memiliki saringan untuk mengetahui informasi yang benar serta merta informasi itu ditelan mentah.

Kelima, kepentingan bisnis dan politik bertemu. Pegiat media sosial menemukan wahana baru mengumpulkan pundi-pundi uang dari dunia maya. Selain pebisnis yang memang menggunakannya untuk kepentigan omzet, politisi juga tak mau ketinggalan.

Baca juga: Perang Generasi Kelima Langsung Menusuk Pusat Kekuatan Indonesia

“Ada harga yang harus dibayar untuk mencapai tangga karir politik yang tinggi. Pencitraan, puja-puji, bombastis janji-janji dan jurus mabuk membius pemilih dilakukan sistematis. Publik yang termakan setting opini akhirnya mengiyakan setiap yang diinformasikan,” urainya.

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Hanif menambahkan, bisnis dan politik bukanlah hal baru dalam sistem demokrasi. Pada praktik di negara lain penganut demokrasi hal ini wajar dan lumrah.

“Dunia memang telah berubah. Digitalisasi informasi mampu merubah cara berpolitik tanpa meninggalkan ideologi yang diyakininya. Cuma beda cara dan gaya untuk berkuasa,” imbuh Hanif. (adn/ach)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,050