Cerpen Ruly R
NusantaraNews.co – Hujan yang turun setelah musim kemarau yang panjang tentu menjadi berkah bagi kebanyakan orang, hal itu tak perlu disangsikan lagi. Tapi hujan yang menjadi tanda bahwa musim kemarau setidaknya telah terjeda menjadi hal lain bagi Rusli. Hujan pertama setelah langit lama tak menurunkan air selalu membuat ingatannya kembali pada peristiwa yang telah lama berlalu namun selalu membekas dalam ingatannya, pada sebuah janji yang akan sulit ditepatinya.
***
Tidak seperti kebanyakan orang yang pergi ke Mal Ratu untuk menghabiskan hari liburnya dengan jalan-jalan bersama keluarga atau pacar atau juga membeli pakaian di sana. Rusli pergi ke tempat itu karena secara tak sengaja dia melihat iklan di salah satu koran pagi bahwa akan ada pameran buku di tempat tersebut. Kebetulan juga itu adalah hari Minggu, hari dimana Rusli libur dari aktivitas kerjanya.
Pagi, saat Rusli mencuci sepeda motornya cuaca cerah. Matahari perlahan-lahan meninggi, putih awan nimbrung di antara hamparan biru yang luas. Hingga siang cuaca masih cerah bahkan terik seakan membakar kulit kepala, begitulah yang mungkin dirasakan Rusli. Tak ada tanda bahwa hari itu hujan akan turun.
***
Waktu cepat berlalu bagi Rusli yang sudah asyik di dalam Mal Ratu, mengunjungi stand buku satu ke stand buku lainnya. Sekitar dua jam dia ngubek-ubek semua stand buku di bazar itu. Dua novel dan satu buku kumpulan cerpen dibelinya. Ketika hendak keluar dari Mal Ratu dilihatnya lewat pintu masuk Mal yang terbuat dari kaca, di luar, hujan turun dengan lebat. Rusli langsung ingat bahwa dia tak membawa jas hujan karena saat dia tadi berangkat tak ada tanda bahwa hari ini akan hujan.
Wajah Rusli seketika bimbang, antara tetap nekat bergumul dengan hujan untuk sampai rumah atau menunggu hujan reda. Sempat terbesit dalam pikirnya, ia ingin menerobos hujan lebat yang ada di luar Mal Ratu, tapi niat itu dia urungkan. Rusli khawatir bukan dengan kesehatannya melainkan jika dia nekat untuk menerobos lebatnya hujan, dia pikir bukunya akan basah ketika dia sampai rumah.
Dengan wajah yang terlihat terpaksa Rusli duduk di kursi panjang yang ada di lobi Mal Ratu. Dia tidak sendiri di sana, laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orang dewasa duduk di kursi panjang itu. Mungkin mengharap satu hal yang sama dengan Rusli, bahwa hujan akan segera berhenti dan mereka semua bisa segera pulang. Itu adalah harapan awal dari Rusli, tapi semua harapannya berubah ketika matanya lekat dengan seseorang yang ada di dalam ruangan sebrang tempatnya duduk. Kafe Giyatri, begitulah stiker tulisan yang menempel di pintu kaca tempat itu. Seorang perempuan berkulit putih, mengenakan pakaian berwarna hijau. Tangan kiri perempuan itu membawa sebuah nampan kecil, dua gelas ada di atas nampan itu, tangan kanannya begitu cekatan menurunkan gelas dari nampan dan menghaturkannya pada orang-orang yang duduk di kafe itu. Mata Rusli lekat memandang perempuan itu. Sesekali perempuan itu juga mengarahkan pandang pada Rusli. Saat mata perempuan itu bertemu dengan matanya, “Rasanya aku kenal dengan mata pelayan kafe itu,” gumam Rusli.
Rasa ketika melihat mata itu memang seperti pada umumnya laki-laki yang seakan kenal dengan mata perempuan yang dilihatnya. Tapi sorot mata perempuan itu berbeda bagi Rusli. Mata itu menarik Rusli pada hal yang telah lama berlalu dan coba dilupakannya.
Seperti yang kebanyakan orang katakan, menunggu adalah hal yang paling membosankan. Tapi berbeda untuk Rusli, untuk kesempatan kali ini, menunggu menjadi hal yang membuat ingatan Rusli kembali pada kenangan masa lalu.
Di tengah keasyikannya menunggu, perut Rusli mengeluarkan gelegar, tanda panggilan supaya Rusli segera mengisinya. Rusli menimbang, apakah dia harus mengisi perutnya di Kafe Gayatri tempat perempuan itu berada atau di tempat lain di dalam Mall Ratu?. Akhirnya, Rusli memutuskan untuk pergi ke lantai tiga mall itu, area foodcourt. Entah kenapa Rusli merasa ringkuh jika harus masuk Kafe Gayatri.
Rusli menandaskan makanan yang dia pesan dalam sekejap, seakan berburu dengan waktu. Bayangan tentang perempuan di Kafe Gayatri tetap saja menerobos masuk dalam ingatan Rusli saat dia telah selesai makan dan sekarang menghisap kreteknya di foodcourt. Tak seperti menandaskan makananannya, kali ini Rusli menikmati kreteknya cukup lama. Dia putuskan untuk turun ke lantai satu. Mata Rusli langsung melihat tempat di sebrang posisinya duduk tadi dan tak dia duga ternyata kafe Gayatri sudah tutup.
“Jam berapa ini pak?” tanya Rusli pada security Mal Ratu yang kebetulan berdiri di dekat tempat itu.
“Jam sembilan Mas.”
Tanpa pikir panjang Rusli langsung bergegas keluar dari Mal Ratu dan menuju tempat parkir. Rintik air sisa deras yang turun dari langit beriring suara perempuan yang memberi pengumuman bahwa Mal Ratu akan segera tutup seakan menjadi lambaian tangan dan ucapan hati-hati yang diberikan Mal Ratu kepada Rusli.
Tak jauh dari Mal Ratu, tepatnya di sebuah halte bus kota seorang perempuan sibuk memainkan ponselnya, wajahnya seakan cemas, menunggu kedatangan seseorang yang coba dihubungi lewat ponselnya. Perempuan itulah pelayan kafe Gayatri yang tadi dilihat Rusli. Rusli bimbang setelah dia melintas di depan halte, apakah dia harus putar balik untuk menemui perempuan itu atau besok saja kembali ke Mall Ratu untuk menemuinya. Rusli memutuskan untuk tetap mengulir gas sepeda motornya menuju rumah. Tapi sampai rumah ada gelisah yang terus menyelimut dalam batin Rusli. Dia bawa hal itu meski matanya sudah tak bisa lagi untuk diajak kompromi untuk tetap terjaga. Dalam batin Rusli hanya satu bahwa dia ingin malam segera berganti siang agar bisa segera menemui perempuan itu.
***
Hari sudah berganti. Rusli bersiap ke kantor. Dia berpikir akan menemui perempuan Kafe Gayatri nanti di sela jam kerjanya lebih tepatnya saat istirahat. Begitu sampai di kantor, satu pekerjaan selesai, disusul pekerjaan-pekerjaan lain. Sebisa mungkin Rusli ingin pekerjaannya selesai dan sudah tak sabar menunggu jam istirahat. Begitu saat istirahat tiba, tanpa pikir panjang Rusli langsung menuju Mal Ratu, lebih tepatnya menuju Kafe Gayatri.
Senyum ramah pelayan kafe menyambut Rusli begitu tangannya mendorong perlahan pintu masuk kafe itu. Rusli ingin segera menemui perempuan yang membuat hatinya gusar.
“Apa di sini ada perempuan bernama Lastri?” tanya Rusli pada pelayan yang tadi menyambutnya dengan senyum.
Perempaun itu hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Saya kurang tahu. Ini hari pertama saya kerja di sini. Saya panggilkan manager saja, Mas. Silakan duduk dulu.”
Seorang lelaki bertubuh gempal dengan kumis yang tebal berjalan menghampiri tempat duduk Rusli. Dia langsung menjabat tangan Rusli.
“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanya laki-laki yang tak manager tempat itu dengan suara lembut.
“Apa di sini ada pegawai yang bernama Lastri?” Tanpa basa-basi Rusli langsung menanyakan perihal perempuan itu.
Pak manager hanya diam, kepalanya sedikit didongakan ke kiri, mencoba mengingat nama itu.
“Sulastri,” ucap Rusli menegas agar manager segera ingat pada perempuan yang dimaksud Rusli.
“Oh. Astri,” sahur manager begitu mendengar Rusli menyebut nama lengkap yang dicarinya.
“Ya. Ya. Bisa saya bertemu dengannya, Pak?”
“Maaf, Mas. Dia sudah tidak kerja di sini. Kemarin malam dia resign. Sebenarnya sudah lama dia mengatakan ingin keluar dari kafe ini. tapi saya coba menahannya karena dia karyawan yang rajin dan bertanggung jawab terhadap tugasnya.”
“Kemana dia pergi, Pak?”
“Kalau itu saya kurang tahu. Dia kemarin cuma mengatakan bahwa utangnya telah lunas. Tapi saya tidak tahu apa yang dimaksud utang itu. Astri berkali-kali juga menagatakan dia mau bertahan di sini karena utang itu.”
“Bapak tahu rumah Latsri di mana?”
“Kurang tahu. Meski Astri sudah lama kerja di sini tapi dia jarang cerita soal tempat tinggalnya, dia hanya mengatakan bahwa saya harus percaya padanya karena dia orang baik dan mau kerja keras.”
“Apa dia sudah punya suami?” sergah Rusli sedikit mengagetkan manager itu.
“Sepertinya sudah.”
Petir seakan menyambar batin Rusli ketika dia mendengar kata-kata manager itu. Rusli asyik dalam lamunannya, mencoba menerka di mana sekarang Lastri.
“Mas. Mas.” Si Manager menggoyangkan tangan Rusli.
“Ya Pak. Ya.” Rusli tergagap.
“Apa Mas kenal dengan Astri?”
Rusli hanya diam. Mulutnya terkunci, dia tak berani menjawab pertanyaan itu.
“Jika Mas kenal dengannya. Bisa saya minta tolong untuk memberikan ini padanya? Mungkin kemarin secara tidak sengaja ini jatuh.”
Rusli kembali diam. Berkali-kali dia usap wajahnya. Matanya sedikit menahan panas agar air tidak keluar dari tempat itu. Sebuah anting yang diperlihatkan oleh manager Kafe Gayatri membuat batin Rusli semakin bertanya, Kemana lagi aku harus mencari Lastri?
*Ruly Riantiarno, Tergabung dan aktif di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4). Menyukai puisi dan cerpen. Bisa dihubungi lewat twitter account @ruly18_dan riantiarnoruly@gmail.com.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.