Budaya / SeniEsaiKhazanahKreativitas

Kelitkelindan Konvensi dan Inovasi Puisi

Esai SastraIndra Tjahyadi

NusantaraNews.co – Puisi, seperti juga karya sastra pada umumnya, bergayut di antara konvensi dan inovasi. Itu berarti bahwa inovasi yang terdapat dalam puisi masih memiliki jejak-jejak konvensi di dalamnya. Faktor jejak konvensi yang termuat di dalam puisi membuat puisi seaneh atau seinovatif apa pun pasti masih akan dapat dibaca atau dipahami “masyarakatnya”.

Konvensi merupakan kesepakatan yang diproduksi oleh “masyarakat”. Konvensi memuat kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau sistem yang disepakati oleh “masyarakat”. Kesepakatan tersebut dapat dipahami sebagai norma yang dianut dan ditaati oleh masyakat yang menyepakatinya. Berdasarkan pemahaman ini, maka seberapa pun inovatifnya sebuah puisi, pasti, masih dapat dibaca atau dipahami oleh “masyarakat”-nya.

Hal itu seperti juga yang tampak pada puisi-puisi karya Sofyan RH Zaid yang termuat dalam buku Pagar Kenabian (2017). Dalam buku tersebut, puisi-puisi Zaid hadir dengan tipografi unik. Dalam buku tersebut, dimensi visual puisi-puisi Zaid dihadirkan oleh penyairnya tidak dalam tipografi yang konvensional. Sebagaimana yang tampak pada puisi berjudul Nabi Kangen (Zaid, 3: 2017) berikut:

 

 

bila kau lelah dan rindu # baca sajakku di atas batu
apa yang pernah tertunda # hari ini menjadi sabda

1/
aku berlindung dari hujan # juga panas bumi penghabisan
serasa dalam dekap surga # tenang terjaga jiwa semesta
senantiasa bersulang wahyu # merenangi sungai susu
kau dan aku; kitab suci # tak pernah usai dibaca matahari

2/
yang terlihat sebagai kau # aku simpan jadi pukau
majas menyembunyikan makna # dalam ungkapan rahasia
cukuplah Hallaj dan Jenar # walau keduanya adalah benar
kau dan aku; kesunyian # bermukim di lembah kebijaksanaan

Puisi tersebut hadir dengan dimensi visual yang tidak konvensional. Dalam tradisi puisi, entah modern atau lama, dimensi visual puisi, umumnya, hadir dengan wujud rata kiri, dan tidak diberi tanda baca tanda pagar (#) sebagai batas pembeda antarlarik dalam sebuah stanza. Dalam konvensi puisi, pembeda antara larik dibatasi dengan posisi larik yang berbeda, dan bukan dengan tanda baca tanda pagar (#). Ini berbeda dengan puisi karya Zaod tersebut.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Dalam Mukadimah untuk buku puisi Pagar Kenabian, Zaid (2017: v-ix) menyatakan bahwa puisi-puisi yang termuat di buku tersebut terinspirasi oleh puisi nadhaman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “nazam” (atau yang dalam ujaran Zaid disebut “nadham”) berarti “puisi yang berasal dari Parsi, terdiri atas dua belas larik, berima dua-dua atau empat-empat, isinya perihal hamba sahaya istana yang setia dan budiman”. Berdasarkan pengartian kata tersebut dapat disimpulkan bahwa (1) puisi nazam merupakan puisi yang berasal dari tradisi atau konvensi “masyarakat puisi” Islam, (2) bertema penghambaan yang ikhlas terhadap junjungan, dan (3) berlarik teratur (2-2 atau 4-4) dalam setiap stanzanya.

Jejak konvensi tradisi “masyarakat puisi” Islam dalam puisi-puisi Zaid yang termuat dalam buku tersebut tampak tidak saja pada pengakuan Zaid yang termuat dalam Mukadimah buku tersebut, namun juga tampak pada diksi-diksi yang dipilih oleh Zaid. Itu seperti tampak pada puisi Halaqah Pulosirih Zaid (2017: 13) berikut:

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

sementara Rabi’ah menunggu # dalam kamar waktu
pintu terbuka lebar # ular purba menjalar
Adam menium seruling # Hawa menutup kuping
membusuk buah khuldi # membentang jagat diri
perlahan kabut turun # malam semakin larut

Diksi halaqah yang digunakan sebagai judul puisi tersebut merupakan diksi yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia diksi tersebut ditulis dan diujarkan “halakah”. Dalam bahasa Indonesia diksi tersebut berarti “cara belajar atau mengajar dengan duduk di atas tikar dengan posisi melingkar atau berjejer, atau sarasehan”. Zaid tidak menggunakan diksi halaqah dalam konteks konvensi bahasa Indonesia, namun dalam konteks tata bahasa Arab yang dilatinkan. Itu tampak pada pemilihan penulisan “halaqah”, dan bukan “halakah” sebagaimana yang terdapat dalam KBBI.

Hal tersebut tentunya memiliki tujuan. Tujuan tersebut dimungkinkan dalam puisi. Itu disebabkan oleh keberadaan pemahaman dalam konvensi puisi bahwa puisi tidak pernah lahir dari kekosongan wacana, selalu ada wacana yang melatari terciptanya sebuah puisi. Dalam konteks Pagar Kenabian, tujuan dihadirkannya diksi-diksi bahasa Arab dalam puisi-puisi yang termuat dalam buku tersebut adalah untuk memperlihatkan akar puisi-puisi tersebut.

Namun, itu tidak berarti puisi-puisi tersebut tidak menawarkan inovasi. Adapun inivasi yang dihadirkan oleh puisi-puisi Zaid dalam Pagar Kenabian tampak tidak saja pada penggunaan tanda baca tanda pagar (#), namun juga pada jumlah larik. Nazam merupakan puisi yang setiap stanza berisi 2 atau 4 larik. Namun dalam buku tersebut konvensi puisi bergenre nazam sedikit diberi sentuhan pembaruan, yakni dengan ketidaktaatan pada aturan dimensi visual nazam.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Puisi-puisi nazam Zaid hadir dalam dimensi visual yang lebih bebas. Itu sebagaimana tampak pada puisi Sederhana (Zaid, 2017: 27) berikut:

inginku sangat sederhana # padaku kau cinta
padamu aku juga # kita hidup bersama
selamanya dalam satu rumah # sampai lupa cara berpisah

Dimensi visual puisi tersebut tampak tidak mengikuti konvensi puisi nazam, namun tema puisi tersebut masih mengikuti konvensi tematik nazam, yakni penyerahan yang ikhlas terhadap sesuatu yang dimuliakan. Pada puisi tersebut tampak bahwa subjek lirik adalah seseorang yang bersifat rendah hati (“inginku sangat sederhana # padaku kau cinta”), dan tidak memiliki pamrih ketika bersetia terhadap yang dia muliakan (“padamu aku juga # kita hidup bersama selamanya dalam satu rumah # sampai lupa cara berpisah”).

Puisi tidak mungkin hadir tanpa inovasi. Inovasi membuat puisi tetap berada pada wilayah yang dinamis, yang relevan dengan zaman dan masyarakat puisi tersebut diciptakan. Namun, seinovatif apa pun sebuah puisi, pasti masih memiliki jejak-jejak konvensi “masyarakat” tempat puisi tersebut diciptakan. Maka, seinovatif apa pun puisi, pasti masih dapat dibaca atau dinikmati oleh “masyarakat”-nya. Oleh karena itu, membaca sebuah puisi sama saja dengan membaca kelitkelindan konvensi dan inovasi yang terjadi dalam masyarakat puisi.

Penulis adalah Dosen Filsafat Seni Jurusan Seni Teater STKW Surabaya.

Related Posts