Opini

Kemerdekaan Berlangsung, Gerakan Oposisi Melambung

NusantaraNews.co – Abad XXI menjadi abad baru peradaban kemanusiaan yang penuh dengan kompleksitas masalah dan tantangan. Sangatlah berat dan berliku untuk menyelesaikan semua persoalan. Struktur ekonomi-politik dunia (juga di Indonesia) semakin menghambat kemajuan peradaban yang esensial, sehingga butuh keyakinan lebih bagi mereka yang enggan berdamai dengan penindasan dan pantang menyerah pada kesewenangan. Cita indah kemanusiaan harus terus diperjuangkan tanpa kenal lelah dan menolak tunduk pada yang tak jujur.

Indonesia Merdeka

Penindasan dan penjajahan menjadi latar muram pemacu semangat perjuangan para pemuda dan rakyat sebelum 1945 untuk terus berlawan enyahkan kolonialisme Belanda dan Jepang dari bumi Nusantara. Plus niat tulus berjihad di kekuatan Islam, tekad hapuskan feodalisme-kapitalisme di kalangan sosialis, dan keinginan mendirikan nasion mandiri di kelompok nasionalis. Semua harapan itu terangkum dalam slogan indah “Merdeka atau Mati!”

Persatuan menjadi kebutuhan penting demi kebebasan, tidak direkayasa dan atau atas dasar keterpaksaan. Kegagalan berbagai aksi perlawanan lokalis dan sektarian dievaluasi kalangan pemuda radikal terdidik berstatus mahasiswa. Misalnya, RM. Tirto Adhi Soerjo (pendiri pers pribumi modern) dan lainnya dengan refleksi kritis pembaharuan bentuk, strategi taktik dan metode perjuangan. Dimulai berdirinya Serikat Priyayi, kemudian menjadi Serikat Islam dan Serikat Buruh Kereta Api (cikal bakal Masyumi, NU, PNI, PKI dan lain-lain) sebagai wadah persatuan dengan kelengkapan media komunikasi massa (baca: koran organisasi) dan program aksi ekonomi-politik-budaya, hingga lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 oleh Jong Islam, Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon dan lain sebagainya. Perbedaan ideologi atau latar belakang tidak menghambat semangat bersatu malah mendorong kekayaan pemikiran dan tindakan. Program perjuangan kemerdekaan menjadi titik tengah untuk meminimalisasi ego individu serta kelompok guna mengarahkan semua arus kekuatan dan dinamika revolusi ( _samen bundelling van alle krachten_, Bung Karno). Dalam perjuangan bersenjata, berbagai laskar rakyat dan pasukan mantan KNIL-PETA sukarela tundukkan diri pada kepemimpinan Panglima Besar Soedirman (cikal bakal TNI/ Polri) serta secara patriotik mendukung perjuangan politik dan diplomasi ofensif-defensif revolusi kemerdekaan.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Popularitas dwitunggal Soekarno-Hatta tidaklah elitis karena memiliki rekam jejak yang panjang: gigih menulis berbagai pemikiran cerdas, menjadi propagandis, agitator aktif di kalangan rakyat, diplomat cerdik dalam berbagai perundingan, hingga _tourne_ dari penjara ke penjara, seperti juga jalan hidup ribuan pejuang revolusi lainnya.

Di tataran arus bawah, rakyat bergotong royong di garis front pertempuran: menyiapkan logistik dan pengobatan, membangun jalur gerilya, menjadi spionase, hingga turut serta bergerilya. Sejarah mencatat pengorbanan tersebut dan pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan 56. Hari berikutnya memimpin sidang penetapan UUD 1945 sebagai pengejawantahan dan syarat negara berdaulat. NKRI berdiri!

Membangun Bangsa

Orde Lama berjalan dengan dinamika “politik sebagai panglima” di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta. Pembangunan menghasilkan karya monumental Monas, Gedung MPR/ DPR dan banyak lainnya, di tengah kelangkaan dan mahalnya harga kebutuhan pokok rakyat serta inflasi. Korupsi masih sedikit dan ‘di bawah meja.’ Berbagai momentum penting terjadi seperti agresi militer Belanda 1947 dan 1949, peristiwa Madiun 1948 (masih kontroversial karena berbagai sudut pandang), PRRI/ Permesta, DI/ TII, percobaan pembunuhan Bung Karno, dan lain sebagainya.

Setelah berlakunya UUDS 1950, dilangsungkan pemilu multipartai pertama pasca kemerdekaan pada 1955 yang dimenangkan PNI, Masyumi, NU dan PKI. Berbagai kabinet parlementer terbentuk, tapi tidak pernah mencapai kompromi dan efektif memerintah (oposisi parlementer belum efektif juga diterapkan) yang berakibat pada instabilitas tata kenegaraan dan perekonomian sebagai faktor penting Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dengan sistem pemerintahan presidensial. Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden pada 1956 dan Bung Karno tidak pernah didampingi seorang wakil presiden lagi hingga akhir kekuasaannya.

Berbagai intervensi asing dilancarkan untuk jatuhkan Bung Karno karena kekhawatiran negara besar (khususnya AS dan Inggris) dan kapitalisme internasional terhadap gagasan pembentukan Konferensi Asia Afrika, poros Peking-Moskow-Jakarta, dan juga kedekatan Bung Karno dengan kekuatan kiri radikal dan ide persatuan nasakom. Kekuasaan Bung Karno berakhir tragis di bawah tragedi 1965 dan pidato Nawaksara 1966.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

Orde Baru Soeharto berjalan 32 tahun. Bandul kebijakan dominan ke pembangunan ekonomi. Dinamika dan arus politik dikendalikan ketat via penyederhanaan parpol dan wadah tunggal sektoral sebagai ‘saluran aspirasi’ hingga pemberangusan oposisi, khususnya gerakan mahasiswa. Prestasi ekonomi terjadi tanpa akuntabilitas dan transparansi, dicapai di atas manipulasi dan korupsi, juga ketergantungan terhadap asing melalui hutang luar negeri dan program IMF-Bank Dunia-IGGI. Kekuasaan Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998 akibat gerakan massa ekstraparlementer dan krisis kapitalisme internasional.

Hiruk-pikuk reformasi. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) silih berganti memimpin NKRI. Demokratisasi dan pembangunan berjalan mulai dari pelaksanaan pemilu multipartai secara langsung, kebebasan berorganisasi dan berpendapat, penyelesaian damai konflik Aceh dan konflik SARA, pembentukan KPU, KPK dan lainnya, pembangunan infrastruktur hingga ke pedesaan, stabilisasi kurs rupiah dan inflasi, kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN, serta banyak hal positif lainnya.

Di sisi lain, korupsi semakin menggila dan terbuka, tetapi lamban dalam penyidikan dan peradilan (contoh nyata korupsi APBD Lampung Timur Rp119 miliar, di mana Polda Lampung telah menetapkan Bupati Satono sebagai tersangka sejak Februari 2009. -Telah inkracht MA 15 tahun dan DPO hingga sekarang, catatan terkini penulis-), 37 juta rakyat miskin berpenghasilan di bawah 2 dollar AS/ hari dan 11 juta jiwa pengangguran usia produktif (per 2007), penjualan aset strategis negara ke asing, pencabutan subsidi pertanian, akses kesehatan yang mahal, pendidikan yang tidak kreatif, ketidakpastian hukum dalam kasus Lapindo dan BLBI, eskalasi konflik lokal dan terorisme, serta sederet kekurangan lainnya.

Gerakan Oposisi

Gerakan reformasi 1998 telah gagal! Cita dasar kemerdekaan 1945 masihlah jauh dari perwujudan. Kegagalan utama terletak pada watak kompromistik antara kekuatan reformis dengan konservatisme Orba sehingga transisi demokrasi tidak berjalan sesuai harapan rakyat, hanya daur ulang sistem lama dibalut populisme elite baru peragu. Gerakan oposisi yang kental pada lima tahun awal reformasi mencair karena hampir semua elite baru (khususnya simpul gerakan reformasi 1998) terilusi konsesi kesejahteraan dan jabatan, berebut dengan elite lama untuk masuk dalam posisi pemerintahan. Rakyat semakin apatis dan dididik dengan money politics.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Pembangunan harus terus berjalan demi kemajuan negara dan kemakmuran rakyat, tapi di sisi lain harus dikontrol oleh kekuatan demokratik yang tersisa demi mencegah otoritarianisme. Konsepsi oposisi bukan hanya asal beda dan asal tuding rezim penguasa. Oposisi harus menjadi gerakan kritis konstruktif mewadahi semua kekuatan di luar kekuasaan dengan mekanisme koordinasi demokratis dipandu sebuah manifesto ekonomi-politik-budaya yang kreatif-solutif hasil refleksi situasi geopolitik dan kondisi masyarakat terkini. Gerakan oposisi dapat mengombinasikan taktik parlementer dan ekstraparlementer dengan pembagian kerja solid antara yang bergerak di dalam sistem kekuasaan (DPR, DPRD, dan lain-lain) dengan yang bergerak di strategi bawah pembelaan dan pengorganisasian rakyat, juga melibatkan peran media komunikasi massa dalam menyampaikan pandangan dan kritik terbuka kepada kekuasaan.

Tak boleh ada saling klaim keberhasilan dan kepemimpinan dalam gerakan oposisi tersebut, selain waspada terhadap upaya penggembosan dari politisi busuk dan kelompok-kelompok oportunis, belajar dari pengalaman gerakan 1998. Kepemimpinan oposisi harus konkrit dan nyata di tengah rakyat demi efektivitas dan kewibawaan oposisi, tidak hanya sekedar klaim dan pernyataan bohong di koran dan berbagai forum.

Program aksi, pendidikan dan bacaan yang masif dari skala nasional hingga tingkat terbawah harus menjadi komitmen tulus gerakan oposisi demokratik demi tercapainya harapan mulia cita kemerdekaan 1945 secara murni dan konsekuen. Juga guna memimpin dan mengarahkan eskalasi kemarahan rakyat yang resah dalam beberapa tahun ke depan.

Saatnya menyatukan semua kekuatan yang berserak untuk bergerak. Seharusnya kekuasaan diabdikan sepenuhnya untuk keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Sesungguhnya suara rakyat akan selalu menjadi perwujudan suara Tuhan.

Penulis: Ricky Tamba, Pegiat Jaringan ’98, Mantan Aktivis Mahasiswa Gerakan Reformasi 1998
Catatan dari Penulis: Tulisan ini diketik ulang dan disebarluaskan kembali guna penanda digital catatan sejarah bagi generasi muda demi Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan. Perlu pembaharuan data ekonomi-politik per 2/10/2017.

Related Posts

1 of 47