Kematian Johannes Marliem Dinilai Persis Hasil Kerja Gaya Mafia

Sidang e-ktp/foto ilustrasi/Nusantara.news

Kasus e-KTP/Foto: Ilustrasi/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Riuh rendah penangan kasus mega korupsi e-KTP (Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik) terus timbul tenggelam. Situasi terbaru yang sempat bikin heboh DPR dan publik ialah kabar kematian Johannews Marliem yang disebut-sebut sebagai saksi kunci skandal proyek e-KTP.

Tidak tanggung-tanggung, penegas kabar yang datang dari negeri Paman Sam (AS) itu ialah Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (Jubir KPK), Febri Diansyah. Kepada wartawan, Febri mengaku pihaknya telah menerima informasi soal meninggalnya Direktur Biomorf Lone LLC itu.

Kendati demikian, Febri menegaskan bahwa KPK akan terus menyeret sejumlah pihak lain yang diduga terlibat di kasus ini dengan tanpa adanya Johannes Marliem. “Tentu penyidik memiliki bukti yang kuat dalam menangani kasus ini, dan akan terus dilakukan penyelidikan,” tegas Febri.

Siapakan Sosok Johannes Marliem sebenarnya? Benarkah dia satu-satunya saksi kunci? NusantaraNews.co mengatahui bahwa nama Johannes Marliem cukup banyak disebut namanya, setidaknya dalam persidangan kasus korupsi e-KTP ia disebut sebagai saksi kunci disebut sampai 25 kali oleh jaksa KPK.

Menurut data yang ada, Johannes disebut sebagai penyedia produk automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 untuk proyek e-KTP. Johannes dinyatakan aktif dalam pertemuan ketika membahas proyek e-KTP sejak awal. Johannes bahkan mengklaim memiliki rekaman selama empat tahun pertemuan membahas proyek pengadaan e-KTP tersebut.

Johannes Marliem pada 2011 menyerahkan US$ 20 ribu kepada Sugiharto melalui seorang pegawai Kementerian Dalam Negeri untuk biaya menyewa pengacara Hotma Sitompoel, lalu pada pada Maret 2012, Johannes Marliem menyaksikan Andi Agustinus menyerahkan US$ 200 ribu kepada Diah Anggraini. Kemudian Ia meninggalkan Indonesia begitu proyek ini ditenggarai ada masalah dan berujung pada terbongkarnya kasus korupsi e-KTP oleh KPK. Sejak itu, ia tinggal di Singapura dan Amerika Serikat.

Sontak, mendengar kabar kematian Johannes Marliem, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta KPK untuk menyetop kasus e-KTP. Alasannya, karena yang disebut sebagai saksi kunci oleh KPK posisinya diduga telah meninggal dunia. Ungkapan Fahri merujuk pada pernyataan KPK yang lebih awal, bahwa KPK tidak bisa bergerak lebih jika tidak memiliki saksi kunci.

Paradoks pengakuan dari KPK cukup mengejutkan. Karena hal itu bisa membuat publik berpikir lain tentang kasus e-KTP. Bahkan, bukan tidak mungkin jika publik bisa kurang terhadap KPK, lantaran kurang konsisten berpegang pada sikap dan pernyataan yang disuguhkan ke publik.

Masih soal Johannes Marliem, ada yang menarik dari pernyataan Wakil Bendahara Yayasan Barisan Patriot Bela Negara di bawah naungan Kementerian Pertahanan, Redi Nusantara. Di tengah gonjang-ganjing pekabar yang belum jelas kepastiannya, Redi bercerita perihal mega skandal seperti yang terjadi pada kasus e-KTP ini.

“Seorang lawyer pernah berkata kepada saya bahwa setiap kasus korupsi besar yang sudah masuk mega scandal, itu pasti berhubungan dengan sindikat tanpa ujud ( invisible). Contoh, kasus century , Hambalang, e-KTP,” tutur Redi saat dikonfirmasi redaksi NusantaraNews.co, Rabu, 16 Agustus 2017.

Redi menyatakan, mengapa di sebut dengan sindikat? Karena tindak korupsi itu direncanakan dengan baik, dari sejak menentukan target yang akan di korup, membentuk Invisible Team, sampai menentukan siapa yang akan di korbankan,  bagaimana distribusi hasil korupsi dan bagaimana menyembunyikan. “Semua itu diorganisir dengan cara hebat dan teliti. Kalau sampai kasus terbongkar, maka uang negara yang bisa diselematkan sangat  tidak ada artinya dibandingkan dengan yang hilang ditelan hantu,” terangnya.

Kalau sampai ada yang masuk penjara, kata dia, maka itu bukanlah aktor intelektual tapi orang yang sudah di desain dari awal untuk di jebak. Biasanya yang bisa dan mudah dijebak itu adalah karena dia lugu dan niat baik.

“Dan ketika akhirnya menjadi skandal korupsi dia dengan cepat bicara dengan aparat hukum dan tanpa berbuat banyak ketika jadi tersangka. Bagi mereka yang dijebak namun tetap bisa lolos dari kejaran aparat dan berusaha ingin membongkar jaringan sindikat maka biasanya berakhir dengan kematian,” ungkap Redi.

Ia mencontohkan seperti dalam kasus Century Gate, Sity Chalimah Fadjriah meninggal karena stroke di saat kehadirannya sangat diperlukan sebagai saksi kunci pengucuran  dana ke bank century. Ketika itu jabatannya sebagai deputi BI Bidang pengawasan  Bank Umum dan Bank Syariah. Dalam kasus Hambalang, ada empat orang saksi kunci yang meninggal saat proses penyidikan yaitu, Muchayat (Deputi Meneg BUMN). Asep Wibowo (Direktur operasional PT. Methapora), Ikuten Sinulingga (Direktur operasi Wika) yang tewas jatuh dari jembatan penyeberangan di cawang dan Arif Gunawan. Dan terakhir kasus EKTP, Johannes Marliem yang meninggal bunuh diri (?) di AS.

“Saksi atau tersangka meninggal disaat keberadaan mereka sangat diperlukan untuk mengungkapkan mega skandal. Mengapa mereka meninggal? Tidak bisa dibuktikan secara hukum itu adalah pembunuhan dan lagi tidak ada investigasi soal kematian itu. Jadi benar-benar gaya kerjanya sudah seperti Mafia, destroy and Clean up. Mafia itu cerdas. Mereka tidak mengenal ancam atau cederai target. Dingin tanpa suara dan gerak namun targetnya dihabisi tanpa terlacak. Benar benar profesional. Mengapa mereka untoucable? Mereka para kriminal yang bertahan hidup dari aparat hukum yang korup.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version