OpiniPolitik

Kemesraan Trump dan Putin, Ancaman Baru Uni-Eropa

NUSANTARANEWS.CO – Sejak terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kerap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang penuh kontriversial. Demonstrasi merebak hampir seluruh wilayah Amerika Serikat. Trump dinilai tidak mencerminkan sebagai orang Amerika Serikat yang menjunjung kebebasan dan menganut nilai-nilai demokrasi.

Masyarakat Amerika Serikat terlanjur menilai bahwa Trump adalah tokoh ultra-konservatif yang mengusung kebencian dan menumbuhkan permusuhan. Tidak hanya bagi masyarakat Amerika Serikat namun juga masyarakat seluruh dunia. Salah satu kebijakan kontroversinya adalah kebijakan Trump melarang imigran dari 7 negara kawasan Timur Tengah.

Kebijakan tersebut (executive order) ditentang oleh dunia internasional. Alhasil, nada kecaman warga Amerika Serikat pasca ditetapkannya kebijakan tersebut. Namun, kebijakan Trump dianggap masih menuai pujian dari beberapa negara sekutu seperti Arab Saudi. Komitmennya dalam melaksanakan janji bukanlah isapan jempol belaka. Selain itu, Trump juga didukung oleh dua kekuatan besar dunia yaitu Inggris dan Rusia. Bukan menjadi rahasia umum lagi, pasca Brexit, Inggris lebih merapat ke Amerika Serikat daripada Uni Eropa. Begitu pula Rusia yang tampaknya semakin mendekat untuk menghangatkan kembali hubungan kedua sahabat lama. Vladimir Putin dan Donald Trump.

Persahabatan Trump dan Putin

Telah menjadi perbincangan publik bahwa Trump adalah sahabat lama Putin utamanya dalam hal bisnis. Sebagai contoh, Trump menjadikan Moskow sebagai lini kekayaan dengan mendirikan hotel pada tahun 2007. Tentu saja hal tersebut mendapat dukungan Putin selaku penguasa Rusia. Selain itu, jika kita menilik dalam 2 tahun terakhir (2015-2016), Trump dan Putin saling melontarkan pujian.

Jika dilihat sejak tahun 2015, setidaknya Putin mengeluarkan pujian pada Trump sebanyak 2x secara beruntun pada tanggal 17 Desember 2015. Sedangkan di tahun yang sama Trump melontarkan pujian sebanyak 3x yaitu tanggal 30 Juli 2015, 1 Desember 2015, 17 Desember 2015. Seperti contoh pada tanggal 30 Juli 2015, Trump mengungkapkan bahwa bersama Putin maka Amerika Serikat dapat menjalin kerjasama yang lebih baik.

Baca Juga:  Silaturrahim Kebangsaan di Hambalang, Khofifah Sebut Jatim Jantung Kemenangan Prabowo-Gibran

Pada tahun 2016, Putin mengeluarkan pujian kepada Trump sebanyak 4x yatu pada tanggal 14 Januari 2016, 12 April 2016, 22 Juni 2016 dan 27 Juli 2016. Sebagai contoh pada tanggal 27 July 2016, Putin melontarkan pujian bahwa Trump adalah partner kooperatif dalam usaha membinasakan ISIS yang dianggap sebagai ancaman utama. Sedangkan Trump memuji Putin sebanyak 2x pada tanggal 22 Maret 2016 dan 27 Juli 2016.

Hubungan Trump-Putin seakan tidak pernah luntur. Jalinan komunikasi makin intens. Rasa saling hormat dan menaruh kepercayaan terus ditingkatkan. Hal terbaru yang dikatakan oleh Trump pada tanggal 15 Januari 2017 kepada media adalah kita harus percaya Putin.

Pernyataan tersebut tentunya sedikit menyakitkan bagi masyarakat Amerika Serikat seperti tim dari Hillary Clinton. Mereka menuduh Rusia turut campur tangan dalam pemilu Amerika Serikat. Jauh-jauh hari sebelum pemilu berlangsung, mereka menuduh Rusia meretas Pos-el Hilary Clinton yang bocor kepada publik. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan warga Amerika Serikat pada Hillary menurun sehingga berbuah kemenangan Trump. Intelijen AS pun berusaha menyingkap isu yang beredar. Apakah benar Rusia berusaha meretas pos-el milik Hillary? Namun yang terjadi, Trump justru menyangkal informasi tersebut. Bahkan di kemudian hari, Trump menuduh intelijen AS salah memberikan informasi.

Alhasil dengan kemenangan Trump ini menjadi angin segar bagi Rusia. Putin berharap akan mendapatkan peluang untuk dibebaskannya sanksi dari AS. Seperti telah diketahui, pada tahun 2014 Rusia dijatuhkan sanksi akibat berusaha menganeksasi Krimea. Tindakan yang dilakukan untuk mencaplok Krimea dan Semenanjung Ukraina dianggap perbuatan ilegal oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Barat. Selain itu, Rusia dianggap mendukung pasukan separatis Rusia yang berada di Ukrania Timur. Hal ini sepertinya memang dilakukan Putin karena ingin mengembalikan dan menguatkan pengaruh Rusia seperti era Stalin dan Lenin.

Baru-baru ini pula, Dubes AS untuk PBB, Nikki Haley mengutuk perbuatan Rusia yang menyerang Ukraina Timur pada 29 Januari 2017. Dalam perang tersebut, korban tewas mencapai 13 orang. Ia juga menyesalkan bahwa penyerangan Rusia terhadap Ukraina Timur melanggar kesepakatan Minsk. Kesepakatan yang isinya merupakan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Namun hingga saat ini, Trump belum memberikan tanggapan atas penyerangan Rusia. Apakah ini berarti Trump menganggap bahwa tindakan Rusia adalah sesuatu yang legal?

Baca Juga:  Juara Pileg 2024, PKB Bidik 60 Persen Menang Pilkada Serentak di Jawa Timur

Alarm Buruk Uni-Eropa

Jika memang Trump benar-benar mendukung Putin, maka seharusnya ini menjadi alarm buruk bagi Uni-Eropa. Di saat kebijakan perlindungan imigran ditegakkan, kaum minoritas seharusnya tidak diabaikan maka Trump justru membalikkan harapan dan tujuan dari Uni Eropa. Uniknya, Putin mendukung pula apa yang dilakukan Trump dari segi kebijakan apapun.

Kebijakan yang paling layak ditunggu dari Trump adalah rencana memindahkan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Tentunya jika terjadi maka akan mengacaukan konstelasi dunia internasional. Perdamaian yang dirancang oleh PBB dengan menempatkan Jerusalem sebagai kota internasional akan hancur berantakan. Apakah Trump benar-benar akan melakukannya?

Berkaca dari sejarah, sejatinya yang dilakukan Trump adalah mengekor kebijakan dari pendahulu-pendahulunya. Sejak tahun 1922, AS selalu mendukung Israel untuk menjadikan Jerusalem sebagai ibukota. Pada tahun 1947 melalui resolusi PBB nomor 181 (III) AS dan Uni Soviet sama-sama mendukung Palestina untuk dibagi menjadi dua negara. Satu untuk negara Arab dan satu negara Yahudi (Kuncahyono, 2008). Namun perundingan tersebut gagal dilaksanakan.

Begitu pula dengan resolusi 242 pada tahun 1967 yang menyerukan Israel mundur dari Palestina. Namun sekali lagi, resolusi tersebut dihiraukan begitu saja. Bahkan pada tahun 1980, Dubes AS untuk PBB, Arthur Goldberg menyatakan bahwa status Jerusalem masih dapat dibicarakan lag dan menganggap bahwa Jerusalem bukan wilayah kependudukan. Ini artinya AS memang masih menghendaki Jerusalem untuk menjadi ibukota Israel.

Tidak berakhir hanya pada tahun 1980 saja. Pada tahun 1994, wapres Al Gore pun menyatakan sebaiknya Jerusalem bersatu dengan ibu kota Israel. Jika Dewan Keamanan PBB menghendaki bahwa Jerusalem sebagai bagian dari wilayah kependudukan maka, AS akan memveto resolusi tersebut. Hal-hal tersebut yang makin meyakinkan bagi Trump untuk segera memindahkan Tel Aviv dan menegaskan Jerusalem sebagai ibu kota Israel.

Baca Juga:  Tiga Kader PMII Layak Menduduki Posisi Pimpinan DPRD Sumenep

Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin konstelasi di Timur Tengah akan berubah. Hangatnya hubungan Trump dan Putin juga akan membingungkan Turki dan Iran yang notabene menjadi sekutu Rusia untuk saat ini. Pada perang Suriah yang tak kunjung henti, koalisi AS-Israel-Arab Saudi membela oposisi. Sedangkan Rusia-Iran membela petahana yaitu Bashar Al Assad. Hal ini tentunya akan menjadi paradoks bagi Trump dan Putin.

Di saat Putin menggandeng Iran karena hubungan ekonomi terkait produksi nuklir. Putin menganggap dengan pasokan nuklir yang berlebih dari Iran maka Rusia akan kembali menjadi digdaya seperti Uni Soviet. Selain itu, satu-satunya pangkalan militer Rusia tersisa pada kawasan Timur Tengah berada di Suriah.

Namun, Trump memandang lain. Sejak dahulu, Iran dianggap ancaman bagi Amerika Serikat. Terlebih pasca disetujuinya kesepakatan nuklir antara Amerika Serikat dengan Iran era Obama. Trump menganggap nuklir Iran akan menjadi ancaman bagi dunia internasional. Selain itu, pasokan nuklir Iran menjadi tantangan nyata bagi sekutu Amerika Serikat yaitu Israel. Benjamin Netanyahu pula yang meminta agar Trump membatalkan kesepakatan nuklir tersebut.

Disinilah polemik yang akan berlangsung. Tentunya Trump dan Putin akan berupaya menyamakan visi dan misi supaya jalinan kepentingan baik dari segi politik maupun ekonomi dapat bertemu. Upaya yang dilakukan sejauh ini oleh mereka adalah sama-sama menyepakati bahwa ISIS adalah musuh nyata bagi dunia internasional. Jadi bagaimana kelanjutan hubungan Trump dan Putin? Menarik ditunggu.

Moddie Alvianto Wicaksono, Alumnus Sekolah Pascasarjana Kajian Timur Tengah UGM. Saat ini menjadi pegiat Gerakan Sadar Politik Internasional (GASPOLIAN) Yogyakarta.

Related Posts

1 of 500