NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Sikap sekelompok organisasi kemasyarakatan (ormas) yang akhirnya membatalkan kegiatan kerohanian Kristen di Stadion Kridosono Yogyakarta, dinilai sebagai bentuk arogansi pihak tertentu terhadap kebebasan menjalankan ibadah bagi pihak yang dianggap minoritas.
Hal itu disampaikan oleh Pemerhati Bidang Sosial Masyarakat dari Wiratama Institute, Thessa Samosir dalam acara diskusi Evaluasi 3 Tahun Kinerja Pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang Kebebasan Menjalankan Ibadah bagi masyarakat Indonesia, di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (21/10/2017).
“Sikap arogansi ormas yang meminta aparat kepolisian untuk tidak mengijinkan kegiatan kerohanian kristen di Stadion Kridosono, menjadi bukti bahwa negara belum seutuhnya hadir bagi kepentingan masyarakatnya,” ujar dia.
Ia menuturkan, manusia itu sesungguhnya ciptaan Tuhan yang sangat beruntung, diberi anugerah berupa fisik yang sempurna serta akal dan pikiran. Namun, masih ada saja manusia yang tidak menggunakan secara baik dan benar akalnya untuk berpikir, berpendapat, dan bertindak.
Akibatnya, upaya menjaga demokrasi dan multikulturalisme yang selama ini dijaga baik oleh setiap lapisan masyarakat bersama dengan pemerintah, tercoreng dengan ulah segelintir ormas. Apalagi alasan yang disampaikan sebagai dasar penolakan kegiatan kerohanian tersebut, sangat tidak beralasan.
“Seharusnya kita menelusuri terlebih dahulu seperti apa fakta sebuah peristiwa, kemudian kita berfikir, berikan pendapat, dan jika perlu bertindak ya bertindaklah dengan bijak. Sebagai salah satu contoh akibat dari kegegabahan berpikir dan bertindak adalah batalnya Kebaktian Nasional Reformasi 500 tahun oleh Pdt. Dr. Stephen Tong yang seharusnya diadakan di Kridosono pada tanggal 20 Oktober 2017 kemarin,” imbuhnya.
Menurut Thessa, alasan penolakan kegiatan tersebut lebih merupakan alasan irasional yang dicari-cari dan tanpa dasar. Yaitu soal demi keamanan dan ketertiban kota, karena diadakan di tempat terbuka. Berikutnya adalah kegiatan tersebut dianggap dapat menyebabkan terjadinya pemurtadan massal.
“Kebaktian Nasional yang sedianya diadakan Pdt. Dr. Stephen Tong ini sama sekali tidak bertujuan memurtadkan masyarakat Yogyakarta. Kebaktian ini murni memperingati 500 tahun reformasi gereja, mengenang sejarah dan perkembangannya di dunia, termasuk di Indonesia. Jadi alasan yang disampaikan merupakan alasan irasional,” terang Thessa lagi.
Berdasarkan fakta diatas, lanjut dia, kehadiran negara dipertanyakan. Apalagi, surat ormas tersebut ditujukan kepada kepolisian daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta yang meminta agar tidak diberikan ijin pelaksanaan kegiatan ibadah tersebut.
“Polri merupakan cermin kehadiran negara dalam memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat Indonesia, kini justru jadi alat ormas untuk membuat kegaduhan. Jadi kami nilai negara belum hadir bagi setiap masyarakatnya, terutama dalam menjalankan kegiatan ibadah masing-masing. Jangan sampai terjadi nihilitas negara dalam hal senada di kemudian hari,” jelas Thessa.
Secara terpisah, Pengamat Kebijakan Publik bidang Sosial Masyarakat dari Universitas Indonesia, Sri Handiman Supyansuri mengatakan, tindakan ormas tersebut merupakan bentuk perilaku premanisme yang terjadi di era keterbukaan informasi saat ini. Artinya, banyak orang memahami dengan jelas apa sebenarnya yang terjadi dalam proses perijinan hingga menjelang pelaksanaan ibadah tersebut.
“Bahkan, jikalau mau ditelisik lebih dalam lagi, aparat keamanan pun paham betul apa kepentingan dan siapa dalang di balik penolakan ormas itu. Pertanyaannya, siapa yang lebih mendominasi untuk didukung,” papar dia.
Meski demikian, Radja juga mengingatkan agar panitia pelaksana khususnya panitia lokal dapat belajar dari kejadian tersebut. Sehingga kedepannya, peristiwa serupa tidak lagi terjadi.
“Panitia harus belajar humble dari kondisi ini. Meski semua proses perijinan telah dijalankan, namun realitanya tetap terjadi penolakan. Itu artinya, teori tidak selalu sama dengan praktik di lapangan. Jadi perlu banyak belajar untuk mendengar dan bertenggang rasa dengan masyarakat sekitarnya,” ungkapnya.
Terkait kehadiran negara, ia mengatakan saat ini negara sudah berupaya hadir secara optimal di tengah masyarakat. Namun, upaya menjaga keamanan dan kenyamanan terutama di sekitar tempat beribadah, menjadi tanggungjawab masing-masing gereja dan umatnya.
“Realita di lapangan mencatat bahwa banyak gereja sebenarnya sedang membangun menara gadingnya sendiri. Akibatnya mereka sulit memahami kondisi riil yang terjadi di masyarakat sekitarnya. Jadi peristiwa ini sebaiknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak,” tambah dia. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews