Khazanah

Kemal Atatürk, Antara Obsesi dan Gagap Budaya

NUSANTARANEWS.CO – Kisah tokoh Hanafi dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang menginginkan semua harus serba Belanda (western), serupa dengan corak berpikir sosok pembaharu Turki, Mustafa Kemal Atatürk.

Hal menarik antara Hanafi dan Kemal, keduanya sama-sama tergila-gila dengan budaya Barat serta merasa inferior mengakui budaya sendiri. Ini nampak dengan usaha pertama yang dilakukan Kemal saat memimpin, yakni westernisasi Turki (Harun Nasution, 1982).

Politik Mustafa Kemal Atatürk cenderung ingin memutuskan hubungan Turki dengan sejarahnya masa lalu, agar Turki dapat masuk dan diterima sebagai peradaban Barat. Penghapusan sistem kasultanan (kekaisaran) merupakan langkah pertama yang ia tempuh.

Terbukti, 1 November 1922 Dewan Agung Nasional pimpinan Mustafa Kemal menghapus secara tgotal semua warisan pemerintahan leluhurnya. Pada 13 Oktober 1923, ia memindahkan pusat pemerintahan dari Istanbul ke Ankara.

Kemudian, tanggal 29 Oktober 1923, dirinya memproklamasikan terbentuknya negara Republik Turki dan mengangkat dirinya (Mustafa Kemal Atatürk) sebagai Presiden Republik Turki (Ade Solihat: 2005).

Tak hanya disitu, Mustafa Kemal kemudian menutup sekolah-sekolah madrasah yang sudah ada sejak tahun 1300-an. Perombakan di bidang agama merupakan tindakan ekstrim dari rezim Kemalis. Bahkan tarbus, sebuah penutup kepala tradisional Turki dilarang. Pemerintah hanya memperbolehkan warganya mengenakan topi-topi ala masyarakat Barat kala itu.

Tahun 1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengganti pengucapan azan ke dalam bahasa Turki. Bagi Mustafa Kemal, peradaban adalah Barat. Tema utama dari pandangannya mengenai westernisasi adalah Turki harus menjadi bangsa Barat dalam segala tingkah lakunya.

Tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin, berdasarkan undang-undang yang diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada 3 Novemeber 1928.

Praksis, Mustafa Kemal tampak seperti tengah mengalami kegagapan budaya. Ia menganggap rendah peradaban yang tumbuh dan berjalan selama ini di Turki. Mustafa Kemal putra pribumi yang lahir dan besar di Turki, menjelma menjadi ‘anak durhaka’.

Sekalipun pada perkembangan masyarakat di Turki kemudian menemukan karakter sendiri yang unik sebagai suatu bentuk pertentangan yang rumit antara pemikiran Kemalisme, yang fundamental dan radikal.

Menurut Ade Solihat (2005), masyarakat Turki hingga kini masih terpecah dalam penilaian terhadap Mustafa Kemal. Ia dihormati sebagai penyelamat bangsa sekaligus pendiri negara modern Turki, dan dikecam sebagai pengkhianat yang bertanggung jawab atas hilangnya warisan agung peradaban Turki.

Pewarta/Editor: Romandhon

Related Posts

No Content Available