NUSANTARANEWS.CO – Pada bulan Oktober 2017 yang lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah meresmikan sebuah Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) milik swasta bernama VIVO yang menjual 3 (tiga) jenis bahan bakar. Salah satunya adalah RON 89 (setara dengan RON 89 yang dijual Pertamina dengan harga jual Rp 6.550 per liter). Sementara itu, harga Premium RON 88 SPBU Pertamina yang berlaku di luar Pulau Jawa, Madura, dan Bali adalah Rp 6.450. Sedangkan, SPBU swasta baru yang dikelola oleh perusahaan swasta asing yaitu PT. Vivo Energy Indonesia (bermitra dengan salah satu perusahaan dalam negeri yang sebelumnya bernama PT. Nusantara Energy Plant Indonesia/NEPI) ini pada awalnya menjual Premium jenis RON 89 dengan harga Rp 6.100 per liter., lalu kemudian menjadi Rp 6.350.
Perusahaan ini kemudian melakukan perubahan nama melalui SK Menkumham AHU- 0002674.AH.01.02 Tahun 2017, dan juga telah memperoleh izin prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk perubahan penanaman modal asing melalui keputusan nomor 3859/1/IP-PB/PMA/2017.
Apa sebenarnya dasar hukum yang menjadi pijakan diberikannya izin operasi SPBU swasta baru tersebut? Padahal Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 jelas menunjuk bahwa untuk Premium RON 88,89 dan yang sejenisnya pemerintah memberikan otoritas penugasan khusus untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali kepada BUMN PT. Pertamina. Substansi Perpres 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, yaitu mengatur penyediaan bahan bakar jenis RON 88 yang seharusnya hanya boleh beredar untuk wilayah khusus dan tertentu ditujukan untuk mendukung kebijakan politik Presiden, yaitu BBM SATU HARGA. Selain itu, penarikan peredaran Premium RON 88 dan yang setara dengannya oleh Pertamina adalah merupakan komitmen bersama yang telah disepakati bersama Pemerintah cq. Kementerian ESDM untuk mengurangi polusi lingkungan dan udara bersih. Dan, komitmen ini juga ditegaskan kembali oleh rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang penarikannya dilakukan pada akhir Tahun 2017.
Premium Langka
Sejak awal bulan Maret 2018 ini beberapa daerah di luar wilayah Pulau Jawa, Madura dan Bali (yang seharusnya Premium tetap ada berdasarkan ketentuan Perpres 191 Tahun 2014) ketersediaannya sudah mulai langka di SPBU Pertamina. Sementara itu, dalam kasus SPBU swasta baru yang menggunakan merek produk berbeda untuk Premium RON 89 dipasarkannya di wilayah yang menurut ketentuan Perpres No 191 Tahun 2014 tidak diperbolehkan atau dilarang malah tersedia sangat cukup. Kelangkaan di daerah di satu sisi dan beroperasinya SPBU swasta baru dalam area larangan menjual harga Premium RON 89 di wilayah Jawa, Madura dan Bali, maka SPBU swasta memperoleh keuntungan 2 (dua) aspek, yaitu beban biaya yang lebih ringan (tak menanggung beban subsidi) dan pangsa pasar (segmented) yang lebih besar. Sebaliknya dengan Pertamina, yang masih menanggung beban subsidi dan biaya logistik di wilayah pemasaran non Jawa, Madura dan Bali serta wilayah khusus penugasan satu harga. Dalam Perpres juga disebutkan bahwa jenis BBM tertentu itu terdiri dari minyak tanah (kerosene), dan minyak solar (gas oil), sedangkan BBM jenis khusus penugasan adalah, jenis bensin atau premium (gasoline) RON 88 untuk didistribusikan di seluruh wilayah Indonesia kecuali di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Artinya, setiap badan usaha yang melakukan penyediaan dan pendistribusian di 6 (enam) wilayah tersebut melanggar ketentuan ini. Lebih lanjut dalam pasal 4 Perpres ini juga disebutkan bahwa penyediaan dan pendistribusian atas volume kebutuhan tahunan jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus dilaksanakan oleh Badan Usaha melalui penugasan oleh Badan Pengatur.
Sementara itu BBM umum menurut ketentuan Perpres ini yaitu seluruh jenis BBM di luar jenis BBM tertentu dan khusus penugasan. Artinya, BBM Premium bagi Pertamina di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali adalah sebuah bentuk penugasan dengan keseluruhan beban biaya (at all cost) ditanggung Pertamina. Pertanyaan yang mungkin patut disampaikan adalah, apakah kelangkaan premium di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali ini terkait dengan komitmen Pertamina dalam mematuhi ketentuan penghapusan premium RON 88 atau karena pasokan untuk SPBU swasta yang lebih diutamakan, walau operasinya hanya di wilayah DKI Jakarta. Jika memang kelangkaan ini terkait dengan komitmen memenuhi tuntutan kebersihan lingkungan udara dari polusi, maka penarikan atau penghapusan juga harus diberlakukan pada SPBU swasta baru Masalahnya kemudian, sepertinya kehadiran SPBU swasta baru tidak berpengaruh signifikan pada berkurangnya konsumen Pertamina untuk membeli Premium, dan mungkin saja kelangkaan premium lebih disebabkan oleh beban BBM penugasan. Jika kelangkaan premium ini terkait dengan beban BBM penugasan, maka sebaiknya Pertamina memberikan klarifikasi kepada publik.
Posisi Perpres
Berdasarkan Perpres 191 Tahun 2014 ini bahwa tanpa ada trade off yang seimbang bagi Pertamina sebagai badan usaha yang melayani wilayah yang dikecualikan tersebut, maka komitmen penghapusan Premium RON 88 yang sudah menjadi target bersama Pertamina dan Pemerintah cq ESDM juga ditegakkan secara konsekuen pada SPBU swasta baru.
Di samping tentu saja, Pertamina juga harus menanggung beban (cost) untuk mendukung dan mensukseskan kebijakan BBM satu harga untuk membantu menggerakkan perekonomian di daerah-daerah yang selama ini menerima dampak biaya BBM yang lebih mahal dibanding daerah lain di Indonesia.
Sesuai kontitusi, seharusnya pihak Kementerian ESDM dan BUMN mestinya memberiikan delegasi penuh pada SPBU swasta untuk melayani kebutuhan premium di luar DKI Jakarta dan di luar wilayah Jawa, Madura dan Bali untuk mengatasi permasalahan kelangkaan ini.
Sebab, Pertamina telah mematuhi komitmen dan rekomendasi Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas yang meminta untuk menghapus keberadaan premium. Lalu, bagaimana dengan Kementerian ESDM dan BUMN sebagai otoritas yang harus berperan dalam menjalankan dan melindungi tegaknya Perpres Nomor 191 Tahun 2014 yang merupakan perintah Presiden. Jika kelangkaan premium ini tak segera diatasi, maka jalannya program pembangunan yang menjadi sasaran Presiden dan roda perekonomian bangsa dan negara, terutama di daerah jelas akan terganggu apabila SPBU swasta tidak segera menutupi kekurangan pasokan premium di wilayah penugasan. Peraturan Presiden ini yang jelas bermaksud untuk menerapkan prinsip sila ke-5 Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan menegakkan pasal 33 konstitusi UUD 1945 serta terlebih penting dan utama adalah sebagai upaya yang sungguh-sungguh ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan orang per orang. Kehadiran SPBU swasta di daerah sangat diharapkan untuk menutupi komitmen Pertamina yang telah menarik Premium dari peredaran. Tanpa itu, maka kelangkaan premium di daerah tak akan teratasi dan akan mengganggu kegiatan masyarakat dan stabilitas nasional jika permintaannya masih tinggi untuk kebutuhan vital transporrtasi publik. Atau, Kementerian ESDM juga memerintahkan SPBU swasta untuk menarik atau menghapus peredaran dan penjualan Premium RON 89 sebagai bentuk komitmen menyeluruh dan konsisten serta berlaku adil pada Pertamina sebagai BUMN.
Apabila Premium jenis RON 88,89 dan sejenis termasuk dalam kategori BBM Umum, maka sebaiknya Pertamina yang harganya lebih mahal tidak diperkenankan untuk memperjualbelikannya sehingga konsentrasi lebih diarahkan untuk mensukseskan BBM satu harga di wilayah luar Jawa, Madura dan Bali. Sebaiknya Kementerian ESDM dan BUMN memperhatikan dengan sungguh-sungguh dampak pelaksanaan Perpres 191 Tahun 2014, komitmen penghapusan Premium 88 dan 89 serta kerugian bagi yang ditimbulkan atas hajat hidup orang banyak, serta lebih penting keterpilihan Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019 atas inkonsistensi kebijakan ini. Kelangkaan Premium, kehadiran SPBU swasta dan komitmen penghapusan Premium RON 88 dan setara dengannya harus diposisikan dalam kerangka kebijakan Perpres 191 Tahun 2014, kebutuhan masyarakat dan komitmen lingkungan udara bersih.
Penulis: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi