ArtikelEkonomi

Kebijakan Pemerintahan Jokowi Terhadap Freeport Adalah Pengkhianatan Besar

Freeport-McMoran Copper and Gold Inc melayangkan surat ketidaksepakatan terkait proposal divestasi yang diajukan pemerintah pada 28 September 2017 silam. Padahal divestasi saham Freeport kepada pemerintah Indonesia adalah sebuah keharusan sebagaimana yang termuat dalam Kontrak Karya (KK) dan Berbagai peraturan perundang undangan di Indonesia.

1) Divestasi saham merupakan kesepakatan yang telah termuat dalam Kontrak Karya (KK) dan berbagai peraturan perundang undangan yang berlaku. Pasal 24 angka 2 KK menentukan sewaktu-waktu selama jangka waktu yang telah ditetapkan dalam pasal ini, perusahaan akan menawarkan untuk dijual atau menyuruh menawarkan untuk dijual saham-saham dari modal saham perusahaan guna mendukung kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam mendorong kepemilikan perusahan Indonesia oleh pihak nasional Indonesia sebagaimana diatur dalam angka 2 Pasal 24 ini.

2) Dalam Kontrak Karya (KK) Pasal 24 angka 2 huruf b mengharuskan perusahaan untuk menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di Bursa Efek Jakarta atau dengan cara lain kepada pihak nasional Indonesia dengan saham-saham yang cukup pada tahun ke 5 sebesar 10persen; setelah ulang tahun tahun ke10 secara periodik menawarkan kepada pihak nasional sehingga pada ulang tahun ke 20 (tahun 2011) mencapai 51persen terhitung sejak tanggal persetujuan ini pada tanggal 30 Desember 1991.

Baca Juga:  Relawan Anak Bangsa Gelar Bazar Tebus Sembako Murah di Kalibawang

3) Dalam MOU 25 Juli 2014 berdasarkan butir butir kesepakatan amandemen KK antara Pemerintah Indonesia dengan PT FI hanya diwajibkan melakukan divestasi saham kepada pihak Pemerintah Indonesia sebesar 30 persen sampai Tahun 2019.

4) PP Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Pasal 97 ayat (1) menentukan Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing setelah 5 tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi saham secara bertahap. Perubahan ayat (1a) menentukan kewajiban divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) menentukan bagi pemegang IUP dan IUPK yang tidak melakukan sendiri kegiatan smelter, setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit sebagai berikut: tahun keenam sebesar 20 persen, tahun ketujuh sebesar 30 persen, tahun kedelapan 37 persen, tahun kesembilan 44 persen; dan tahun kesepuluh sebesar 51persen dari jumlah saham. Ayat (1b) menentukan Jika pemegang IUP/IUPK melakukan kegiatan tambang terintegrasi dengan pengelolaan pemurnian maka divestasi saham ditentukan setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi paling sedikit sebagai berikut: tahun keenam 20persen, tahun kesepuluh 30persen tahun kelima belas 40persen dari jumlah seluruh saham. Ayat (1c) Jika pemegang IUP/IUPK melakukan kegiatan penambangan bawah tanah (underground) setelah akhir tahun kelima sejak berproduksi sebagai berikut tahun keenam 20 persen tahun kesepuluh 25persen dan tahun kelima belas 30persen dari jumlah seluruh saham. Ayat (1d) menentukan Jika pemegang IUP/IUPK melakukan kegiatan penambangan bawah tanah (underground) dan terbuka setelaah akhir tahun kelima sejak berproduksi sebagai berikut tahun keenam 20 persen tahun kedelapan 25persen dan tahun kesepuluh 30persen dari jumlah seluruh saham

Baca Juga:  Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi UMKM, Pemkab Sumenep Gelar Bazar Takjil Ramadan 2024

Pengkhianatan yang Besar

Kebijakan Presiden Jokowi yang menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan KUP Minerba justru mememberikan perpanjangan jangka waktu divestasi hingga 10 tahun ke depan. Kebijakan Jokowi adalah sebuah pengkhianatan yang besar. Divestasi yang seharusnya sudah selesai malah diverpanjang jangka waktunya.

Sebagaimana diketahui bahwa PP No 1 Tahun 2017 Pasal 97 ayat (1) menentukan Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51persen (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. Ayat (2) kepemilikan peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap tahun setelah akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari presentase sebagai berikut: a. tahun keenam 20 persen (dua puluh persen); b. tahun ketujuh 30persen (tiga puluh persen); c. tahun kedelapan 37persen (tiga puluh tujuh persen); d. tahun kesembilan 44persen (empat puluh empat persen); dan e. tahun kesepuluh 51persen (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham.

Baca Juga:  Pengangguran Terbuka di Sumenep Merosot, Kepemimpinan Bupati Fauzi Wongsojudo Berbuah Sukses

Dari data di atas telah terjadi perubahan peraturan yang sangat cepat, sarat dengan kepentingan segelintir elite, sehingga dalam prakteknya peraturan perundangan sulit diimplementasikan. Sementara Freeport sendiri melihat inkonsistensi kebijakan para penyelenggara negara. Akibatnya proses divestasi tidak terlaksana sesuai dengan batas waktu dan prosentse yang ditetapkan.

*Salamudin Daeng, Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Related Posts

1 of 13