Kembali Kepada Kepentingan Nasional

Kembali Kepada Kepentingan Nasional/Foto: Jenderal Soedirman
Kembali Kepada Kepentingan Nasional/Foto: Jenderal Soedirman

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kembali kepada kepentingan nasional menjadi penting bagi kesinambungan pembangunan. Terutama bila mengingat terjadinya penyimpangan yang dahsyat di era reformasi. Bahkan lebih dahsyat dari ORBA, karena bukan saja menyimpangkan arah pembangunan ekonomi, tetapi juga memberangus ideologi Pancasila dan pengkerdilan NKRI – terutama dengan pelemahan peran TNI dalam pembangunan bangsa dan negara. Bukan itu saja, konstitusi sebagai dasar negara telah di sulap melalui amandemen sehingga UUD 1945 yang awalnya anti kapitalisme-liberalisme tiba-tiba menjadi pendukung neoliberalisme-kapitalisme terdepan.

Mulusnya “Paket Bali” WTO merupakan contoh konkrit dari peran Indonesia sebagai garda terdepan yang membuka pintu kemenangan kapitalisme-liberalisme global dalam gelombang globalisasi ketiga. Betapa tidak bila “Paket Bali” itu sebenarnya adalah metamorfosis “Putaran Doha” yang telah macet selama 12 tahun.

Kesepakatan WTO Paket Bali jelas merupakan kemenangan telak korporasi transnasional terhadap kebijakan perdagangan global yang tidak ingin diatur oleh negara bangsa. Dengan kata lain, negara hanya menjadi satpam yang menjaga kepentingan korporasi transnasional. Salah satu proyek global yang wajib dijalankan berdasarkan “Paket Bali”adalah pembangunan infrastuktur, mulai dari jalan, pelabuhan hingga bandara yang memakan biaya tinggi dan pasti utang – meski diperhalus dengan sebutan bantuan atau kerjasama.

Pembangunan infrastruktur kemudian dipertegas lagi dalam agenda KTT G-20 Saint Petersburg di Rusia. Infrastruktur global tampaknya menjadi prioritas proyek global untuk membentuk koridor jalur perdagangan tatanan dunia baru bagi kepentingan kelancaran produksi dan distribusi barang-barang mereka di seluruh dunia.

Jadi siapapun presidennya dalam dua dekade mendatang tampaknya tetap masih akan menjadi mandor proyek infrastruktur global yang wajib dijalankan atas nama pembangunan nasional. Masih Bangga!

Rezim perdagangan global sendiri untuk melakukan kontrol terhadap anggaran pembangunan itu agar tidak dikorup mulai mengambil langkah-langkah “otoriter” dengan menerapkan berbagai kebijakan langsung melalui Bank Sentral setiap nengara serta pemberlakuan Automatic Exchange of Information (AEoI) pada 2017. Di samping itu juga, dibentuklan beragam lembaga-lembaga anti korupsi global yang melibatkan negara.

Bahkan ada wacana setiap transaksi keuangan dengan nilai Rp 100–200 juta wajib lapor?

Baca:

Kembali ke konstitusi, bila kita menyimak pembukaan UUD 1945 jelas para Fouding Fathers menginginkan didirikannya republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum atau mensejahterakan rakyat serta melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Jenderal Soedirman pun mengatakan: “jaga rumah dan pekarangan kita”.

Pihak asing boleh masuk ke rumah kita, tapi harus mengikuti aturan kita. Jangan pula kita yang di atur oleh mereka. Nah, amandemen UUD 1945 tampaknya telah mengubah aturan itu, dimana pihak asing kini memiliki banyak pintu untuk masuk dan menguasai NKRI secara elegan. Persoalan kita sekarang adalah bukan sekedar kembali ke UUD 1945 – tapi adalah persoalan bagaimana kita menjaga kekayaan alam kita yang melimpah agar tidak dicuri orang lain.

Misalnya Freeport Indnesia yang telah mengeduk emas kita selama lebih dari 50 tahun dengan nilai keuntungan mungkin puluhan ribu trilyun, kini setengah sahamnya akan dibeli oleh pemerintah Indonesia dengan harga Rp 56 trilyun. Apakah masih menguntungkan? Apa tidak ada cara lain? Yang pasti uang rakyat terbuang lagi sebesar 56 trilyun.

Padahal dewasa ini, Indonesia sedang membutuhkan dana segar untuk melanjutkan kesinambungan pembangunan agar tidak menjadi negara gagal seperti pada globalisasi kedua. Bila Orde Baru tidak disabotase oleh Amerika Serikat (AS) melalui tangan IMF pada tahun 1998, mungkin ceritanya menjadi lain.

Reformasi telah meluluh lantakkan ekonomi Indonesia sehingga menjadi negara miskin pada globalisasi kedua. Persis ketika AS melalui tangan Soros menjual aset-aset Uni Soviet dengan harga obral ketika bubar sehingga Presiden Putin mesti bekerja keras merebut kembali aset-aset Uni Soviet dengan operasi senyap tanpa pencitraan.

Kepentingan nasional kini menjadi kata kunci dalam mengarungi globalisasi gelombang ketiga. Bukan saja pempimpin, rakyat pun kini harus mengerti apa itu kepentingan nasional. Sehingga bisa mengingatkan pemimpinnya bila mulai menyimpang dari tujuan kita bernegara.(as)

Exit mobile version