Ekonomi

Kebijakan Pemerintah Tak Memberikan Peluang Indonesia Memiliki Martabat

Para Pekerja Tambang di Marowali (Foto Istimewa)
Para Pekerja Tambang di Marowali (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Selain Amerika dan Inggris, satu negara lagi yang juga menerapkan sistem proteksionisme atau kebijakan melindungi diri adalah Cina. Di balik kebijakan investasinya yang loyal, Cina sesungguhnya tengah sedang melakukan perlindungan bagi kesejahteraan warganya.

Pengamat politik ekonomi Indonesia, Ichsanuddin Noorsy menjelaskan, sikap proteksionisme Cina tercium ketika Xi Jinping (Presiden Cina) dipukul mundur Donald Trump (Presiden Amerika Serikat) dalam perang dagang. Dimana Cina dikenai bea masuk ekstra oleh Amerika, yang totalnya mencapai 50 miliar dolar.

Dalam perang tarif tersebut, Ichsanuddin Noorsy menirukan perkataan Xi Jinping, mengatakan; “Oke! Saya akan buka dua pasar. Saya akan buka pasar perbankan. Saya akan buka pasar industri otomotif saya.” Lalu, apa kata orang-orang?

Dalam hal ini, Xi Jinping sesungguhnya sedang tidak membuka. Tapi sebaliknya Xi Jinping sebenarnya tengah melindungi dirinya. “Kenapa?” Karena industri otomotif Cina sudah selesai. Banking industrialnya sudah selesai dan sudah dikuasai semua. “Jadi ia (Cina) tidak sedang sungguh-sungguh memberikan lapangan pasar bagi Amerika,” ujar Ichsanuddin Noorsy (23/4).

Baca Juga:  Pertama di Indonesia, Pekerja Migran Diberangkatkan dari Pendopo Kabupaten

Baca Juga:
Impor TKA, Pengamat Ragukan Komitmen Pemerintah Lindungi Warganya
Masihkah Bangsa Indonesia Ingat Tinggal Landas?

Artinya, saat ini ada tiga contoh negara yang sedang bertarung secara ekonomi. Yakni Amerika, Inggris dan Cina. Kalau dalam bahasa politiknya, ketiga-tiganya sedang membangun kekuatan proteksionisme secara besar-besaran.

Tujuannya apa? Tak lain sebagai upaya untuk memberikan perlindungan bagi kesejahteraan bangsanya masing-masing. Dalam konteks ini, kata kunci proteksionisme adalah melindungi.

Lantas, bagaimana nasib ekonomi Indonesia kedepan dengan kebijakan pemerintah hari ini?

Ichsanuddin menjelaskan, sepanjang sejarah Indonesia berdiri, ketika Indonesia dipaksa membenarkan dan melegalkan kebebasan terhadap perusahaan-perusahaan asing beroperasi. Atau saat Indonesia dipaksa untuk menerima investasi asing. Pun demikian, ketika Indonesia dipaksa untuk menerapkan perdagangan bebas. Faktanya Indonesia tidak pernah ada peningkatan kesejahteraan yang meningkat.

Indonesia, kata Ichsanuddin, hanya angka-angka perdagangannya saja yang meningkat. Tapi dalam hal kesejahteraan yang sesungguhnya sama sekali tidak meningkat. “Angka-angkanya memang kelihatan meningkat, tapi kesejahteraan warganya tidak meningkat,” tegas dia.

Baca Juga:  CTI Group Ajak Mitra Bisnis Kaji Peluang Hilirisasi Digital

Salah satu buktinya, Indonesia justru ekspor tenaga kerja ke luar secara besar-besaran. “Itu kan perbudakan modern! Itu bukan bahasa saya lo,” kata Ichsanuddin.

Istilah perbudakan modern pertama kali dikeluarkan oleh New York Times. Bagaimana media ternama di AS tersebut, melihat negara-negara seperti Indonesia sesungguhnya sedang memberlakukan hidup slavery modern system (sistem perbudakan modern) yang disebut di Indonesia dengan para pahlawan devisa.

Dengan posisi Indonesia seperti itu. Ditambah lagi model utang yang terus digenjot serta gaya pemerintahan yang menempatkan Indonesia sebagai negara debitur, menurut Ichsanuddin Noorsy; “Ini tidak memberikan peluang Indonesia memiliki harkat dan martabat. Ini menurut pandangan saya.”

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3,054