EkonomiTerbaru

Kekayaan 4 Orang Indonesia Setara Dengan 100 Juta Penduduk

NUSANTARANEWS.CO – Kondisi Indonesia sepanjang tahun 2016 berhadapan dengan situasi ketimpangan ekonomi, keuangan dan ketimpangan pendapatan yang meningkat. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik Indonesia yang terfokus pada upaya-upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada pengembangan mega proyek infrastruktur. Garis kebijakan pemerintah telah memicu konsentrasi sumber sumber ekonomi tanah, keuangan dan pendapatan pada sekelompok kecil orang.

Bahkan, ketimpangan pendapatan dan kekayaan berlangsung secara cepat. Baru-baru ini Oxfam International merilis ketimpangan kekayaan di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia. Kekayaan 4 orang Indonesia setara dengan 100 juta penduduk. “Ini adalah sebuah kondisi yang sangat ekstrem tidak hanya akan memiliki implikasi ekonomi akan tetapi juga politik dan keamanan,” kata pengamat AEPI Salamuddin Daeng seperti dikutip dari rilis yang diterima redaksi, Rabu (14/3/2017).

Menurutnya, ketimpangan ekstrem ini tidak pernah terjadi pada era sebelumnya. “Masih ingat strategi Orde Baru dalam mengatasi Ketimpangan? Trickle down effect, strategi yang menuai kecaman dari banyak orang karena dianggap sebagai penghinaan terhadap kemanusiaan. Bagaimana mungkin ratusan juta rakyat hanya mendapatkan tetesan dari kemakmuran?” imbuhnya.

Namun, sejak era reformasi yang konon katanya adalah antitesa terhadap kebijakan pemerintahan Soeharto, ternyata ketimpangan ekonomi semakin menjadi-jadi. Bahkan tetesan ke bawah pun tertutup. Sebagian besar kekayaan negara seperti tanah, keuangan dan pendapatan mengalir ke atas, terkonsentrasi di atas dan mengalir ke atas. “Kemana? Yakni ke tangan asing dan segelintir taipan dan terus berputar di lingkungan mereka sendiri,” cetusnya.

Penguasaan Tanah

Tanah merupakan unsur paling penting dalam ekonomi. Tanah merupakan faktor produksi utama. Lebih jauh lagi tanah merupakan unsur utama bagi eksistensi suatu bangsa. Tanpa tanah maka bangsa itu tidak ada. Tanpa tanah maka masyarakatnya akan lenyap dengan sendirinya.

Dalam filosofi Jawa dikatakan sedumuk batuk senyari bumi yang artinya sejengkal tanah dipertahankan sampai mati. Karena tanah adalah eksistensi dan kehormatan. Sehingga tanah tidak boleh direnggut dari rakyat. Sehingga tanah harus dijamin ketersediaan oleh negara bagi seluruh rakyat.

Apa yang terjadi dalam era reformasi? Tanah berada dalam penguasaan minoritas. Tanah secara perlahan lahan jatuh dalam genggaman minoritas asing dan segelintir taipan. Tanah berpindah dari negara ke tangan segelintir orang melalui pemberian berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dengan UU negara.

Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasah atas tanah oleh asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektare. Seluas 140 juta hektare merupakan wilayah daratan atau sekitar 72 % dari luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan dalam berbagai bentuk hak penguasaan tanah.

Baca Juga:  Pemerintah Desa Pragaan Daya Salurkan BLT DD Tahap Pertama untuk Tanggulangi Kemiskinan

Pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektare sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 % dari total KKS atau sekitar 57 juta hektare. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektare. Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektare, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektare.

“Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektare menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektare versi panglima TNI sebagaimana di sebut di majalah Forum Keadilan. Selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas,” jelas Salamuddin.

Menurutnya, ketimpangan dalam penguasaan tanah inilah yang seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat melawan pengusaha dan pemerintah. Selain itu, hak penguasaan lahan yang sangat luas oleh asing dan taipan telah menimbulkan over-lapping/tumpang tindih, sehingga kasus beberapa kabupaten kota di Indonesia menunjukkan luas ijin untuk berbagai kegiatan investasi telah melebihi luas wilayahnya.

Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektare yang terbagi  dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0.5 hektare. Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata-rata 0.17 juta hektare per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut.

“Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa salam 95 tahun,” jelas dia.

Minoritas Penguasa Keuangan

Gambaran tentang ketimpangan dalam keuangan tergambar dari simpanan orang di bank dalam bentuk rupiah.  Data otoritas Jasa Keuangan menyebutkan dana masyarakat yang disimpan dalam rupiah di bank umum, dan BPR mencapai Rp3,770 triliun dengan jumlah rekening keseluruhan sebanyak 186.168.335 rekening.

Ketimpangan dalam keuangan jumlah rekening bank di Indonesia yang memiliki dana di atas Rp2 miliar sebanyak 226.948 rekening, nilai simpanan Rp2.609 triliun.  sementara jumlah rekening di bawah Rp2 miliar rupiah sebanyak 185.936.387 rekening dengan nilai tabungan sebesar Rp1.161 triliun (September 2016).

Artinya kurang dari 1% pemilik rekening bank menguasai 66% tabungan di bank atau sebanyak lebih dari 99% lebih pemilik rekening hanya menguasai 34% tabungan di bank. Sementara rata rata nilai tabungan kurang dari 1% pemilik rekening yang menguasai 66 % tabungan di bank adalah senilai Rp11,4 miliar setiap rekening. Sedangkan rata rata nilai tabungan 99% pemilik rekening yang menguasai 34% tabungan di bank adalah senilai Rp7,3 juta setiap rekening.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Data di atas menggambarkan adanya ketimpangan yang sangat besar dalam struktur penguasaan tabungan dalam bentuk rupiah di Bank. Kurang dari 1% penduduk Indonesia menguasai hampir 2/3 kekayaan keuangan nasional. Sedangkan  99% penduduk hanya menguasai sisanya. Sementara, dari jumlah jumlah penduduk sekitar 60 juta orang yang tercatat memiliki rekening di bank atau hanya seperempat dari jumlah penduduk Indonesia. Mereka yang tidak pounya rekening patut diduga tidak memiliki kemampuan keuangan sama sekali untuk dapat berhubungan dengan sektor perbankan.

“Ini belum termasuk tabungan atau simpanan dalam mata uang asing (valas) yang notabene dimiliki oleh glongan atas seperti asing dan taipan dan simpanan dalam instrument surat berharga lainnya sepertu surat utang negara yang sudah pasti dimiliki oleh pemodal besar,” imbuhnya.

Sementara alokasi kredit perbankkan dalam bentuk rupiah dan valuta asing juga memperlihatkan struktur ketimpangan yang sangat dalam. Dari total kredit dalam bentuk rupiah dan valas yang dialokasikan oleh sektor perbankkan senilai Rp4.224 triliun, sebanyak 81,58% dialokasikan bagi kegiatan usaha skala besar. Hanya senilai Rp781,90 triliun yang dialokasikan bagi usaha kecil menengah atau hanya 18,42% dari total kredit. Padahal usaha kecil menengah inilah yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi perekonomian negara.

“Usaha-usaha besar hanya terkonsentrasi pada segelintir pihak asing dan para taipan. Kelompok usaha besar ini sangat haus pada pinjaman dan seringkali pinjaman mereka tidak didasarkan pada stusi kelayakan yang baik. Akibatnya, sangat rentan pada pengaruh krisis. Pada saat krisis terjadi beban utang mereka dipindahkan kepada kepada negara dan menjadi tanggung jawab seluruh rakyat,” terang Salamuddin.

Kesenjangan Pendapatan

Ketimpangan dalam penguasaan tanah dan distribusi keuangan pada ujungnya akan bermuara terhadap ketimpangan di dalam pendapatan. Ketimpangan pendapatan ini secara kasat mata terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari hari.

Secara garis besar dapat ditunjukkan oleh keadaan yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun terus mengalami pertumbuhan, namun pada saat yang sama jumlah orang miskin terus mengalami peningkatan yang seringkali disebut dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas, semakin kurang berkualitas dibandingkan dengan era sebelum reformasi.

“Sepanjang Orde Baru berkuasa Ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini koenfisien hanya 0,31 (Koefisien Gini tahun 1999) artinya 31 persen kekayaan nasional hanya dikuasai 1 persen orang. Angka ketimpangan seringkali digunakan sebagai bahan argumentasi untuk mengkritik kebijakan pemerintahn Soeharto yang dipandang berpihak pada modal besar,” papar dia lagi.

Namun yang terjadi dalam era reformasi, kata dia, ternyata jauh lebih buruk lagi. Sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.41 pada tahun 2005. Daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS.

Baca Juga:  Bukan Emil Dardak, Sarmuji Beber Kader Internal Layak Digandeng Khofifah di Pilgub

Bahkan ketimpangan dalam distribusi kekayaan jauh lebih besar. Beberapa survey independen menyebutkan ketimpangan kekayaan ini mencapai 0.70, artinya 70 persen kekayaan nasional dikuasai oleh 1 persen orang. Kondisi ini merupakan angka ketimpangan yang bersifat ekstrim dan tidak bisa ditoleransi.

“Siapa mereka yang menguasai kekayaan nasional tersebut? Mereka adalah minoritas modal asing dan taipan yang mengendalikan keuangan, perdagangan dan bahkan sekarang telah sanggup mengendalikan APBN. Sepanjang era reformasi APBN menjadi ajang bancakan oligarki penguasa bersama para taipan sebagai ajang bisnis mereka. Itulah mengapa APBN Indonesai tidak memiliki lagi kemampuan untuk mensubsidi rakyat,” jelas Salamuddin.

Apakah Ada Jalan Keluar?

“Tentu saja ada jalan keluar,” ucapnya. Kata dia, ketimpangan dalam pendapatan dan kekayaan bersumber dari kebijakan pemerintah yang salah. Jika kebijakan pemerintah diubah orientasinya dari pertumbuhan kepada pemerataan tentu ketimpangan dapat dikurangi. Jika kebijakan pemerintah diorientasikan bagi rakyat kecil, UKM, petani dan buruh, maka ketimpangan akan dapat diatasi.

Dijelaskannya, perubahan kebijakan dapat dimulai dengan mengatasi masalah ketimpangan dalam penguasaan agaria yakni tanah. Pemerintah harus menunjukkan itikad baiknya dalam melakukan pembalikan struktur penguasaan tanah. Tanah harus di redistribusi kepada rakyat sebagai sumber produksi beserta seluruh sumber produksi lain yang diperlukan. Itikad baik ini belum terlihat dalam era pemerintahan Jokowi. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Tanah semakin dikonsentrasikan pada mega proyek skala besar yang mengorbankan rakyat.

“Pemerintah juga harus membalikkan penguasaan sumber sumber keuangan yang murah pada rakyat. Kebijakan ini sama sekali kurang dimengerti oleh pemerintahan Jokowi yang sangat agresif mencabut subsidi, menaikkan suku bunga kredit. Kebijakan ini yang mengurangi akses masayarakat terhadap sumber keuangan dari APBN dan lembaga keuangan lainnya, serta membelit rakyat dengan utang,” kata Salamuddin.

Menurut Salamuddin, kebijakan strategis lainnya dalam mengatasi ketimpangan pendapatan dan kekayaan adalah dengan menaikkan upah buruh dan pendapatan petani. Ini yang sama sekali tidak dilakukan secara baik oleh pemerintahan Jokowi. Padahal upah merupakan  cara paling efektif agar pendapatan nasional yang sekarang sebanyak 41% hanya dinikmati 1% orang bisa dibalik menjadi pendapatan nasional yang lebih merata.

“Pemerintah juga harus membagi pendapatan nasional itu kepada petani, dengan cara apa? Biaya produksi petani harus ditekan dan harga panen petani harus menguntungkan pada tingkat kenaikan dua sampai 3 kali lipat dari saat ini. Gampang bukan?,” pungkasnya.

Penulis: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 33