Budaya / SeniKhazanah

Kemiskinan Menjadikan Bangsa Indonesia Bermental Pengemis

NusantaraNews.co, Jakarta – Kemiskinan merupakan pekerjaan rumah setiap orang di Indonesia. Berbagai cara, beragam strategi, mungkin tak terhitung jumlah upaya dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan di NKRI ini. Tetapi, berganti pemimpin dan berumah masa, kemiskinan tetap menjadi salah satu topik penting yang selalu diperbincangkan.

Kemiskinan menjadikan orang tangguh, hebat, dan pekerja keras. Kemiskinan menjadikan orang lemah, malas, dan pendosa. Kemiskinan menjadikan orang arogan, anarkis, dan teroris. Kemiskinan bisa menjadikan manusia apa saja. Tergantung mentalnya terbuat dari apa.

Kemudian lahir paradoks kehidupan. Apakah kemiskinan telah membuat orang menjadi malas atau pekerja keras ketika ia memilih menjadi pengamen? Apalagi ada sebagian orang mampu yang menjadikan dirinya sendiri sebagai pengamen, sehingga nampak seolah-olah ia miskin? Ini semua terjadi di jalan-jalan raya di Indonesia.

Tentang Pengamen banyak sekali wujud dan bentuknya. Setiap kita mengalami dan bisa menyebutkan paling sedikit 5 macam pangamen. Baik pengamen di perempatan jalan, yang datang ke pintu-pintu rumah, maun yang datang ketika kita makan di tepi-tepi jalan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Ada yang menarik lagi dari itu semua, yakni fenomena pengamen yang menggunakan seni tradisional. Kini, tidak sedikit seni tradisi yang dijadikan alat mengamen seperti Ondel-ondel, Jarang Kepang, Tari-tarian, dan lain sebagainya.

Berangkat dari soal di atas, seorang Jurnalis Senior yang juga pengamat budaya memberikan tanggapan yang bernas. Ia populer dengan nama Bre Redana yang kolom-kolom lugasnya bisa dijumpai di salah satu koran cetak nasional.

Dalam tulisannya berjudul “Bukti Mental Bangsa Kita Pengemis”, Bre Redana menyatakan bahwa bangsa Indonesia masih memiliki mental pengemis. Pasalnya banyak pengamen yang masih sehat dan kuat untuk bekerja.

“Melihat fenomena seni tradisional dipakai mengamen, saya melihatnya bangsa kita mentalnya jadi pengemis. Artinya, semua cara dilakukan demi mengemis. Para pelakunya ini tidak memikirkan melestarikan kesenian dan lain-lain,” kata Bre.

“Saya tinggal di Ciawi, Bogor di mana setiap kali saya pulang ke rumah di saat weekend, saya melewati simpang Ciawi-Gadog, tempat perlintasan orang Jakarta ke Puncak, para weekender. Begitu ada keramaian kendaraan macet dan lain-lain, “pengemis” yang telah jadi mental sebagian besar bangsa kita, luar biasa banyaknya–dengan berbagai modus,” sambung Bre mengisahkan pengalamannya.

Baca Juga:  Wabup Nunukan Hadiri Rembug Stunting dan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim

Baca: Penjaja Seni Tradisional Ondel-ondel Potret Kemiskinan di Ibu Kota

Menurut Bre, berbagai modus itu artinya mereka benar-benar mengemis. Ada kaum difabel (cacat tubuh) yang sebenarnya membahayakan diri sendiri, banyak juga laki-laki usia produktif yang berjualan makanan. Sebenarnya kan itu ada perdanya. Itu dilarang kan? Lalu ada juga pengamen yang bergaya punk. Macam-macam. Termasuk boneka, badut, ondel-ondel, maupun kuda lumping adalah varian itu semua.

“Nah, ketika ondel-ondel, kuda lumping, atau barongsai dipakai mengamen, itu justru memerosotkan gengsi kesenian kita. Harusnya itu dilarang, menurut saya. Jangankan kesenian kita, kalau misalnya bosnya Walt Disney ke Indonesia dan di perempatan ia melihat ikon-ikon milik Disney seperti Mickey Mouse, Goofy, sampai Donald Bebek dipakai menari-nari di tengah jalan sambil ngemis, mereka bisa mencak-mencak,” kata Bre.

“Dan kalau soal mengemis ini bukan ranah kebudayaan. Ini ranahnya dinas sosial. Yang harus bertindak Dinas Sosial di masing-masing daerah. Ini penyakit sosial. Sebagai penyakit sosial untuk teknis operasionalnya sudah ada perda memberantas gepeng (gelandangan dan pengemis), ya pakai itu saja. Instrumen hukumnya sudah ada,” sambung Pengamat Budaya itu sekaligus menutup tulisannya.

Baca Juga:  Pengangguran Terbuka di Sumenep Merosot, Kepemimpinan Bupati Fauzi Wongsojudo Berbuah Sukses

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 21