Esai

Keburaman Jejak Para Kiai dalam Hadrah Kiai

Setelah berwindu-windu lamanya, saya membaca dan memahami esensi yang tersemat dalam puisi-puisi Raedu Basha, yang terangkum menjadi buku antologi puisi yang berjudul Hadra Kiai. Karena, saya tertarik pada tema yang diangkat kali ini dalam puisi-puisi Raedu Basha: yaitu tentang sejarah hidup tokoh-tokoh ulama nusantra yang telah menjadi sejarah dalam ingatan kita masing-masing.

Seperti di antaranya: tokoh Kiai Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri Nadlatul Ulama, atau dari tokoh Muhammadiyah, yaitu Kiai Ahmad Dahlan. Tampaknya, kumpulan puisi ini menarik jika kita perbincangkan hari ini, sedekar mengenang kembali jasa-jasa para tokoh ulama yang pernah berpartisipasi dalam memperjuangkan Indonesia tempo penjajahan dahulu.

Kali ini, saya mencoba dengan berani mengungkapkan kerancuan-kerancuan Raedu Basha (panggilannya Raedu) yang paling dominan dalam kumpulan puisinya: Hadrah Kiai. Interpretasi saya membaca puisi-puisi Raedu pertama, terlalu subjektif dan kedua, pada setiap kalimat selalu paradoks dengan kalimat di bawahnya dalam satu judul puisi.

Pada hemat saya, secara spesifik dalam mengisahkan jejak para tokoh ulama nusantra, tidak seluruhnya dikisahkan, tapi hanya penggalan-penggalan kisah berbeda pada setiap paragraf yang berbeda pula. Tetapi, justru itulah yang menandakan kumpulan puisi-puisi tersebut mengisahkan tokoh-tokoh kiai dalam perfektif tema keseluruhan.

Tetapi, mari kita buka lebih luas dalam membahas puisi-puisi Raedu kali ini. Saya contohkan: seperti pada judul Tahlil Fadilah bagi Kiai Hasyim Asy’ari (hlm. 29) di antara puisi-puisi lainnya yang cenderung subjektif dalam membahas para tokoh ulama, tapi yang paling tampak subjektivisme Raedu ada pada judul di atas salah satunya.

Dalam puisi tersebut, Raedu hanya mengisahkan kesan hatinya sendiri pada tokoh Kiai Hasyim Asy’ari: maksudnya, hanya melalui sudut pandang dari luar kenyataan si tokoh melalui sudut pandang yang ia rasakan terhadap si tokoh tersebut. Justru hanya objektifitas realitas tokohnya yang ia bahas dengan kalimat-kalimatnya yang panjang dalam puisinya, dan juga cenderung naratif secara leksikal bahasa tuturannya. Namun, ia hanya menarasikan berdasarkan pengalaman perasaannya sendiri, bukan berdasarkan data-data sejarah dari jejak kehidupan Kiai Hasyim Asy’ari, tanpa pengecualian juga imbasnya pada tokoh-tokoh lainnya.

Lebih konkretnya, saya contohkan pada paragraf ke 3 di kalimat pertama dalam puisinya: aku hanya seorang santri pelupa, kiaiku. Ini adalah kalimat pernyataan, yang menggunakan kata imbuhan akhiran ku pada awal kata kiai, saya sebut aku lirik yang bercerita dirinya sendiri. Sebab, sudah jelas si aku lirik yang menjadi santri (Raedu Basha), ingin menyatakan kesan kelupanya pada kiainya (Kiai Haysim Asy’ari). Jadi, secara langsung aku lirik ini tak mau kalah ingin mencurahkan hatinya, walau pada akhirnya merancukan keutuhan bangunan kisah dalam puisinya.

Dan saya kira, keberhasilan Raedu Basha dalam menarasikan jejak tokoh tersebut, yaitu karena aku lirik ini hanya menyantumkan penggalan Tahlil Fadilah dalam puisinya, karena memang pada bagian awal judulnya terpampang kalimat Tahlil Fadilah jelaslah sedikit mewakilinya.

Selanjutnya, saya temukan lagi yang tidak jauh berbeda dengan iklim puisi di atas, dalam mengisahkan sebuah tokoh. Kali ini pada judul Nawawi Al-Bantani (hlm. 21), yang juga cenderung subjektif dalam menarasikan sejarah hidup tokoh tersebut. Coba lihat pada paragraf ke-4, 6, 8: karena ada 12 paragraf, pada pragraf yang saya sebutkan tadi hanya berdasarkan pengalamannya sendiri, dan selebihnya hanya mengisahkan perjalanannya si tokoh tersebut.

Artinya, mengkaji puisi satu tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah saya paparkan di atas. Cuma bedanya, puisi ini dengan yang di atas: hanya beda judulnya, selebihnya sama. Dan bahkan, jika judul itu dihilangkan lalu diganti dengan judul Sarekat Kisah dari Sejarah yang Tumbang (hlm.71), tetap sama rasanya jika dibaca, maupun makna yang terserap di dalamnya.

Karena, kedua puisi tersebut lagi-lagi hanya melukiskan realitas pengalamannya sendiri, yang dihubung-hubungkan dengan si tokoh, walau secara pengisahannya masih remang-ramang. Maksudnya: kisah yang dibangun, belum menandakan bahwa itulah kisah hidup si tokoh dalam realitas sejarah sesungguhnya.

Kemungkinan besar, dalam proses kratif Raedu mencipta puisi: hanya mengandalkan intuisi dengan apa yang ia tangkap dalam pengalaman perasaanya sendiri, maupun dengan pengalaman pengetahuannya sendiri melalui, misalkan: ada ikatan saudara dengan si tokoh, atau cuma selintas tahu cerita mengenai si tokoh, kemudian langsung diciptakan puisi sepanjang-panjangnya. Tanpa ada interviu kepada sesepuh yang mengetahui sejarah hidup si tokoh, atau setidaknya mencari sejarah-sejarah yang telah tertulis, sebagai bahan-bahan puisi yang sarat dengan sejarah ini.

Lalu akan lebih rincinya, mari kita masuki ruang paling intim dalam kumpulan puisinya. Kini tinggal satu soal: yaitu tentang kesinambungan makna dalam mengimpor metafora dari luar renungan ke dalam puisi-puisinya. Soal kali ini, mengenai kalimat ke kalimat yang paradoks secara pemaknaannya, yang saya banyak temukan dalam beberapa puisi-puisinya. Lalu mengapa paradoks? Karena Raedu Basha selalu ada unsur pemaksaan untuk berima (a-a-b-b) pada setiap akhiran kalimat di puisinya. Dan, dengan memakai metafora yang tidak logis, atau tidak jernih dalm artian sesungguhnya. Pada hemat saya, penyairnya lebih mementingkan bunyi agar menarik didengar ketika dibaca, daripada makna yang tersemat dalam puisi-puisinya.

Contoh: seperti pada puisi yang berjudul Tafsiran Kiai Maksum Jombang (hlm.47). Pada kalimat ke 6-di paragraf ke-4, semua kalimat tersebut paradoks dengan kalimat lainnya. Seperti di kalimat ke-6. Peci putihnya sesuci bendera negara kita, coba pikir lalu bayangkan: jika bendera negara melambangkan kesucian, mengapa bendera tidak dijadikan sajadah untuk sholat saja? Bukankah bendera lebih tepatnya sebagai lambang indentitas diri suatu negara. Misalkan pada negara kita: bendera merah putih adalah lambang Negara Indonesia. Tetapi, dalam puisi Raedu ini malah dilambangkan kesucian. Dan kacaunya lagi, yang dilambangkan sebagai pembanding kesucian bukan hatinya, tapi malah pecinya. Apakah kesucian tokoh Kiai Maksum ada pada pecinya, saya kira tidak. Pada umumnya yang saya tahu: kesucian seorang tokoh ulama, atau kiai adalah dari spiritual, sikap dan cintanya pada agama dan Tuhannya.

Lain lagi pada judul Bunga Ibriz Kiai Bisri (hlm. 53) di paragraf ke 2 dan ke 3, puisi ini cenderung dipaksa-paksaan berima dengan gaya pantun Indonesia (Melayu) mari kita baca.

bila melati setia mewangi
bila mawar mekar tak henti

Berbicara soal pantun, yang saya ketahui: pantun adalah bentuk puisi klasik Indonesia (Melayu), dan biasanya tiap bait terdiri dari empat baris bersajak (a-b-a-b), dengan menggunakan kata sampiran pada awal baris dan ke 2. Kemudian, baris ke 3 dan ke 4 berikutnya adalah isi (berupa sindirian dan lain-lain). Lalu jika disejajarkan dengan puisi yang bercorak gaya pantun di atas, tampak tidak seperti pantun: karena larik pertama terdiri 4 bait, mungkin sudah mewakili, tetapi pada larik selanjutnya terdiri dari 5 bait, justru di sini bukan termasuk pantun karena tidak memenuhi konvensi perpantunan Indonesia (Melayu) pada umumnya, dan meskipun 2 larik tersebut berirama (i-i).

Bukan hanya itu, secara esensi pun tidak jelas larinya kemana makna tersebut. Pertama, awal kalimat pertama adalah kata bila, dan kalimat ke-2 dibawahnya juga memakai kata bila, coba kita artikan secara harfiah: kata bila sepadan dengan kata kapan, kita, kalau dengan arti menanyakan sesuatu atau waktu. Jadi, bila kata bila dipakai awal pada dua larik tersebut: artinya, hanya sekedar bertanya tanpa kunci jawaban yang menunjukkan pada maksud pertanyaan tersebut.

Barangkali, dari cela-cela tersebut yang sudah saya paparkan dengan panjang lebar di atas mengenai dua hal yang paling dominan saya temukan dalam puisi-puisinya. pertama, mengenai subjektivisme Redu dalam pengisahan tokoh-tokoh di puisinya. Kedua, mengenai paradoks dan rima yang dihasilkan setiap kalimat maupun setiap larik (kerena sebagian ada yang berbentuk sajak dalam kumpulan puisinya yang berjudul Hadrah Kiai) dari puisi Raedu yang juga cenderung buram dan tak ada maksud; apa sebenarnya yang ingin ia ungkapkan kepada pembaca melalui puisi-puisinya, yang seluruhnya tidak tuntas dalam mengisahkan tokoh-tokoh ulama nusantara.

Tetapi, Raedu Basha tetaplah berhasil, sebab dia telah menciptakan fenomena baru dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Karena, jarang penyair, atau tidak ada masih penyair Indonesia yang menuliskan seluruh sejarah tokoh-tokoh ulama nusantara dalam bentuk buku melalui puisi. Kalau misalkan kita bandingkan dengan antologi puisi Lumbung Perjumpaan karya penyair Agus R. Sarjono. Jelas beda jauh, secara pengisahan tokoh dalam puisi-puisinya. Walau Raedu dengan Agus beda tokoh yang dibahas: jika Agus kebanyakan tokoh penyair dan filsafat, Raedu keseluruhan tokoh para ulama nusantara.

Nah, justru dari eksperimental dan ketekunannya buku puisi Hadrah Kiai ini: mendapatkan perhargaan sebagai buku puisi terbaik seindonesia. Pada acara Hari Puisi Indonesia (HPI) di Taman Ismail Marzuki (TIM), dalam rangka memperingati hari kematian penyair Chairil Anwar: sebagai penyair angkatan 45 yang menmpopulerkan kali pertama puisi kontemporer dalam kesusastraan Indonesia.

Penulis: Norrahman Alif. Lahir di Banuaju Barat Sumenep. Kini aktif di ( LSKY ) Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta

Related Posts